Senin, 01 Juni 2015

Dasar Negara Pancasila "Lahir" Karena Pertanyaan "Nyeleweng" dr. Radjiman

Sejak tahun 1981 muncul kontroversi mengenai siapa yang pertama kali mengemukakan Dasar Negara Pancasila, yang bermula dari pendapat yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Nugroho Notosusanto, di dalam buku “Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara”.

Menurut Nugroho, adalah Mr. M. Yamin orang pertama yang mengemukakan Dasar Negara pada tanggal 29 Mei 1945 yang di kemudian hari disebut dengan Pancasila. Masih menurut Nugroho, Bung Karno adalah orang pertama yang (hanya) memberikan nama Pancasila terhadap Dasar Negara pada tanggal 1 Juni 1945.

Pernyataan Nugroho ini menuai gelombang protes dari publik yang notabene bukan hanya masyarakat awam tapi juga akademisi/pakar dan saksi-saksi hidup yang kebetulan masih hidup saat itu.

Misalnya saja jika dikemukakan pendapat Begawan Filsafah Pancasila, Prof. Mr. Drs. Notonegoro pada saat acara honoris causa gelar Doktor bidang Ilmu Hukum bagi Ir. Soekarno pada tahun 1951 di Universitas Gajah Mada. Secara akademis, pandangan Nugroho ini bertentangan dengan pendapat Notonegoro yang juga menjabat sebagai Rektor UGM saat itu.

Menurut Notonegoro, Ir. Soekarno adalah orang yang menciptakaan Pancasila tanggal pada 1 Juni 1945 meskipun pada saat Bung Karno mendapatkan giliran berpidato ia menyatakan bahwa dirinya bukan pencipta melainkan hanya sekedar merumuskan perasaan2 yang sudah lama terkandung bisu di dalam kalbu rakyat Indonesia.

Selain itu, pendapat Nugoho yang bersumber pada buku “Naskah Persiapan UUD 1945” yang dibuat oleh Mr. M. Yamin, juga bertentangan dengan rekomendasi yang dibuat oleh Panitia Lima dengan alasan, antara lain karena menurut penelitian pakar hukum Tata Negara Universitas Indonesia, A.B. Kusuma, yang mendalami penelitian mengenai Pancasila, buku yang dibuat oleh Yamin tersebut, sudah direkayasa.

Untuk diketahui, Nugroho keukeuh bahwa pendapatnya itu didasarkan pada satu-satunya dokumen BPUPK (sic.) yang dipinjam oleh Yamin dari Prof. Mr. A.G. Pringgodigdo, disebut “Koleksi Yamin”, dan kemudian dinyatakan hilang.

Pada tahun 1991, A.B. Kusuma secara khusus menelusuri keberadaan arsip ini hingga ke Belanda dan mendapati bahwa arsip BPUPK dengan kode “Pringgodigdo Archief” sudah dikembalikan ke Indonesia. A.B. Kusuma kemudian melakukan penelusuran ke Arsip Nasional Indonesia dan mendapatkan informasi bahwa “Koleksi Yamin”, yaitu arsip2 yang dipinjam oleh Yamin dari Pringgodigdo yang dinyatakan hilang secara tidak sengara ditemukan di Pura Mangkunegaran, Surakarta, pada tahun 1989 dan belum dibuka untuk umum sampai dengan tahun 1993

Berdasarkan dokumen2 kemudian A.B. Kusuma melakukan penelitian dan mendapatkan bahwa ada bagian2 tertentu dari buku Yamin yang berbeda, antara lain:

1. Dalam buku “Naskah Persiapan UUD 1945” yang dibuat oleh Yamin disebutkan bahwa ia “...... telah melampirkan UUD RI tanggal 29 Mei 1945...” ternyata kalimat tersebu tidak ada di “Koleksi Yamin”.

2. Penggunaan kata “Republik Indonesia” yang mengundang tanda tanya karena Pemerintahan Jepang pada bulan Mei 1945 masih melarang penggunaan kata “Republik Indonesia”.

3. Apa yang ditulis oleh Yamin dalam bukunya adalah yang ia sampaikan secara lisan dalam sidang BPUPKI tidak terbukti dan pidato Prof. Mr. Soepomo tanggal 31 Mei 1945 mengenai paham integralistik tidak diterima oleh sidang BPUPKI.

