Minggu, 05 April 2015

Setengah Kudeta 17 Oktober 1952: Peristiwa Yang Telah Didandani

"Revolusi Indonesia" sinonim dengan perang kemerdekaan & oleh karena kemerdekaan (catatan: pengakuan de facto dari Belanda) telah tercapai maka revolusi dianggap telah berakhir & isu penting berikutnya yang dihadapi negara adalah memecahkan masalah ekonomi.

Ketika revolusi berakhir dan denyut nadi kehidupan bernegara mulai berjalan normal, keadaan yang demikian menimbulkan dampak psikologis bagi perwira2 TNI AD karena ketidaksiapan mereka mundur dari panggung kehidupan bernegara. Di saat yang sama, perwira2 TNI AD juga hanya menjadi penonton hiruk pikuknya pertentangan dan perebutan kekuasaan oleh partai2 politik pada periode 1950 – 1959 yang dianggap sebagai jaman keemasan partai politik karena konsekwensi menganut sistem demokrasi parlementer.

Peristiwa 17 Oktober 1952 tidak melulu persoalan politik mengenai dikotomi hubungan sipil dan militer tetapi ekses dari keruwetan masalah ekonomi pasca revolusi, yang mengharuskan penghematan dalam pengeluaran pemerintah, ditambah juga persoalan-persoalan demobilisasi dan reorganisasi angkatan bersenjata.

Selama Hatta menjadi perdana menteri, hubungan sipil dan militer berjalan baik, karena program pemerintah dan militer pada umumnya didasarkan pada gagasan Hatta dan Nasution di tahun 1948. Namun iklim kerja sama yang kondusif tersebut hanya sebentar terutama sejak Kabinet Wilopo berkuasa menggantikan Kabinet Sukiman (Maret 1951 s/d Pebruari 1952). Pada masa Kabinet Wilopo program Re-Ra masih tetap berlangsung yang pada akhir tahun 1953 terjadi pengurangan menjadi hanya 80 ribuan prajurit dari jumlah 200 ribuan.

Untuk menjalankan kelanjutan program Re-Ra ini Nasution bekerja sama dengan Menhan Sri Sultan HB IX & mengandalkan dukungan yang kuat dari perwira2 bekas KNIL yang kini menempati posisi strategis & dari perwira2 muda di TNI AD.

Program ini mendapat tentangan hebat dari perwira2 bekas PETA (dan Laskar), utamanya adalah Kolonel Bambang Supeno, yang mendapat dukungan dari (mantan) Panglima Divisi Brawijaya, Kolonel Bambang Sugeng dan Kepala Intelijen TNI Kolonel Zulkifli Lubis. Oposisi di kalangan internal militer ini ternyata mendapat dukungan politik cukup kuat dari PNI. Bagi kelompok ini "revolusi belum selesai".

Untuk keperluan Re-Ra, TNI juga mendatangkan Misi Militer Belanda (MMB) namun mendapat tentangan dari Supeno yang menganggap MMB terlalu berlebihan & bisa mengurangi rasa patriotisme. Supeno, yang sebelumnya menjabat sebagai komandan Akademi Chandradimuka namun dibubarkan oleh Nasution, melancarkan kampaye aktif terhadap Nasution dengan menghasut para komandan militer untuk menentang kebijakan Mabes AD.

Nasution dalam bukunya "Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai" menggambarkan bahwa Supeno sering melakukan audiensi atau pertemuan dengan Presiden Soekarno untuk membicarakan berbagai ketidaksetujuannya terhadap kebijakan KSAD.Agitasi Supeno mencapai puncaknya saat mendatangi sejumlah penguasa militer daerah & meminta tanda tangan mereka untuk mencopot Nasution dari jabatan KSAD.

Tanggal 12 Juli 1952 sebuah pertemuan khusus perwira senior yang diketuai Gatot Subroto diadakan di Mabes AD dimana Simatupang berbicara mencela tindakan Supeno yang dianggap indispliner.

Keesokan harinya Supeno menulis surat kepada Perdana Menteri & Menhan dengan tindasan kepada Presiden Sukarno & Zainul Baharuddin yang menjelaskan dia tidak lagi mempercayai kepemimpinan Nasution yang dituduh tidak mampu membina semangat korps & mengambil keputusan yang memihak dalam hal personalia.

Tanggal 14 Juli 1952 Sri Sultan, Nasution & Simatupang menghadap Presiden untuk mendapakan kejelasan sikapnya. Dari pertemuan itu terindikasi dengan jelas keberpihakan Presiden kepada Supeno. Menurut Simatupang, sikap Presiden itu membuat pimpinan AD gamang. Nasution malah mengajukan pengunduran dirinya karena merasa tidak dipercaya lagi tapi ditolak oleh Sukarno.

Tanggal 17 Juli 1952 Nasution memutuskan untuk membebastugaskan Supeno dari posisinya sebagai Inspektur Infanteri AD.

Parlemen mengecam tindakan Nasution terhadap Supeno, termasuk juga masalah MMB & penganakemasan tentara bekas KNIL.

Pada tanggal 28 Juli 1952, persoalan yang awalnya merupakan "persoalan internal" di AD kini telah menjadi "political issue" & mulai dibahas dalam parlemen dengan pengajuan mosi dari 3 kalangan:

1. Mosi Zainul Baharuddin & Ir. Sakirman (PKI) pada tanggal 24 September 1952.
2. Mosi IJ. Kasimo (Katolik) & M. Natsir (Masyumi) pada tanggal 13 Oktober 1952.
3. Mosi Manai Sophian (PNI) pada tanggal 14 Oktober 1952.

