Kamis, 09 April 2015

Bahasa Plesetan di Jaman Hindia-Belanda

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pleset berarti tidak mengenai sasaran atau tidak mengenai yang dituju. Jadi bahasa plesetan bisa disebut sebagai sesuatu yang diplesetkan sehingga tidak mengenai sasaran tetapi memberikan makna baru.

Bahasa plesetan di Indonesia diperkirakan mulai populer pada tahun 1990-an & mulai dipopulerkan di Yogyakarta. Saat itu, beberapa pelawak yang tayang di televisi keluar dari pakem yang menampilkan kebodohan pelawak, tapi mulai menggunakan gaya plesetan.

Saat itu isu2 sospol bukan barang tabu lagi tapi sudah sering jadi pembicaraan meski tidak dilakukan dengan terang-terangan. Penggunaan bahasa plesetan mengandung kritik yang menggambarkan ketidakpuasan masyarakat terhadap rezim yabg berkuasa.

Ternyata penggunaan bahasa plesetan ini bukan barang baru dan sudah pernah digunakan sebagai kritik terhadap seorang figur kolonial, Hendrikus Colijn, yang jadi musuh bersama tokoh nasionalis muda pada tahun 1920an.

H. Colijn yang pernah 5x menjabat sebagai Perdana Menteri Belanda terkenal dengan pernyataan yang kontra dengan pelaksanaan politik etis, misalnya ia pernah bilang bahwa "kesatuan Indonesia" sebagai suatu konsep kosong karena masing2 pulau dan daerah di kepulauan ini adalah entitas yang terpisah2, dan masa depan jajahan ini tidak mungkin tanpa dibagi dalam wilayah2.

Atas ucapan2nya mengenai wilayah koloni Hindia-Belanda, Colijn pun mendapat kritik dari dari tokoh2 penganut politik etis, bahkan dari Gubernur Jenderal de Graeff, yang dianggap sebagai gubernur jenderal etis terakhir. Colijn dikritik karena kebutaannya akan semangat kebangsaan dari angkatan muda Indonesia yang terdidik. Pandangan Colijn ini diikuti oleh beberapa pejabat kolonial yang dengan sengaja mengadu domba suku Jawa dan Minangkabau.

Oleh Sutan Sjahrir, pandangan2 Colijn dan pejabat kolonial lainnya bertujuan untuk mengadu domba & memecah belah (divide et impera). Dalam tulisan yang dimuat di majalahnya pada bulan Agustus 1927, Sjahrir menulis bahwa usaha untuk memisahkan orang Indonesia adalah suatu rekayasa jahat divide et impera, suatu muslihat yang khas "Colijnialism".

(Catatan: makna "Colijinialism" di masa itu bisa jadi maksudnya adalah untuk menunjukkan pembentukan paham atau isme yang berkaitan dengan pemikiran Colijn tapi pastinya saat itu tidak disadari bahwa jika dibaca dalam konteks sekarang dapat juga dipahami sebagai bentuk plesetan dari "colonialism", karena jaman penjajahan dulu mungkin belum dikenal istilah & praktek bahasa plesetan)

Tak hanya di Hindia-Belanda, ternyata di negeri Belanda pun praktek plesetan kata juga sudah ada ketika VOC sedang di ambang kebangkrutannya. Para pengkritik VOC yang kepanjangan seharusnya adalah Verenigde Oost-Indische Compagnie (Kongsi Dagang Hindia-Timur) memplesetkan menjadi Verbaan Onder Corruptie yang artinya Runtuh Karena Korupsi.

Untuk lebih lengkapnya bisa baca di http://serpihan-sejarah.blogspot.com/2015/04/sejarah-voc-vergaan-onder-corruptie.html

Sumber:

1. "Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia", Rudolf Mrazek




Sejarah VOC (Vergaan Onder Corruptie = Runtuh Karena Korupsi)

Latar Belakang

VOC yang kepanjangan lengkapnya “Generale Verenigde Geoctroyeerde Oost Indische Compagnie” adalah sebuah kongsi dagang besar yang didirikan pada bulan Maret 1602. Mengapa besar? Karena VOC ini adalah gabungan dari setidaknya 6 perusahaan besar (pra-kompeni) dari wilayah propinsi Holland dan Zeeland.

Pada tahun 1600 kompeni2 yang berbasis di Amsterdam melebur menjadi satu Geünieerde Amsterdamse Oostindische Compagnie (Kompeni Hindia Timur Serikat Amsterdam), yang oleh walikota Amsterdam diberi hak monopoli untuk berlayar dari Amsterdam menuju Asia. Di provinsi Zeeland pun orang bekerja sama tetapi kerja sama ini tidak terlalu luas karena para pengusaha di Zeeland tidak suka melebur dengan perusahaan2 dari provinsi Holland. Mereka khawatir jika dalam satu perusahaan bersama, Amsterdam akan memperoleh kedudukan yang terpenting. Di lain wilayah, berdirilah juga perusahaan2 baru di seperti di kota Hoorn, Enkhuizen, dll.

Penggabungan perusahaan2 dagang menjadi VOC ini bukan perkara mudah karena melalui proses yang panjang dan dipaksakan oleh pemerintah Belanda ketika itu. Perwakilan utama VOC pada saat didirikannya, Johan van Oldenbarneveldt, seorang pengacara Holland yang terkenal menyatakan ada 2 sebab utama yang menyebabkan perlunya dibentuk persatuan perusahaan dagang, salah satunya adalah: “Guna menimbulkan bencana pada musuh dan untuk keamanan tanah air”. Ini karena para pendiri VOC menyadari bahwa setiap usaha untuk meluaskan perdagangan Belanda di Asia pasti akan mengakibatkan konflik bersenjata dengan pedagang2 Portugis dan Spanyol. Akhirnya setelah stadhouder Pangeran Maurits campur tangan, maka perusahaan2 dari Zeeland pun tidak dapat lagi menghindar untuk tidak bergabung.

Untuk diketahui bahwa Mahkota Portugal yang dijunjung oleh wangsa Hadsburg Spanyol sejak Juni 1580 (s/d Desember 1640), menuntut hak monopoli atas semua perdagangan maritim di Asia berdasarkan kejayaan Raja Manuel sebagai “Maharaja penakluk pelayaran dan perdagangan Ethiopia, Arab Persia dan Hindia” yang telah mendapat restu dari Paus pada tahun 1499/1500.

Organisasi VOC

VOC terdiri dari 6 kamar wilayah (kamers) yang didasarkan pada markas besar masing2 perusahaan dagang yang membentuk VOC, yaitu Amsterdam, Hoorn, Enkhuizen, Rotterdam, Delft dan Middelburg. Pimpinan pusat merupakan suatu dewan pengelola atau majelis para pengurus yang terdiri atas 17 utusan atau Heren Zeventien (Heren XVII) yang dipilih dari pimpinan perusahaan2 embrio VOC, dengan penetapan:

- 8 dari Amsterdam
- 4 dari Zeeland
- 4 dari setiap empat kamers kecil
- 1 dipilih bergiliran oleh Zeeland atau oleh salah satu kamers kecil

Sebelum VOC didirikan, pra-kompeni dipimpin oleh sebanyak 76 orang direktur. Pada tahun 1602 mereka semua mendapat tempat dalam pimpinan perusahaan yang baru itu. Di VOC,direktur ditetapkan sebanyak 60 orang: 20 orang di kamers Amsterdam, 12 orang di Zeeland, dan 7 orang di setiap kamers kecil. Dikarenakan pada saat pembentukan VOC di semua kamers, kecuali di Hoorn, jumlah para direktur lebih besar, untuk sementara waktu jika terjadi kelowongan tidak akan diangkat seorang direktur baru. Menurut prosedur pengangkatan direktur yang telah ditetapkan pada tahun 1602, Staten (pemerintah) se-provinsi (Holland atau Zeeland) berwenang memilih seorang direktur dari antara tiga orang yang dicalonkan oleh para direktur kamer yang bersangkutan.

Permodalan VOC

Sebelum terbentuknya VOC, pra-kompeni mengumpulkan dana untuk membiayai perlengkapan kapal-kapal yang hendak berlayar ke Asia. Kini kapal-kapal itu digabungkan menjadi satu armada yang disebut ‘Armada 14 Kapal’ yang merupakan ekspedisi pertama ke Asia yang dibiayai oleh VOC. Selanjutnya, masyarakat akan diberi kesempatan melakukan penanaman modal yang baru, tidak hanya untuk satu ekspedisi, tetapi untuk jangka waktu sepuluh tahun. Selama masa itu modal tersebut akan dipakai untuk memperlengkapi beberapa armada.