4. Dokumen “Koleksi Yamin” dinilai sudah tercemar dengan adanya tambahan “angka 1” pada pidato Yamin yang seharusnya hanya 20 menit menjadi 120 menit, sesuatu yang tidak mungkin ia mendapatkan alokasi waktu sampai 2 jam berpidato karena tidak sesuai dengan kenyataannya. Menurut dokumen yang diteliti A.B. Kusuma, ada 6 orang yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945 selama 130 menit, dengan alokasi waktu masing2: Mr. M. Yamin (20 menit), Tn. Soemitro (5 menit), Tn. Margono (20 menit), Tn. Sanusi (45 menit), Tn. Sosro diningrat (5 menit), Tn. Wiranatakusumah (15 menit).

Dan ada beberapa temuan lainnya yang sampai pada kesimpulan bahwa Yamin telah merekayasa bukunya.

Menarik juga untuk dikemukakan bahwa Pringgodigdo sendiri mencatat pernyataan Yamin yang mengakui bahwa pada tanggal 1 Juni 1945 diucapkan pidato yang pertama tentang Pancasila dan Yamin tidak menyebut kelima dasar yang pernah dikemukakan pada tanggal 29 Mei 1945 sebagai Pancasila. Meski Yamin tidak menyebut nama, sudah pasti yang berpidato pada tanggal 1 Juni 1945 mengenai Dasar Negara maksudnya adalah Bung Karno.

Oleh Dr. H. Roeslan Abdulgani dalam pidatonya sebagai Ketua Tim P-7 ditegaskan kembali bahwa pada tanggal 7 Juni 1945 Bung Karno berhasil menjawab pertanyaan dr. Radjiman yang "nyeleweng". Malah Bung Karno beruntung karena seandainya Radjiman tidak "nyeleweng" mungkin Bung Karno tidak punya kesempatan untuk memberikan penjelasan.

Dikatakan "nyeleweng" karena Pak Radjiman tidak mengulangi apa yang dikehendaki oleh Jepang untuk menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan, melainkan malah mengajukan pertanyaan: "Apa Dasar Negara Indonesia yang akan kita bentuk?"

Jika bangsa ini mau jujur dan sepakat bahwa Bung Karno adalah orang yang pertama kali menggali Pancasila, lalu bagaimana sebenarnya nasib Hari Lahirnya Pancasila yang seyogyanya jatuh pada hari ini, 1 Juni 2015?

Di era presiden Soeharto, jelas bahwa segala hal yang berbau “Soekarno” dijauhkan dari masyarakat, ringkasan tulisan di atas adalah pembahasannya. Riilnya, pada tahun 1970, rezim Orba melalui Kopkamtib melarang peringatan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Tetapi pemerintah Orba mewajibkan semua kalangan pemerintah dan swasta untuk mempelajari Eka Prasetya Panca Karsa, yang menjadi materi dalam penataran P4.

Setelah era reformasi, muncul lagi perdebatan tentang hari lahir Pancasila. Setidaknya ada tiga tanggal yang berkaitan dengan Pancasila, yaitu tanggal 1 Juni 1945, tanggal 22 Juni 1945 dan tanggal 18 Agustus 1945.

Di era Presden SBY harus diakui ada sedikit kemajuan dalam hal seremonial Hari Pancasila. Misalnya pada peringatan Hari Pancasila tahun 2011 di Gedung DPR, selain diisi oleh pidato Presiden SBY, semua mantan presiden yang masih hidup diundang hadir dan memberikan pidato, termasuk Habibie dan Megawati Soekarnoputri. Sebelumnya, pada tahun 2008 Presiden SBY juga sudah mengeluarkan SK Presiden No 18 yang menetapkan tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Hari Konstitusi Indonesia.

Polemik mengenai kapan Hari Pancasila belum sepenuhnya selesai karena sampai dengan era pemerintah sekarang belum memberikan legalitas Hari Pancasila yang diperingati setiap tanggal 1 Juni, meski pada peringatan Hari Pancasila tahun 2013, mantan presiden Megawati Soekarnoputri pernah menagih janji Presiden SBY 2 tahun sebelumnya yang akan menjadikan Hari Pancasila sebagai hari libur nasional.

Tahun ini adalah kali pertama Presiden Jokowi merayakan peringatan Hari Lahirnya Pancasila yang bertempat di kota tempat dimakamkannya Bung Karno, Blitar. Acara ini juga dihadiri oleh mantan presiden Megawati dan mantan wapres Beodiono.



Sumber:

1. "Sejarah Lahirnya Pancasila", Yapeta Pusat

2. "Republik Indonesia Menggugat", Soerowo Abdoelmanap

3. "Dasar-Dasar Indonesia Merdeka Versi Para Pendiri Negara", S. Silalahi, MA.

4. Baca juga http://www.tribunnews.com/…/mega-tagih-janji-sby-1-juni-lib…

5. Baca juga http://www.pelita.or.id/baca.php?id=96594

6. http://www.tribunnews.com/…/jokowi-megawati-dan-boediono-ha…

Apakah VOC Hanya Sebuah Kongsi Dagang?

Sebelumnya saya pernah posting tulisan mengenai sejarah ringkas VOC, bisa baca di sini http://serpihan-sejarah.blogspot.com/2015/04/sejarah-voc-vergaan-onder-corruptie.html

Sesuai janji saya untuk menulis & sharing informasi lebih lanjut mengenai status VOC, berikut adalah tulisan yang berhasil saya rangkum dari beberapa sumber.

VOC memang sejatinya adalah perusahaan dagang hasil peleburan beberapa perusahaan dagang. Yang disebut terakhir ini sebenarnya “biasa” saja karena memang identik dengan perusahaan swasta pada umumnya, tapi setelah digabung & diberikan bekal khusus dari General Staaten (Parlemen) Negara Belanda ketika itu, maka perusahaan dagang ini jadi tidak biasa lagi dan yang menyebabkan tidak biasa itu adalah apa yang dikenal dengan “oktrooi”.

Sayangnya, sampai saat ini pembahasan mengenai sepak terjang VOC tidak cukup banyak diulas oleh sejarawan Indonesia padahal arsip2 VOC ini luar biasa banyak & sebagian masih tersimpan cukup baik di ANRI dan sebagian besar lagi di Belanda. Pun sangat terbatas sekali pembahasan mengenai “oktrooi” kecuali yang sering disebut padanannya adalah hak istimewa. Meski demikian, lumayan beruntung TS bisa mendapatkan beberapa tulisan yang merujuk ke dokumen2 VOC, baik langsung atau mengutip dari sejarawan Belanda.

Meski kata “oktrooi” selama ini diterjemahkan dari bahasa Belanda, tapi kita bisa temukan juga terminologi yang identik, yaitu “octroi” di kamus bahasa Inggris online Merriam Webster, http://www.merriam-webster.com/dictionary/octroi:

“a concession or privilege granted by an absolute sovereign and serving as a limitation on his authority”

Definisi ini menurut TS cukup relevan jika kita mengetahui hak-hak istimewa apa saja yang diberikan Staten Generaal kepada VOC berdasarkan Piagam 1602 “Octrooi van de Verenigde Oostindische Compagnie” yang menyangkut wewenang dan kekuasaan VOC.

Secara garis besar Piagam ini menjelaskan bahwa Staaten Generaal (parlemen) memberikan kuasa penuh kepada VOC sebagaimana layaknya sebuah negara di kepulauan Hindia-Timur untuk memonopoli perdagangan rempah2.

Hak-hak tersebut secara umum di bagi 2 yaitu:

1. Hak Monopoli
2. Hak Kedaulatan

Sedikit lebih rinci, yang termasuk dalam hak kedaulatan (soevereiniteit) sehingga dapat bertindak layaknya suatu negara antara lain:

• Membentuk angkatan perang
• Mengumumkan perang dan mengadakan perdamaian
• Membuat benteng
• Merebut dan menduduki daerah-daerah asing di luar Negeri Belanda
• Membuat aturan2 di daerah-daerah asing tersebut
• Menetapkan/mengeluarkan mata-uang sendiri
• Memungut pajak

Jika kita baca satu per satu hak kedaulatan VOC di Piagam 1602 maka akan tercermin hak2 yang hanya dimiliki oleh sebuah negara yang direpresentasikan dalam fungsi2 eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Membentuk angkatan perang dan mengumumkan perang serta mengadakan perjanjian adalah contoh hak yang dimiliki lembaga eksekutif suatu negara.

Membuat aturan2 di daerah yang diduduki adalah contoh hak yang dimiliki lembaga legislatif.