Modal saham awal VOC kira2 berjumlah 6 juta gulden atau 10x lebih besar dari modal EIC (East Indian Company), kongsi dagang milik Inggris. Di dalamnya termasuk saham Oldenbarneveldt sebesar 5 ribu gulden “agar tidak hanya dianggap sebagai penasihat tetapi juga sebagai investor”.

Pegawai VOC

Di dalam VOC, pegawai2 selain pengurus, setidaknya terdiri atas 4 kategori, yaitu:

- Pegawai niaga, mulai dari Assistent s/d Opperkoopman (pedagang kepala).
- Personil militer dan maritim, dari bermacam pangkat
- Personil kerohanian, termasuk pendeta2 Calvinis (predikanten)
- Tukang dan pengrajin

Di struktur pegawai VOC, seorang Opperkoopman lebih tinggi pangkatnya dari personil militer atau maritim yang senior sekalipun, dan bila ditunjuk sebagai pemimpin ekspedisi akan diberi pangkat Jenderal atau Panglima Medan (Veldoverste).

Pegawai2 rendahan dalam dinas VOC, serdadu2 dan para pelaut biasa, kehidupannya cenderung jahat, kasar dan singkat usianya. Mereka kerap disebut sebagai “orang2 mesin hina” dan “orang2 tanpa kemeja”. Pekerjaan yang berat, bayaran yang rendah dan disiplin yang sangat tinggi bahkan sering kejam, menjadikan watak mereka seperti manusia buas dalam tempo singkat, meski mungkin juga sudah ada yang jadi tabiat aslinya.

Seorang dokter bedah yang bertugas di kapal VOC untuk pertama kali dalam kurun waktu 1639-1643, Nicolaus de Graff, memberikan testimoninya “...bila kelasi2 dihukum, mereka dihajar dengan ujung tali tebal sampai terjatuh dan minta ampun...dimasukkan ke bawah lunas kapal...kaki mereka diikat dengan rantai dan didera di depan tiang kapal...atau mereka dibuang ke pantai barat Sumatera, Banda atau Mauritius atau di Pulau Robben di Tanjung Harapan...mereka diperlakukan tidak lebih baik dari para budak dan harus senantiasa siap sedia mematuhi perwira yang paling muda sekalipun”.

Kantor Cabang VOC

Selama masa hegemoninya, VOC pernah membuka kantor2 cabang, antara lain:

- Siam (1607)
- India: di Coromandel (1613), Surat (1616) dan Wingurla (1637)
- Arab: di Mocha (1616)
- Di Sumatera: di Palembang (1619)
- Jepang: di Hirado (1609) lalu dipindahkan ke pulau Deshima di Nagasaki (1641)
- Persia: di Gombrun, Shiraz dan Ispahan (1623)
- Taiwan: di Benteng Zeelandia (1624)
- Vietnam (1636/1637)
- Srilanka (1644)

Daftar Gubernur Jenderal VOC

Berikut daftar gubernur-gubernur yang pernah memimpin VOC yang diangkat oleh Heeren XVII (mengenai tahunnya ada sedikit perbedaan dengan beberapa sumber tulisan lain tapi mayoritas sama):

1610-1614: Pieter Both
1614-1615: Gerard Reynst
1616-1619: Laurens Reael
1619-1623: Jan Pieterszoon Coen
1623-1627: Pieter Carpentier
1627-1629: Jan Pieterszoon Coen
1629-1632: Jacques Specx
1632-1636: Hendrik Brouwer
1636-1645: Antonio van Diemen
1645-1650: Cornelis van der Lijn
1650-1653: Carel Reyniersz
1653-1678: Joan Maetsuycker
1678-1681: Rijcklof van Goens
1681-1684: Cornelis Speelman
1684-1691: Johannes Camphuys
1691-1704: Willem van Outhoorn
1704-1709: Joan van Hoorn
1709-1713: Abraham van Riebeeck
1713-1718: Christoffel van Swoll
1718-1725: Hendrick Zwaardecroon
1725-1729: Mattheus de Haan
1729-1731: Diederik Durven
1732-1735: Dirk van Cloon
1735-1737: Abraham Patras
1737-1741: Adriaan Valckenier
1741-1743: Johannes Thedens (waarnemend)
1743-1750: G. W. Baron van Imhoff
1750-1761: Jacob Mossel
1761-1775: Petrus Albertus van der Parra
1775-1777: Jeremias van Riemsdijk
1777-1780: Reinier de Klerk
1780-1796: Willem Arnold Alting

Bubarnya VOC

Abad ke-18 kegiatan VOC di Asia dari tahun ke tahun hanya mengalami kerugian. Lagi pula, perdagangan dengan Jepang makin menyusut dan sesudah tahun 1700 tidak berarti lagi. Keuntungan yang didapat dari penjualan barang-barang dari Asia di tanah air ternyata masih mencukupi untuk membiayai pembekalan armada kapal yang setiap tahun berlayar ke Asia dan menutupi kerugian perdagangan di kawasan itu yang diderita tiap-tiap tahun. Namun, persediaan cadangan keuangan semakin menipis.

Perubahan-perubahan yang cukup mendasar ini membawa akibat VOC semakin bersandar pada hasil penjualan di Belanda sendiri. Pendanaan perusahaannya langsung terkait dengan hasil penjualan itu. Hal ini menempatkan Kompeni di posisi yang lemah.

Pecahnya Perang Inggris ke-IV pada tahun 1780 membawa malapetaka. Selama beberapa tahun tidak masuk lagi kapal2 dari Asia, sehingga tidak mungkin lagi mengadakan lelang.

Secara mendadak Kompeni kehilangan kredibilitasnya dan terjebak di lubang hutang yang dalam. Perang berakhir tahun 1784, tetapi Kompeni sudah mengalami persoalan yang pelik sehingga hanya mampu berdiri dengan dukungan pemerintah Belanda.

Pendudukan negeri Belanda oleh tentara Perancis dan penataan politik negeri Belanda ikut menentukan nasib VOC. Awal tahun 1796, setelah Bataafse Republiek eksis, Direksi harus mundur dari jabatannya & menyerahkan pimpinan kepada "Comité tot de zaken van de Oost-Indische handel en bezittingen (Komite untuk Urusan Perdagangan dan Jajahan di Hindia Timur).

Mulai dari tanggal 1 Januari 1800 oktroi VOC, yang merupakan dasar hukum organisasi itu, sudah tidak berlaku lagi.

Sebab Musabab Bubarnya VOC

Ahli sejarah masih memperdebatkan sebab-sebab kebangkrutannya VOC dan sejauh mana korupsi dianggap sebagai penyebab utama bangkrutnyaVOC sehingga di akhir eksistensinya ada plesetan singkatan dari mereka yang mengkritisi VOC, yaitu Vergaan Onder Corruptie atau Runtuh Karena Korupsi. Sedangkan bagi mereka yang pro terhadap VOC menganggap korupsi bukanlah faktor utama karena itu adalah kenyataan yang tak dapat dihindarkan.

Sebenarnya, indikasi korupsi di tubuh VOC dapat dilihat dari pengakuan salah seorang mantan pengurus keuangan VOC, Pieter van Dam, bahwa dalam Beschrijving (Penjelasan) rahasia yang ia buat hanya untuk dibaca Heren XVII ditulis:

“...pada abdi Kompeni harus berusaha hidup dan dalam batas gaji mereka, adalah hal yang sejak semula diakui tidak dapat dilakukan, dan karena itu ada kalanya orang harus menutup mata dan berpaling ke arah lain”

Di tahun 1732, Heren XVII juga pernah secara tiba2 membebastugaskan Gubernur Jenderal, Direktur dan 2 orang anggota dewan senior karena kasus korupsi, tapi tidak ada upaya hukum lanjutan yang jelas. Sebagian besar Gubernur Jenderal berhenti dari jabatannya sebagai orang kaya atau jutawan yang modalnya pasti tidak diperoleh dari menabung atau berhemat2 dengan gaji resminya.

Bersambung (VOC SEBAGAI WAKIL NEGARA)...