Membentuk & menjalankan lembaga peradilan adalah contoh fungsi yudikatif, misalnya Raad van Justitite di Batavia.

Dalam bidang hukum sudah tidak diragukan lagi bahwa sistem tata hukum di Indonesia sangat dipengaruhi oleh VOC, misalnya:

a) Pada tahun 1760 VOC memerintahkan D.W. Freijer untuk menyusun hukum yang kemudian dikenal dengan “Compendium Freijer”. Compendium ini diberlakukan dengan peraturan Resolutie der Indische Regeering tertanggal 25 Mei 1760 & dijadikan rujukan hukum dalam menyelesaikan sengketa yang terjadi dikalangan masyarakat Islam di daerah yang dikuasai VOC.

b) Cribonsch Rechboek yang dibuat atas usul Residen Cirebon.

c) Compendium der Voornaamste Javaansche Wetten nauwkeuring getrokken uit het Mohammedaansche Wetboek Mogharraer, dibuat untuk Landraad Semarang pada tahun 1750.

d) Compendium Inlansche Wetten bij de Hoven van Bone en Gowa, disahkan oleh VOC untuk daerah Makassar.

VOC juga berhak membuat perbatasan negara dengan kerajaan2 merdeka di Nusantara, misalnya kita bisa baca di Pasal 3 perjanjian dengan Kerajaan Mataram tahun 1677:

“Kekuasaan pengadilan dan perbatasan Batavia berada dan akan tetap di tengah2 Sungai Kerawang, seperti yang diputuskan oleh Susuhunan Besar pada 1652 selama kehadiran Tuan Rijklof van Goens di Mataram, sehingga orang-orang Jawa di sebelah barat sungai Kerawang sampai Laut Selatan akan berada dalam wilayah VOC dan taat kepadanya; tetapi diminta agar supaya perbatasan boleh diperluas sampai Sungai Pamanukan, terhitung melintang sampai Laut Selatan, dengan rakyat yang berdiam di dalamnya tidak akan memberikan hasil apapun kepada Susuhunan...”


Sejarawan R. Moh. Ali mengutip uraian pengarang2 Belanda bahwa VOC merupakan suatu bentuk politik atau suatu badan kenegaraan (hal 329).

Selanjutnya Ali menyimpulkan bahwa dengan berpedoman kepada riwayat terjadinya “octrooi”, serta perkembangan selanjutnya dapatlah ditentukan bahwa VOC adalah suatu bentuk politik laksana suatu negara karena memenuhi syarat2 sebagai negara (hal 330). Hal ini diulangi kembali dengan menyatakan bahwa bagaimana pun juga VOC jelas merupakan suatu negara, lebih-lebih apabila dibandingkan dengan imperium Spanyol dan Portugis, yakni tentang hak memerangi, menduduki, memerintah daerah2 dan bangsa2 di luar wilayah Eropa yang dihadiahkan oleh Paus kepada raja2 Portugis dan Spanyol dengan piagam-piagam tahun 1493, 1494 dan 1529 (hal 331).

Secara organisatoris, pengangkatan seorang Gubernur Jenderal serta Raad van Indie pada tahun 1609 merupakan penyempurnaan pimpinan sentral yang menjamin pendirian negara di Hindia-Timur. Orang2 Belanda sendiri memberikan pengertian terhadap “kekuasaan Belanda” yang dibulatkan dengan negara Belanda di Hindia-Timur sebagai “het rijk in Azie” atau Imperium di Asia.

Ali juga mengutip dari F.W. Stappel dalam “De oprichtingder VOC” yang menyebut bahwa bagaimanapun juga VOC adalah suatu “gezagsorganisatie”. Bahasa awamnya “gezagsorganisatie” kurang lebih berarti organ yang bergantung pada fungsi negara.

Kesimpulan IMHO, pemberian hak yang demikian istimewa tersebut oleh Staaten General sudah melampaui kedudukan VOC lebih dari sekedar kongsi dagang. Meski memang VOC tidak dideklarasikan sebagai sebuah negara resmi tapi VOC sudah bertindak sebagaimana layaknya sebuah negara atau setidaknya sebagai kepanjangan tangan atau mewakili negara Belanda saat itu.