Sumber:

1. “Sejarah Nasional Indonesia IV: Kemunculan Penjajah di Indonesia 1700-1900”, Marwati Djoened Poesponegoro dkk

2. “Sejarah VOC Dalam Perang dan Damai 1602-1799”, Jan Kompeni

3. Baca juga di http://www.sejarah-nusantara.anri.go.id/…/about-the-voc-an…/

4. Baca juga http://www.colonialvoyage.com/dutch-east-india-company-voc…/

5. Baca juga https://www.rijksmuseum.nl/…/t…/1602-trade-with-the-east-voc





Minggu, 05 April 2015

Kontroversi Seputar Naskah Wangsakerta

Setiap kali ada diskusi mengenai sejarah kerajaan2 di Tatar Sunda, Naskah Wangsakerta biasanya akan sering disinggung sebagai salah satu rujukan, meski Naskah Wangsakerta ini tidak hanya mengandung cerita sejarah di Tatar Sunda tapi juga di Nusantara.

Bagi yang masih penasaran dengan Naskah Wangsakerta, apa, bagaimana dan kenapa, ringkasan coret2an yang saya buat ini mungkin bisa sedikit membantu...

Apakah Naskah Wangsakerta

Naskah Wangsakerta (selanjutnya disebut “Naskah”) adalah sekumpulan Naskah yang disusun oleh sebuah tim yang dipimpin Pangeran Wangsakerta. Naskah ini disusun sejak tahun 1677 s/d 1698 sesuai dengan keterangan yang tertulis di dalamnya.

Penyusunan Naskah ini terlebih dahulu diadakan musyawarah untuk menguji kebenaran bahan karangan yang berasal dari berbagai riwayat yang dibawa sejumlah peserta dari berbagai negeri. Isi riwayat beraneka macam, seperti riwayat beberapa kebijaksanaan tertulis beberapa kerajaan di nusantara, uraian etika politik, prasasti, peraturan kerajaan, ajaran agama, silsilah, dan kisah keluarga raja. Adapun peserta musyawarah disebutkan terdiri atas sang pinakadi, sang mahakawi, sang jurukatha, mentri, patih, duta kerajaan, duta wilayah, ahli nujum, penghulu, guru besar agaman sang gotrasawala, sang adyaksa yang tujuh dan Pangeran Wangsakerta sebagai pemimpin musyawarah. Musyawarah itu dilaksanakan di Paseban Kesultanan Kasepuhan Cirebon.

Hasilnya, antara lain:
  • Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara, dibagi ke dalam 5 parwa (bagian) dan berjumlah 25 sarga (jilid)
  • Pustaka Pararatwan, dibagai ke dalam 6 parwa dan berjumlah 10 sarga
  • Pustaka Nagarakretabhumi berjumlah 12 sarga
Naskah Pangeran Wangsakerta terbuat dari bahan kertas daluang dengan sampul kertas karton dibungkus kain blacu putih dan warna kecoklat-coklatan. Tinta warna hitam. Ukuran aksaranya 5 mm. Bahasa dan aksara yang digunakan model bahasa Jawan Kuno dan aksara Jawa yang bercirikan kebudayaan Pesisir-Cirebon.

Asal-Usul Naskah

Menurut artikel yang ditulis oleh Nina H. Lubis (catatan: selanjutnya kita singkat saja “NHL”), mengutip keterangan dari Prof. Edi S. Ekadjati (catatan: selanjutnya kita singkat saja “ESE”, pada tahun 1977, Kepala Museum Sri Baduga membeli Naskah melalui informan atau perantara yang bernama Moh. Asikin (selanjutnya kita sebut saja “Perantara”), warga kota Cirebon. Naskah tersebut dibawa ke luar Cirebon karena khawatir jatuh ke tangan pemerintah kolonial.

Siapa Pangeran Wangsakerta

Siapakah Pangeran Wangsakerta? Jika dirunut dari Sunan Gunung Jati beliau adalah keturunan ke-6, putra Panembahan Girilaya. Kedua kakaknya adalah Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Nama Pangeran Wangsakerta tercatat dalam perjanjian antara Cirebon dengan VOC tertanggal 7 Januari 1681 (atau 1691?). Dalam catatan harian VOC (Dagh Register) Pangeran Wangsakerta tercatat sebagai keluarga Keraton Cirebon yang lembut, cerdas dan mempunyai kemampuan memimpin.

(Catatan: Dengan demikian tokoh Pangeran Wangsakerta bukan tokoh fiktif atau dikarang2)

Gotrasawala

Pada tahun 1677 di Keraton Kasepuhan diadakan gotrasawala semacam musyawarah atau seminar jaman sekarang ini. Tujuannya untuk menyusun sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Yang diundang adalah para ahli sejarah dari berbagai kerajaaan di Nusantara, bahkan ada perwakilan dari Trengganu, Malaka (Malaysia sekarang) dan Tumasik (Singapura). Juga dilengkapi penasihat ulama Islam dari Arab dan ulama Siwa dari India. Tidak hanya itu bahkan ada utusan dari negri-negri lain sebagai peninjau dan tidak mempunyai hak suara seperti dari Mesir, Arab, India , Srilangka, Benggala, Campa, Cina, dan Ujung Mendini (Semenanjung Malaysia). Penulisan sejarah ini merupakan amanat dari mendiang Panembahan Girilaya. Sebagai penanggung jawab/tuan rumah adalah Sultan Sepuh dan Sultan Anom, sedangkan ketua penulisan naskah adalah Pangeran Wangsakerta.

Isu-Isu Yang Jadi Polemik

1. Isu seputar usia Naskah

Menurut artikel yang ditulis oleh Sejarawan Nina H. Lubis, sesuai penelitian yang dilakukan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), umur kertas berusia sekitar 100 tahun, dihitung dari tahun 1988 saat Naskah itu diuji. NHL menganggap bahwa Naskah yang dibeli dan disimpan di Museum Sri Baduga adalah salinan yang baru ditulis sekitar abad 19, padahal di dalam Naskah sendiri tertulis disusun sejak tahun 1677 dan selesai tahun 1698.

Untuk masalah ini, menarik juga membaca penjelasan ESE yang dimuat di http://inspirasi.co/…/sekali_lagi_sekitar_naskah_wangsakert…

Menurut ESE, bahwa sebenarnya yang mengusulkan pengujian tersebut adalah dirinya sendiri namun hasilnya belum final karena keraguan pihak Laborannya. Contoh kertas tersebut kemudian di bawa ke salah satu Lab di Tokyo, Jepang, namun sampai dengan tanggal artikel itu dibuat, 27 Mei 2002, hasilnya belum dikirim ke Museum Sri Baduga.

2. Gotrasawala

Sesuai yang tertulis di dalamnya bahwa Naskah disusun pasca pertemuan yang disebut Gotrasawala yang dihadiri oleh kurang lebih 70 utusan dari dalam & luar Indonesia (catatan: ketika jaman VOC masih disebut Hindia-Timur). Pertemuan dengan jumah 70an peserta tentunya termasuk skala besar & akan menjadi pusat perhatian VOC. Faktanya, peristiwa pertemuan ini tidak tercatat di dalam Dagh Register milik VOC.

3. Asal-Usul Naskah

NHL pernah menanyakan langsung kepada Dr. Undang A. Darsa, ahli Filologi Unpad Bandung yang ikut penelitian Naskah ini, apakah Atja sebagai pembeli menanyakan kepada Perantara dari mana Naskah tersebut berasal. Ternyata Atja tetap merahasiakan dari siapa Naskah itu diperoleh oleh Perantara.

4. Perbandingan dengan Kitab Lain

Dikatakan di dalam kitab Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara bahwa Nararya Sanggrawijaya adalah putera dari perkawinan antara Rakryan Jayadarma dengan Dewi Singhamurti (Dyah Lembu Tal) anak Mahisa Campaka, sehingga dengan demikian Nararya Sanggramawijaya adalah keturunan Sunda yang nama aslinya adalah Rahadyan Wijaya, dan Dyah Lembu Tal adalah ibunya yang berarti seorang perempuan.

Uraian ini bertentangan dengan keterangan yang dituliskan dalam Negarakretagama (Desawarnana) yang selesai ditulis oleh Mpu Prapanca tahun 1287 Saka (1365 M) atau sekitar 333 tahun sebelum munculnya naskah Wangsakerta. Kitab Negarakretagama dalam Pupuh XLVII menyatakan:

“Dyah Lembu Tal itulah bapa Baginda Nata (Nararya Sanggramawijaya), dalam hidup atut runut sepakat sehati, setitah raja diturut, menggirangkan pandang, tingkah laku mereka semua meresapkan”

Dari isi pupuh dapat disimpulkan ternyata bahwa Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki (bukan perempuan) karena itu disebut dengan istilah "bapa".

Contoh lainnya,nama asli pendiri Majapahit adalah Nararya Sanggramawijaya dan bukan Rahadyan Wijaya (sebagaimana ditulis dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Pertiwi), karena nama Nararya Sanggramawijaya juga terdapat di dalam piagam atau prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294 M.

Kelanjutan Naskah Wangsakerta

Pada tanggal 16 September 1988 di Universitas Tarumanegara, Jakarta, pernah diadakan “Diskusi Panel Naskah Sumber Sejarah Kerajaan Tarumanagara” dengan penyaji adalah Drs. Atja dan Dr. Ayatrohaedi, sedangkan pembahas di antaranya Drs. Boechari, Prof. Dr. R. Soekmono, Prof. Dr. R.P. Soejono, Dr. J. Noorduyn, dan Drs. Uka Tjandrasasmita. Pada saat itu sudah dirumuskan bahwa “...naskah2 tersebut masih belum dapat dinyatakan sebagai sumber primer untuk penulisan sejarah”.

Pendapat yang kurang lebih senada disampaikan oleh NHL bahwa Naskah ini belum tuntas diteliti secara filologis (dari 48 Naskah baru diteliti sebanyak 26 Naskah), dan ia berkesimpulan bahwa Naskah Wangsakerta tidak dapat digunakan sebagai sumber sejarah tapi sah sebagai obyek kajian filologi.

ESE sebagai peneliti Naskah ini pun mengakui, seperti dikutip oleh NHL di dalam artikelnya, bahwa masih ada keraguan terhadap Naskah ini mengingat hal-hal yang diperdebatkan. Namun ia berpendapat sebagaiman ditulis dalam artikel pribadinya bahwa informasi dari naskah Pangeran Wangsakerta dapat digunakan sebagai informasi bandingan untuk saling menguji informasi antar sumber sejarah. Ia juga menyarankan penelitian serius, benar, dan jujur atas naskah Pangeran Wangsakerta diperlukan di masa kini dan masa datang, sebagai tantangan yang menuntut kita harus terus giat bekerja dan bekerja.

Masalahnya kemudian adalah, di tengah kontroversi yang belum berhenti & belum ada titik temunya, beberapa ilmuwan yang terkait dengan Naskah ini, yaitu: Drs. Atja, Drs. Saleh Danasasmita, Prof. Dr. Ayat Rohaedi, Prof. Dr. Edi S. Ekadjati dan Drs. Yoseph Iskandar yang telah mengangkat naskah-naskah Pangeran Wangsakerta ke forum nasional dan publik semuanya telah meninggal dunia.

Sedikit kemajuan yang bisa dicatat adalah saat acara Gotrasawala yang diadakan pada bulan Desember 2014 yang lalu, dibuka dengan acara Konferensi Kebudayaan di Keraton Kasepuhan Cirebon. Acara ini dihadiri oleh ilmuwan2 besar, antara lain: Prof Nina Lubis (Historian), Drs Achmad Opan Safari (Philologist), Dr Tedi Permadi (Museulogist). Acara ini kemudian dilanjutkan dengan Seminar yang membahas polemik Naskah Wangsakerta. Prof Nina Lubis yang menjadi pembicara menyatakan bahwa sejumlah pihak menyebut naskah Pangeran Wangsakerta adalah naskah salinan. Alasan mereka beragam, seperti metode penyusunan naskah yang dianggap terlalu ilmiah pada zamannya, penggunaan kertas yang dinilai bukan berasal dari zaman tersebut, hingga tidak ada catatan dari pihak Belanda tentang peristiwa Gotrasawala yang menjadi dasar penyusunan ribuan naskah itu. Namun demikian, para sejarawan masih terus mengumpulkan, menerjemahakan dan mengkaji ulang naskah-naskah yang terkumpul.

Kita tunggu saja hasilnya...


Sumber:

1. “Kontroversi Tentang Naskah Wangsakerta”, Nina H. Lubis, dimuat dalam Jurnal Humaniora UGM Volume 14 No 1, Tahun 2002, bisa diakses di http://journal.ugm.ac.id/…/jurnal-humaniora/article/view/741

2. http://www.radarcirebon.com/mengungkap-kontroversi-naskah-w…

3. https://www.bersosial.com/…/kontroversi-naskah-wangsakerta…/

4. http://www.radarcirebon.com/gotrasawala-bahas-polemik-naska…

5. https://gentrapajajaran.wordpress.com/…/wangsakerta-terlal…/

6. Gambar Naskah Wangsakerta pinjam dari http://www.indonesiaheritage.org/ind/katalog/detail/97/




Bekas Preman Jakarta Yang Jadi Menteri

Revolusi kemerdekan turut berkontribusi melahirkan jagoan-jagoan wilayah yang juga tercatat sebagai pejuang kemerdekaan.

Di antara beberapa nama yang pernah muncul adalah Haji Darip dengan Barisan Rakyat (Bara) yang menguasai wilayah Klender dan sekitarnya, ada Misnan dari Kampung Bali, dan Imam Syafe’i (ada juga yang menulis Syafi’i) atau Bang Pi’i atau Sape’i dengan Pasukan Istimewa (PI) nya.

Sape’i lahir bulan Agustus tahun 1923 dengan latar belakang kehidupan yang sudah akrab dengan kalangan bawah di pusat perekonomian Pasar Senen, seperti pedagang, kuli angkut, tukang becak. Sape’i digambarkan dengan perawakan tinggi 1.50an meter, bersuara baritone, berambut keriting, berkulit hitam, kerap berpenampilan necis dan rapih, serta mirip peranakan Arab. Pria kelahiran Pejaten, Pasar Minggu (catatan: ada juga yang menulis Sape’i kelahiran Kampung Bangka, Kebayoran Baru, ini juga piawai mengorganisir preman, pencopet dan penjambret. Ia semakin terkenal saat menewaskan preman Pasar Senen saat itu, Muhayar, yang berasal dari Bogor.

Sape’i diyakini oleh anak buahnya memiliki ilmu bela diri & kekebalan tubuh karena ia pernah belajar dari seorang guru di Kwitang dan di Cirebon.Sebelum masuk TNI, Sape’i adalah pimpinan sebuah Laskar Rakyat di wilayah Jawa Barat yang cukup sukses melucuti persenjataan, baik dari tentara Jepang atau Belanda di awal-awal kemerdekaan. Anggota Laskar ini umumnya adalah pencopet, pencuri dan preman Pasar Senen, namun memiliki persenjataan cukup lengkap & setara dengan kekuatan 1 batalion tentara. Saat masuk TNI, Sape’i bergabung dengan pasukan Siliwangi sampai pangkat Mayor tapi karena program Re-Ra, pangkatnya kemudian diturunkan jadi Kapten.

Setelah penyerahan kedaulatan RI dari Belanda dan pemerintah mengerucutkan jumlah tentara, banyak anak buah Sape’i yang tidak mendapat tempat di TNI, sehingga Sape’i menampungnya dalam sebuah wadah organisasi Cobra. Singkatan Cobra ini sebenarnya sedikit dipaksakan dari kepanjangan “Corps Bamboe Runtjing”. Cobra adalah salah satu organisasi keamanan yang diijinkan oleh KMKB (Komando Militer Kota Besar Djakarta Raya) untuk menjaga kemanan di daerah Kecamatan Salemba dan Senen. Saat itu ada 20 Organisasi Penjaga Keamanan yang disahkan oleh penguasa militer wilayah Djakarta Raya.

(Catatan: Ada juga kelompok di Bandung yang namanya mirip dengan Cobra yaitu Kobra singkatan dari Kolonel Bratamanggala, nama pimpinannya, mantan komandan Front Bandung Utara).

Kelompok Sape’i juga pernah dilibatkan dalam kegiatan politik tentara angkatan darat, yaitu saat dikerahkan tentara berdemo di Istana menuntut presiden untuk membubarkan parlemen dalam peristiwa 17 Oktober 1952 dengan dukungan pasukan dari Resimen 7 pimpinan Kemal Idris.