Menarik untuk mengemukakan pendapat seorang sejarawan Belanda yang juga menjabat sebagai Kepala Departemen Dokumentasi Sejarah KITLV, Dr. Gerrit Knaap, yang dalam desertasinya pernah menulis tentang "Cengkeh, Nasrani, VOC & Penduduk Ambon", ketika mengomentari, atau lebih tepatnya mengkritisi, akan dirayakannya 400 tahun berdirinya VOC pada tahun 2002 yang lalu, antara lain:

Di Belanda, masih ada sebagian kalangan yang masih memiliki “ideologi kolonial” dan beranggapan bahwa VOC itu semata-mata adalah suatu perusahaan dagang belaka dan bukanlah merupakan organisasi serupa kenegaraan yang bisa secara sistimatis melancarkan perang & penaklukkan terhadap bangsa-bangsa lain. Bagi mereka itu, tampaknya adalah tidak masuk di akal, bahwa orang-orang Belanda bisa mempraktekkkan kekuasaan penindasan dan kekejaaman terhadap rakyat Indonesia, seperti yang dilakukan oleh kekuasaan pendudukan Jerman atas rakyat Belanda dalam periode 1940-1945. Parahnya ialah, bahwa sesudah 1949, publik opini di Belanda banyak terpengaruh oleh pandangan tsb. Pengaruh itu bukan kecil dan sampai dewasa inipun masih ada di kalangan atas termasuk di Den Haag dan sementara lembaga kerajaan, kongkritnya tampak pada ide dan acara untuk memperingati dan merayakan 400 tahun berdirinya VOC.

Namun, masih menurut Dr. Gerrit Knaap, harus dikemukakan bahwa di kalangan generasi baru sarjana ilmu sosial Belanda, khususnya para sejarawannya, para dosen dan guru-guru pandangan "ideologi kolonial" itu sudah tiada lagi. Hal mana bisa di lihat di dalam penyusunan buku sejarah tahun 2001. Buku-buku tersebut secara terbuka mengutuk eksploitasi dan penindasan satu golongan bangsa tertentu terhadap golongan bangsa lainnya. Buku-buku tersebut menilai perbuatan kolonialisme Belanda di Indonesia dengan standar tau ukuran dan nilai-nilai deklarasi hak-hak azasi manusia dewasa ini. Ini segi positif yang mencerminkan kemajuan golongan generasi muda Belanda.

Sedikit maju ke periode Hindia-Belanda sebagai kelanjutan dari VOC, fakta yang terjadi di Belanda juga masih bisa kita temukan di sebagian kalangan kita yang berpikir bahwa Indonesia tidak (pernah) dijajah oleh Belanda.

Untuk paragraf terakhir di atas, mungkin kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan/pernyataan:

1. Kalo Belanda tidak menjajah wilayah yang dulu disebut Hindia-Belanda (sekarang Indonesia), silahkan baca Pasal 1 Konstitusi Kerajaan Belanda (perubahan setelah tahun 1814) yang memasukkan Hindia-Belanda sebagai wilayah koloni.

2. Kalo Belanda tidak menjajah wilayah yang dulu disebut Hindia-Belanda (sekarang Indonesia), apa maksudnya pemerintah Belanda mengangkat Menteri Urusan Negara Jajahan?

3. Silahkan baca pendapat2 ahli hukum di negeri Belanda menjelang dilaksanakannya Politik Etis, akan dengan mudah disimpulkan bahwa orang2 Belanda mengakui telah menjajah Hindia-Belanda sehingga perlu dilakukan politik balas budi.


Sumber:

1. “Pengantar Ilmu Sejarah”, R. Moh. Ali

2. “Bukan 350 Tahun Dijajah”, G.J. Resink

3. “Sejarah VOC Dalam Perang dan Damai 1602-1799”, Jan Kompeni

4. “Pengurus Pusat VOC & Lembaga-Lembaga Pemerintahan Kota Batavia (1619-1811) Sebuah Pendahuluan”, Dr. Hendrijk E. Niemeijer, bisa diakses di http://www.sejarah-nusantara.anri.go.id/…/brillvocinventari…

5. “Pengaruh Hukum Belanda Pada Peradilan Agama”, Muh. Jamal Jamil, bisa diakses di http://www.uin-alauddin.ac.id/download-8.%20Pengaruh%20Bela…

6. Yudha Thianto dalam Jurnal Teologi “Veritas” 12/2, Oktober 2011 bisa akses di http://www.seabs.ac.id/…/Veri…/8-Doa%20Bapa%20Kami-Yudha.pdf