Kelompok Sape’i yang berdemo di istana itu dikordinir oleh dr. Moestopo, perwira Dinas Kedokteran Gigi AD dan Mayor Kosasih, Komandan Garnisun Jakarta. Sejak peristiwa itu, kelompok PI mempunyai pengaruh baik dalam lingkaran elite politik Jakarta maupun dunia kriminal.

Sape’i diberikan kepercayaan oleh Presiden Soekarno sebaai Menteri Negara Urusan Keamanan dalam Kabinet 100 Menteri yang tugasnya mengurus keamanan di Ibukota. Sape’i adalah satu-satunya menteri yang buta huruf. Karena kebanyakan anak buahnya di Cobra adalah copet, maka Sape’i sering disebut sebagai “Menteri Copet”. Sedangkan Oei Tjoe Tat menyebutnya “Robin Hood daerah Senen”.

(Catatan: Perihal Sape’i buta huruf, agak kontras dengan informasi bahwa Sape’i pernah mengkuti pendidikan di Seskoad Bandung, pada 1958. Kecil kemungkinannya kalo perwira yang buta huruf bisa mengikuti pendidikan lanjutan untuk perwira)

Sape’i dan kelompoknya pernah menghalau demo mahasiswa tahun 1966 yang menuntut Presiden Soekarno turun. Menurut Misbach Yusra Biran Sape’i tidak mengerti politik tapi setia kepada Soekarno. Mungkin atas dasar inilah Sape’i dimasukan dalam daftar menteri yang harus ditangkap dan akhirnya dipenjarakan oleh rezim Orba pasca kejadian G30S, padahal Sape’i termasuk orang yang bergabung dalam penumpasan PKI Madiun 1948.

Sape’i ditangkap pada tanggal 20 Maret 1966 bersama 14 menteri lainnya termasuk Soebandrio, Chaerul Saleh, Oei Tjoe Tat, Teuku Jusuf Muda Dalam, dll. Sape’i sempat menjadi tahanan rezim Orba selama 9 tahun (catatan: ada yang menulis hanya ditahan beberapa bulan) tanpa pernah diadili dan terakhir ditahan di Inrehab Nirbaya.

Sape’i meninggal pada tanggal 9 September 1982 di RSPAD Gatot Subroto dengan pangkat terakhir Letnan Kolonel dan dimakamkan di Kalibata.


Sumber:

1. “Para Jago dan Kaum Revolusioner Jakarta 1945 – 1949”, Robert Cribb

2. Baca juga di http://alwishahab.wordpress.com/…/08/dr-basri-dan-bang-piie/

3. Baca juga di http://sejarah.kompasiana.com/…/bang-pie%E2%80%99i-van-sene…

Setengah Kudeta 17 Oktober 1952: Peristiwa Yang Telah Didandani

"Revolusi Indonesia" sinonim dengan perang kemerdekaan & oleh karena kemerdekaan (catatan: pengakuan de facto dari Belanda) telah tercapai maka revolusi dianggap telah berakhir & isu penting berikutnya yang dihadapi negara adalah memecahkan masalah ekonomi.

Ketika revolusi berakhir dan denyut nadi kehidupan bernegara mulai berjalan normal, keadaan yang demikian menimbulkan dampak psikologis bagi perwira2 TNI AD karena ketidaksiapan mereka mundur dari panggung kehidupan bernegara. Di saat yang sama, perwira2 TNI AD juga hanya menjadi penonton hiruk pikuknya pertentangan dan perebutan kekuasaan oleh partai2 politik pada periode 1950 – 1959 yang dianggap sebagai jaman keemasan partai politik karena konsekwensi menganut sistem demokrasi parlementer.

Peristiwa 17 Oktober 1952 tidak melulu persoalan politik mengenai dikotomi hubungan sipil dan militer tetapi ekses dari keruwetan masalah ekonomi pasca revolusi, yang mengharuskan penghematan dalam pengeluaran pemerintah, ditambah juga persoalan-persoalan demobilisasi dan reorganisasi angkatan bersenjata.

Selama Hatta menjadi perdana menteri, hubungan sipil dan militer berjalan baik, karena program pemerintah dan militer pada umumnya didasarkan pada gagasan Hatta dan Nasution di tahun 1948. Namun iklim kerja sama yang kondusif tersebut hanya sebentar terutama sejak Kabinet Wilopo berkuasa menggantikan Kabinet Sukiman (Maret 1951 s/d Pebruari 1952). Pada masa Kabinet Wilopo program Re-Ra masih tetap berlangsung yang pada akhir tahun 1953 terjadi pengurangan menjadi hanya 80 ribuan prajurit dari jumlah 200 ribuan.

Untuk menjalankan kelanjutan program Re-Ra ini Nasution bekerja sama dengan Menhan Sri Sultan HB IX & mengandalkan dukungan yang kuat dari perwira2 bekas KNIL yang kini menempati posisi strategis & dari perwira2 muda di TNI AD.

Program ini mendapat tentangan hebat dari perwira2 bekas PETA (dan Laskar), utamanya adalah Kolonel Bambang Supeno, yang mendapat dukungan dari (mantan) Panglima Divisi Brawijaya, Kolonel Bambang Sugeng dan Kepala Intelijen TNI Kolonel Zulkifli Lubis. Oposisi di kalangan internal militer ini ternyata mendapat dukungan politik cukup kuat dari PNI. Bagi kelompok ini "revolusi belum selesai".

Untuk keperluan Re-Ra, TNI juga mendatangkan Misi Militer Belanda (MMB) namun mendapat tentangan dari Supeno yang menganggap MMB terlalu berlebihan & bisa mengurangi rasa patriotisme. Supeno, yang sebelumnya menjabat sebagai komandan Akademi Chandradimuka namun dibubarkan oleh Nasution, melancarkan kampaye aktif terhadap Nasution dengan menghasut para komandan militer untuk menentang kebijakan Mabes AD.

Nasution dalam bukunya "Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai" menggambarkan bahwa Supeno sering melakukan audiensi atau pertemuan dengan Presiden Soekarno untuk membicarakan berbagai ketidaksetujuannya terhadap kebijakan KSAD.Agitasi Supeno mencapai puncaknya saat mendatangi sejumlah penguasa militer daerah & meminta tanda tangan mereka untuk mencopot Nasution dari jabatan KSAD.

Tanggal 12 Juli 1952 sebuah pertemuan khusus perwira senior yang diketuai Gatot Subroto diadakan di Mabes AD dimana Simatupang berbicara mencela tindakan Supeno yang dianggap indispliner.

Keesokan harinya Supeno menulis surat kepada Perdana Menteri & Menhan dengan tindasan kepada Presiden Sukarno & Zainul Baharuddin yang menjelaskan dia tidak lagi mempercayai kepemimpinan Nasution yang dituduh tidak mampu membina semangat korps & mengambil keputusan yang memihak dalam hal personalia.

Tanggal 14 Juli 1952 Sri Sultan, Nasution & Simatupang menghadap Presiden untuk mendapakan kejelasan sikapnya. Dari pertemuan itu terindikasi dengan jelas keberpihakan Presiden kepada Supeno. Menurut Simatupang, sikap Presiden itu membuat pimpinan AD gamang. Nasution malah mengajukan pengunduran dirinya karena merasa tidak dipercaya lagi tapi ditolak oleh Sukarno.

Tanggal 17 Juli 1952 Nasution memutuskan untuk membebastugaskan Supeno dari posisinya sebagai Inspektur Infanteri AD.

Parlemen mengecam tindakan Nasution terhadap Supeno, termasuk juga masalah MMB & penganakemasan tentara bekas KNIL.

Pada tanggal 28 Juli 1952, persoalan yang awalnya merupakan "persoalan internal" di AD kini telah menjadi "political issue" & mulai dibahas dalam parlemen dengan pengajuan mosi dari 3 kalangan:

1. Mosi Zainul Baharuddin & Ir. Sakirman (PKI) pada tanggal 24 September 1952.
2. Mosi IJ. Kasimo (Katolik) & M. Natsir (Masyumi) pada tanggal 13 Oktober 1952.
3. Mosi Manai Sophian (PNI) pada tanggal 14 Oktober 1952.

Mosi ke 3 dari Manai Sophian yang memenangkan pemungutan suara & disetujui oleh Parlemen pada tanggal 16 Oktober 1952 tidak menyenangkan pimpinan AD yang dianggap campur tangan politisi sipil dalam militer.

Nasution menyebut langkah parlemen tersebut sebagai "serangan umum" & kecewa atas keputusan tersebut karena menurutnya yang menelorkan mosi itu adalah rekan2 seperjuangannya dulu selama ia mewakili APRI dalam sidang2 seksi pertahanan yang penuh kekeluargaan saat ibukota Republik di Yogyakarta, "Tidak seperti di Jakarta, suasana yang ada adalah kecurigaan bahkan permusuhan terhadap kami (Angkatan Perang) & tuduhan2 yang paling menyakitkan adalah anti-patriotisme, alat imperialisme dan telah diperalat suatu partai..."

Masih menurut Nasution, karena serang tersebut& terpanggil untuk menyelesaikan persoalan Bambang Supeno secara kolegial, pada tanggal 16-17 Oktober 1952 diadakan rapat Staf Umum AD dengan panglima teritorium yang menelorkan beberapa keputusan penting untuk diserahkan kepada Presiden Soekarno.

Sementara itu, kalangan "tentara reformis" di sekeliling Nasution mulai menunjukkan kecemasan & kekecewaannya karena berlarut2nya perdebatan di parlemen. Perwira2 Siliwangi yang mendukung Nasution menyadari bahwa orang2 radikal yang pernah mereka tumpas dalam pemberontakan Madiun tapi lolos dari jerat hukum sekarang berada di antara politisi2 yang bersuara paling lantang di parlemen & sebagian lagi (2/3 nya) adalah anggota parlemen yang dari bekas "negara2 van Mook".

Di lain pihak, terdapat sekelompok perwira di AD garis keras "Elang" yang menuntut agar AD diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan politik pemerintah karena menurut mereka kemerdekaan bisa dicapai sebagian besarnya berkat perjuangan tentara & karenanya mereka berhak untuk ikut menentukan nasib bangsa di bidang politik. Atas inisiatif kelompok "Elang", pimpinan AD merencanakan untuk mengadakan demonstrasi sebagai alat penekan agar parlemen dibubarkan yang dilaksanakan tanggal 17 Oktober 1952.

Pengambil inisiatif utamanya adalah Letkol Soetoko, Kepala Staf Keamanan Khusus AD & Letkol S. Parman, tetapi pengorganisasian massa demonstran oleh Kolonel dr. Moestopo, seorang perwira Dinas Kedokteran Gigi AD & Mayor Kosasih, Komandan Garnisun Jakarta. Seksi intel Divisi Siliwangi juga mengerahkan demonstran dari luar Ibukota dengan menggunakan truk2 tentara. Di lapangan Merdeka dihadirkan tank serta beberapa meriam yang moncongnya di arahkan ke istana. Pasukan ini dipimpin oleh Letkol Kemal Idris, seorang perwira Siliwangi.

Sementara itu perwira2 senior telah diijinkan oleh Perdana Menteri & Menhan untuk menyampaikan sendiri petisinya kepada Presiden. Sebagai jubir dari perwira2 AD adalah Soetoko sementara Soekarno yang tidak ingin menghadapi militer sendirian memanggil Wapres Hatta, PM Wilopo, Menhan Sri Sultan HB IX, Pejabat Ketua Parlemen & Simatupang.

Dalam pertemuan yang digambarkan tegang itu Soetoko menyerahkan kepada Presiden sebuah petisi yang ditandatangani perwira2 yang hadir dengan seruan intinya untuk membubarkan parlemen. Presiden Soekarno sempat menjawab perwira2 itu karena mereka telah melaksanakan aksi maka akan ada reaksi.

Tentang penempatan meriam2 yang moncongnya dihadapkan ke istana, Kemal Idris dalam memoarnya "Bertarung Dalam Revolusi" menyatakan bahwa sudut elevasi meriam yang dihadapkan ke Istana sesungguhnya tidak tepat. Kalau pun ditembakkan, pelurunya akan melewati Istana Kepresidenan. Menurut Kemal Idris, karena keahlian Presiden Soekarno menghadapi demonstran & berpidato maka tuntutan massa demonstran dapat diredam & massa membubarkan diri.

Oleh Soekarno, dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, peristiwa 17 oktober 1952 itu dianggap sebagai percobaan “setengah coup”. Tidak mengherankan jika kemudian "musuh2" pribadi Nasution mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952 itu adalah suatu percobaan "kudeta". Tuduhan ini misalnya disebut di dalam harian Merdeka.

Peristiwa ini merembet ke daerah2 sehingga terjadi polarisasi antara perwira2 yang pro 17 Oktober 1952 dengan yang oposan terhadap Nasution. Kelompok yang anti-Nasution ini mendapatkan angin untuk menuntut pemerintah agar mengambil tindakan keras terhadap pimpinan AD.

Pada tanggal 15 Desember 1952 Nasution dibebastugaskan dari jabatanya sebagaI KSAD.

Bagaimana Nasution kemudian menjawab stigma "kudeta" oleh lawan2 politiknya.

Dalam wawancara yang dimuat di buku "Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai" menurut Nasution yang menuduh adanya percobaan kudeta pada waktu itu adalah harian Merdeka didasarkan pada laporan BISAP yang dibuat oleh Zulkifli Lubis (kemudian disebut Nasution sebagai "Dokumen Lubis"). Laporan yang mengesankan bahwa KSAD mau mengadakin "kudeta" kemudian bocor & tersebar ke teritorium2 & parpol2, tampaknya dipercaya sebagai informasi resmi.

Nasution membantah bagian2 penting isi dokumen BISAP yang dinilai fitnah belaka & ketika itu Zulkifli Lubis tidak berada di tekape.

Bantahan dari SUAD atas laporan BISAP itu dikeluarkan pada akhir Nopember 1952 yang menyatakan tidak ada dialog antara Presiden Sukarno & Nasution, serta tidak ada konsep yang disodorkan, seperti yang disebut dalam Dokumen Lubis.

Dalam buku "Peristiwa 17 Oktober 1952" yang ditulisnya sendiri, Nasution menyatakan bahwa Peristiwa 17 Oktober 1952 terjadi karena adanya campur tangan Parlemen dalam kehidupan militer & adanya perpecahan dalam tubuh militer khususnya AD.

Suatu ketika, saat Nasution berpidato di Kaban Jahe, Sumatera Utara, untuk partai yang baru didirikannya IPKI,sekelompok orang berteriak mengaitkan Nasution dengan Peristiwa 17 Oktober 1952. Nasution terpaksa menjawab:

"Bahwa Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa yang telah didandani (aangekleed) oleh lawan2 politik saya, persis seperti Belanda mendandani Perjanjian Linggarjati".

Menurut sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, dikutip dari buku "Peristiwa 17 Oktober 1952", situasi politik dan tingkah laku politisi terhadap Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang merupakan pemicu terjadinya peristiwa tersebut.

Sayang, sampai akhir hidupnya, Zulkifli Lubis tidak pernah memberikan klarifikasi atas Peristiwa 17 Oktober 1952. Sama seperti tugasnya yang harus "misterius" di bidang intelijen, kehidupan Zulkifli Lubis juga "misterius".


Sumber:

1. “Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah”, Slamet Sutrisno

2. "Politik Militer Indonesia 1945 - 1967 Menuju Dwifungsi ABRI", Ulf Sundhaussen

3. "Peristiwa 17 Oktober 1952", Jenderal Besar A.H. Nasution

4. "Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai", Jenderal Besar A.H. Nasution

5. "Zulkifli Lubis Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD", Peter Kasenda

6. "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat", Cindy Adams

7. "Kemal Idris - Bertarung Dalam Revolusi", Rosihan Anwar, et.al.

Program Restrukturisasi dan Rasionalisasi (Re-Ra) TNI

(Catatan: dari beberapa literatur ada juga yang menuliskan “Reorganisasi” untuk kepanjangan dari kata “Re”, tapi maksudnya kurang lebih sama

Sikon Jelang Kejatuhan Kabinet Amir

Setelah jatuhnya Kabinet Sjahrir III, Presiden Soekarno menunjuk Amir Syarifuddin untuk membentuk kabinet. Soe Hok Gie menyebutnya “Kabinet Kiri Jauh” karena disokong oleh Partai Sosialis (PS), PKI, eks BTI dan golongan buruh seperti Setiadjit sebagai Wakil Perdana Menteri (PBI-komunis di Belanda), Abdulmadjid (PS) sebagai Menteri Muda Dalam Negeri, Tamzil (PS) sebagai Menteri Muda Luar Negeri, Tjokronegoro (PS) sebagai Menteri Muda Perekonomian, Wikana dan Maruto Darusman (PKI) sebgai Menteri Negara dan S.K. Trimurti (Buruh) sebagai Menteri Perburuhan.

Pada masa Kabinet Amir Syarifuddin inilah dilaksanakan perundingan dengan Belanda di atas kapal perang milik Amerika Serikat, USS. Renville, saat lego jangkar di Tanjung Priok, pada 8 Desember 1947. Meskipun dinilai banyak pihak merugikan bangsa Indonesia dan dianggap kemenangan telak diplomasi Belanda, faktanya Perjanjian Reville tetap ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948.

Amir Syarifuddin yang di awal kabinetnya mendapat dukungan dari mitra koalisi, namun setelah penandatanganan Perjanjian Renville, mitra2 koalisi dari Partai Masyumi dan PNI berbalik mengecamnya dan menarik menteri2 parpol koalisi dari kabinet. Amir Syarifuddin mundur dari jabatannya pada tanggal 23 Januari 1948.

Embrio Program Re-Ra

Program Re-Ra sebenarnya sudah dimulai sejak Kabinet Amir Syarifuddin berdasarkan mosi yang diajukan golongan kiri di KNIP pada bulan Desember 1947. Pemerintah kemudian mengeluarkan Penetapan Presiden No 1 tanggal 2 Januari 1948 yang membubarkan Pucuk Pimpinan TNI dan Gabungan Kepala Staf Angkatan Perang, tapi karena adanya reaksi yang keras dari KNIP, Penpres ini kemudian dibatalkan. Munculnya program Re-Ra dinilai sebagai akibat dari “kesalahan” pemerintah yang tidak segera membentuk angkatan perang setelah memproklamirkan berdirinya negara Indonesia. Jadi, pada akhirnya angkatan perang resmi dibentuk, di kalangan militer sendiri sudah terbentuk otonomi.

Jelang akhir tahun 1947, usaha untuk memoderenisasi angkatan perang mulai disuarakan di BP-KNIP, namun, karena masih sebatas wacana akhirnya dibuat mosi oleh Zainul Baharuddin yang merupakan petisi parlemen berisi usulan kebijakan kepada pemerintah untuk mereformasi angkatan perang. Usulan reformasi memuat dua hal pokok yaitu, menempatkan Angkatan Bersenjata di bawah wewenang Menteri Pertahanan dan merasionalisasi jumlah tentara. Mosi tersebut dimunculkan kekecewaan mereka terhadap Angkatan Bersenjata yang tidak dapat menahan gerak maju tentara Belanda pada saat itu.

Amir menggunakan kesempatan program Re-Ra untuk memenuhi ambisi politiknya yaitu menempatkan Angkatan Bersenjata di bawah kekuasaannya sekaligus menyingkirkan tokoh2 yang dianggap menghalangi ambisinya, yaitu Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Kasum TNI Jenderal Urip Sumoharjo. Tapi Re-Ra yang dirintis Kabinet Amir Syarifuddin lewat Perjanjian Renville itu tidak berumur panjang karena mendapat tantangan dari kalangan tentara selain juga hilangnya kesempatan dengan dimulainya Agresi Militer Belanda 2 pada 19 Desember 1948 yang memaksa semua kekuatan bersenjata Indonesia bersatu kembali dan melakukan perang gerilya di bawah pimpinan Jenderal Sudirman.

Kabinet Hatta dan Program Re-Ra

Bung Hatta kemudian ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk membentuk kabinet yang diumumkan pada 29 Januari 1948 dengan Hatta sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan. Kabinet Hatta tidak mengikutsertakan wakil2 dari partai kiri dan memiliki rencana kerja dalam negeri, antara lain, untuk memperbaiki ekonomi. Salah satu cara yang ditempuh adalah melanjutkan program Re-Ra yang sempat terbengkalai pada Kabinet Amir Syarifuddin. Namun berbeda dengan Perdana Menteri sebelumnya, setelah ditunjuk sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan, Hatta menggunakan Re-Ra untuk menghilangkan pengaruh kiri di dalam angkatan perang. Hatta juga dipandang tidak berkeinginan untuk merongrong kedudukan Panglima Besar Jenderal Sudirman atau memperlemah tentara dengan cara apapun.
Menurut Ulf Sundhaussen, tujuan dasar kebijakan tersebut adalah untuk menciutkan jumlah personil angkatan bersenjata, meningkatkan efesiensinya, dan menempatkannya kembali di bawah pimpinan pemerintah. Tujuan yang disebut paling akhir itu sangat penting, karena kesatuan-kesatuan tempur saat itu mulai menguasai daerah-daerah kantong atau daerah-daerah front mereka secara mandiri dengan menempuh kebijaksanaan mereka masing-masing.

Langkah awal yang diambil Hatta dalam upaya mereorganisasi dan merasionalisasi TNI AD adalah dengan mengurangi jumlah personelnya. Selain itu, fakta bahwa keadaan perekonomian Negara sudah sangat kritis, Hatta dituntut untuk melakukan penghematan seoptimal mungkin. Salah satu caranya dengan melaksanakan program Re-Ra agar mencapai sedikit perimbangan antara pendapatan dengan belanja negara dan alat-alat Negara.Usulan Kabinet Hatta ini disetujui Pemerintah yang selanjutnya menandatangani sebuah Dekrit pada tanggal 2 Januari 1948 yang memerintahkan agar semua kekuasaan di bidang pertahanan dipusatkan di tangan Menteri Pertahanan. Setelah disetujui oleh BP-KNIP maka diterbitkanlah Undang-Undang No 3 Tahun 1948 tertanggal 5 Maret 1948 mengenai Susunan Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang.

Dampak dari Program Re-Ra

Pada pelaksanaanya, program Re-Ra yang dijalankan oleh Kabinet Hatta tidak mulus karena banyak mendapatkan tentangan bahkan dari kalangan tentara sendiri. Bagi mereka yang terkena rasionalisasi akan merasa kecewa karena praktis kehilangan pekerjaan atau kedudukan yang dinilai prestise bagi pemuda pada masa itu.

Di Angkatan Laut misalnya, sebagai tindak lanjut dari UU No 3 Tahun 1948, dibuatlah Komisi Reorganisasi ALRI pada tanggal 17 Maret 1948 dengan Kolonel R. Soebijakto sebagai Ketua Komisinya. Salah satu dampaknya adalah dileburnya Divisi I dan Divisi II Tentara Laut Republik Indonesia dan digabungkan ke dalam kesatuan Angkatan Darat.

Di antara mereka yang kecewa adalah Laksamana Muda Atmadji yang sebelumnya juga sudah merasa dikecewakan saat terjadi perubahan nama dari BKR Laut menjadi TKR Laut pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan Kepala Staf Umum Laksamana M. Pardi yang bermarkas di Yogyakarta. Atmadji dkk yang sudah berjuang sebagai tentara pelaut saat penjajahan Belanda dan Jepang, merasa kecewa karena tidak lolos seleksi menjadi anggota TKR Laut, sehingga membentuk apa yang dinamakan Marine Keamanan Rakyat (MKR) yang bermarkas di Surabaya dan dipimpin oleh Laksamana Muda Atmadji. Dengan adanya Re-Ra, Atmadji dipindahtugaskan ke Kementrian Pertahanan. Dalam perjalanannya Atmadji dan kelompoknya memilih ikut terlibat dalam Pemberontakan PKI Madiun 1948.

Sementara itu, sejumlah tokoh kiri yang menduduki posisi penting di Kementerian Pertahanan diberhentikan dan tentara laskar yang dibentuk Amir Syarifuddin pada tahun 1947 harus melebur ke dalam TNI dan karenanya harus tunduk pada aturan dan komando TNI. Wajar jika golongan kiri merasa kecewa lalu mengecam Hatta dan menghalangi pelaksanaan Re-Ra.

Dalam bulan April 1948 terjadi demonstrasi terutama dari pelajar di Jawa Timur menentang Re-Ra. Bulan Mei 1948 di Solo, tentara Divisi Panembahan Senopati juga melakukan demonstrasi menentang Re-Ra.

Hatta, di depan sidang BP-KNIP tanggal 2 September 1948 memberikan pandangannya mengenai Program Re-Ra di kalangan Angkatan Bersenjata, antara lain:

"Istimewa terhadap angkatan perang kita rasionalisasi harus dilaksanakan dengan tegas dan nyata...berpedoman kepada cita-cita satu tentara, satu komando...dalam bentuk dan susunan yang efektif'...mengurangkan jumlah angkatan perang kita sampai kepada susunan yang rasionil"

Dengan terbentuknya Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di bawah pimpinan Kolonel A.H. Nasution selaku Panglima Tentara & Teritorial Djawa (PTTD) dan Markas Besar Komando Sumatra (MBKS) di bawah Kolonel Hidayat selaku PTTS, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan tanggal 28 Oktober 1948, dapat dikatakan Re-Ra di lingkungan TNI AD sudah selesai.


Sumber:

1. “Politik Militer Indonesia 1945 – 1967, Menuju Dwifungsi ABRI”, Ulf Sundhaussen

2. "Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia”, Marwati Djoened Poesponegoro, et.al.

3. "Pemberontakan PKI-Musso di Madiun 18 - 30 September 1948", Rachmat Susatyo, bisa diakses di sini http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/12/pemberontakan_pki_musso_di_madiun.pdf

4. “Reorganisasi dan Rasionalisasi TNI AL 1948 – 1950: Dari Pembentukan Komisi Reorganisasi (KRAL) Hingga Terbentuknya Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL)”, Rifky Azhri.

5. Baca juga di http://www.academia.edu/…/Reformasi_Angkatan_Perang_Republi…

6. Baca juga di http://serbasejarah.wordpress.com/2012/02/17/zaman-re-ra

7. Gambar lambang TNI pinjam dari http://pusdikter.mil.id/tinymcpuk/gambar/Image/…/lambang.jpg

8. Gambar TNI pinjam dari
http://www.tempo.co/…/078437…/Mabes-TNI-Mutasikan-18-Perwira


Anak-Anak Muda Revolusioner dari Menteng 31

Embrio kelompok Menteng 31 ini bermula dari perbedaan paham antara tokoh2 pemuda dalam Comite van Actie yang umumnya sudah berpengalaman politik dan pimpinan asrama Parapatan 10. Asrama Parapatan 10 ini adalah asrama mahasiswa kedokteran di Jalan Parapatan 10 yang penghuninya sebagian besar mahasiswa dari luar Jakarta, mahasiswa pindahan dari sekolah dokter NIAS di Surabaya & mahasiswa yang diutus oleh pemerintah pendudukan Sumatera. Perbedaan itu dalam hal cara-cara perjuangan yang acapkali tidak cocok dengan rasio mahasiswa. Apa yang disebut oleh tokoh2 pemuda itu sebagai hal yang revolusioner tetapi dari kaca mata mahasiswa kadang2 dianggap tidak rasional. Akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1945, diputuskan untuk berpisah. Comite van Actie meninggalkan asrama Parapatan 10 dan pindah ke Menteng 31.

(Catatan: Gedung ini sekarang dinamakan dengan "Gedung Juang 45")

Penyebab utama lainnya adalah sikap Eri Soedewo yang saat itu menjadi ketua kelompok Asrama Parapatan 10 yang berpendapat bahwa mahasiswa hanya diperalat oleh tokoh2 pemuda yang berpolitik sementara tugas utama mahasiswa kedokteran adalah di bidang kesehatan dan Palang Merah.

Sebenarnya, Menteng 31 ini sebelumnya memang sudah dijadikan asrama tempat penggemblengan pemuda2 Indonesia sesuai usulan Sukarni kepada Ganseikanbu Sendenbu (Dinas Jawatan Propaganda Jepang). Pada bulan Juli 1942 usulan tersebut diterima dengan maksud menarik simpati pemuda & untuk kepentingan propaganda Jepang, sementara Sukarni & pemuda2 secara diam2 menggunakan tempat tersebut sebagai markas pergerakan.

Sejak saat itu, pusat perjuangan pemuda di Jakarta ada dua, yaitu Parapatan 10 yang tetap menjadi pusat perjuangan pelajar/mahasiswa, dan Menteng 31 yang menjadi pusat perjuangan pemuda pada umumnya.

Abu Bakar Lubis adalah tokoh perjuangan yang menjadi penghubung antara Parapatan 10 dan Menteng 31.

Namun demikian, pamor dan peranan Parapatan 10 sebagai tempat tempat yang melahirkan pemuda2 revolusi berkurang. Tetapi Menteng 31 lebih dahulu digerebek Kenpetai pada tanggal 20 September 1945 sedangkan Parapatan 10 masih bertahan sampai asrama itu digerebek NICA pada akhir tahun 1946.

Menurut Adam Malik dalam bukunya “Mengabdi Republik”, yang tercatat sebagai anggota kelompok Menteng 31 adalah Sukarni, M. Nitihardjo, Adam Malik, Wikana, Chaerul Saleh, Pandu Wigana, Kusnaeni, Darwis, Johar Nur, Arminanto dan A.M. Hanafi.

(Catatan: secara umum jumlahnya cukup banyak tapi yang sering disebut biasanya nama2 yang perannya cukup menonjol).

Pada peristiwa Rengasdengklok, beberapa nama dari Menteng 31 ikut terlibat seperti Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana.

Dari buku Julius Pour “Djakarta 1945 Awal Revolusi Kemerdekaan”, dijelaskan karena ketiadaan kepemimpinan dari kabinet dan tidak pernah ada komando untuk mulai merebut kekuasaan dari tentara Jepang paska proklamasi, para pemuda sepakat untuk membentuk API (Angkatan Pemuda Indonesia) di bawah pimpinan Wikana sebagai Ketua, Chaerul Saleh sebagai Wakil Ketua, Darwis sebagai Bendahara, serta Ahmad Aidit, Pardjono, A.M. Hanafie, Koesnandar, Djohar Noer dan Chalid Rosyidi sebagai anggota. Setelah itu dibentuk juga BARA (Barisan Rakyat) dan BBI (Barisan Buruh Indonesia). Ketiga organisasi ini berada di bawah naungan Comite van Actie, yang bermarkas di Menteng 31. API kelak berubah menjadi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia).

(Catatan: Di bukunya Soe Hok Gie “Orang2 di Persimpangan Kiri”, nama Darwis disebut sebagai pemuda dari Asrama Parapatan 10).

Di buku Soe Hok Gie, kelompok Menteng 31 ini juga sempat mengorganisasikan tukang2 becak dan mendirikan Persatuan Buruh Kendaraan, dimana Aidit dkk aktif di dalamnya, tapi kemudian dibubarkan oleh Jepang karena dianggap berbahaya.

Kegiatan pemuda2 dari Menteng 31 pasca proklamasi ingin segera merebut kekeuasaan dari Jepang sebagai perwujudan dari istilah “…pemindahan kekuasaan dan lain2” dalam teks proklamasi namun karena mereka tidak sabar menunggu tindakan dari “kelompok tua” dalam hal ini termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, maka terjadilah peristiwa pengambilalihan Stasiun Djakarta- Manggarai, sebagai bentuk pengambilalihan kekuasaan pertama dari Jepang.

Peran markas Menteng 31 punya pengaruh yang cukup signifikan dan luas ketika revolusi kemerdekaan dimulai & dalam perkembangannya tidak hanya menjadi markas pergerakan pemuda tetapi juga markas buruh, petani, seniman dan massa lainnya.

Dalam kaitannya dengan tokoh2 pemuda revolusioner dari Menteng 31 yang namanya kemudian muncul dalam peristiwa PKI Madiun dan G30S, di dalam buku Tan Malaka “Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945 – Maret 1946” dijelaskan bahwa sekitar bulan Maret 1944, di Menteng 31 dibentuk Gerindom (Gerakan Indonesia Merdeka) dengan Aidit, Lukman, Sjamsudin Tjan dan Sidik Kertapati aktif di dalamnya. Gerindom tidak terang2an membawa cap komunis tapi bahan2 pelajaran berupa terjemahan dari brosur Dingley tentang gerakan tani di Indonesia & pidato Dimitrov pada Kongres Komintern tahun 1935 jadi petunjuk yang jelas.


Sumber:

1. “Mengabdi Republik”, Adam Malik

2. “Djakarta 1945 Awal Revolusi Kemerdekaan”, Julius Pour

3. “Orang2 di Persimpangan Kiri”, Soe Hok Gie

4. “Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945 – Maret 1946”, Harry. A. Poeze

5. Untuk okupasi gedung bisa baca di http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1277/Joang-45-Museum