Mosi ke 3 dari Manai Sophian yang memenangkan pemungutan suara & disetujui oleh Parlemen pada tanggal 16 Oktober 1952 tidak menyenangkan pimpinan AD yang dianggap campur tangan politisi sipil dalam militer.

Nasution menyebut langkah parlemen tersebut sebagai "serangan umum" & kecewa atas keputusan tersebut karena menurutnya yang menelorkan mosi itu adalah rekan2 seperjuangannya dulu selama ia mewakili APRI dalam sidang2 seksi pertahanan yang penuh kekeluargaan saat ibukota Republik di Yogyakarta, "Tidak seperti di Jakarta, suasana yang ada adalah kecurigaan bahkan permusuhan terhadap kami (Angkatan Perang) & tuduhan2 yang paling menyakitkan adalah anti-patriotisme, alat imperialisme dan telah diperalat suatu partai..."

Masih menurut Nasution, karena serang tersebut& terpanggil untuk menyelesaikan persoalan Bambang Supeno secara kolegial, pada tanggal 16-17 Oktober 1952 diadakan rapat Staf Umum AD dengan panglima teritorium yang menelorkan beberapa keputusan penting untuk diserahkan kepada Presiden Soekarno.

Sementara itu, kalangan "tentara reformis" di sekeliling Nasution mulai menunjukkan kecemasan & kekecewaannya karena berlarut2nya perdebatan di parlemen. Perwira2 Siliwangi yang mendukung Nasution menyadari bahwa orang2 radikal yang pernah mereka tumpas dalam pemberontakan Madiun tapi lolos dari jerat hukum sekarang berada di antara politisi2 yang bersuara paling lantang di parlemen & sebagian lagi (2/3 nya) adalah anggota parlemen yang dari bekas "negara2 van Mook".

Di lain pihak, terdapat sekelompok perwira di AD garis keras "Elang" yang menuntut agar AD diikutsertakan dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan politik pemerintah karena menurut mereka kemerdekaan bisa dicapai sebagian besarnya berkat perjuangan tentara & karenanya mereka berhak untuk ikut menentukan nasib bangsa di bidang politik. Atas inisiatif kelompok "Elang", pimpinan AD merencanakan untuk mengadakan demonstrasi sebagai alat penekan agar parlemen dibubarkan yang dilaksanakan tanggal 17 Oktober 1952.

Pengambil inisiatif utamanya adalah Letkol Soetoko, Kepala Staf Keamanan Khusus AD & Letkol S. Parman, tetapi pengorganisasian massa demonstran oleh Kolonel dr. Moestopo, seorang perwira Dinas Kedokteran Gigi AD & Mayor Kosasih, Komandan Garnisun Jakarta. Seksi intel Divisi Siliwangi juga mengerahkan demonstran dari luar Ibukota dengan menggunakan truk2 tentara. Di lapangan Merdeka dihadirkan tank serta beberapa meriam yang moncongnya di arahkan ke istana. Pasukan ini dipimpin oleh Letkol Kemal Idris, seorang perwira Siliwangi.

Sementara itu perwira2 senior telah diijinkan oleh Perdana Menteri & Menhan untuk menyampaikan sendiri petisinya kepada Presiden. Sebagai jubir dari perwira2 AD adalah Soetoko sementara Soekarno yang tidak ingin menghadapi militer sendirian memanggil Wapres Hatta, PM Wilopo, Menhan Sri Sultan HB IX, Pejabat Ketua Parlemen & Simatupang.

Dalam pertemuan yang digambarkan tegang itu Soetoko menyerahkan kepada Presiden sebuah petisi yang ditandatangani perwira2 yang hadir dengan seruan intinya untuk membubarkan parlemen. Presiden Soekarno sempat menjawab perwira2 itu karena mereka telah melaksanakan aksi maka akan ada reaksi.

Tentang penempatan meriam2 yang moncongnya dihadapkan ke istana, Kemal Idris dalam memoarnya "Bertarung Dalam Revolusi" menyatakan bahwa sudut elevasi meriam yang dihadapkan ke Istana sesungguhnya tidak tepat. Kalau pun ditembakkan, pelurunya akan melewati Istana Kepresidenan. Menurut Kemal Idris, karena keahlian Presiden Soekarno menghadapi demonstran & berpidato maka tuntutan massa demonstran dapat diredam & massa membubarkan diri.

Oleh Soekarno, dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, peristiwa 17 oktober 1952 itu dianggap sebagai percobaan “setengah coup”. Tidak mengherankan jika kemudian "musuh2" pribadi Nasution mengatakan bahwa peristiwa yang terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952 itu adalah suatu percobaan "kudeta". Tuduhan ini misalnya disebut di dalam harian Merdeka.

Peristiwa ini merembet ke daerah2 sehingga terjadi polarisasi antara perwira2 yang pro 17 Oktober 1952 dengan yang oposan terhadap Nasution. Kelompok yang anti-Nasution ini mendapatkan angin untuk menuntut pemerintah agar mengambil tindakan keras terhadap pimpinan AD.

Pada tanggal 15 Desember 1952 Nasution dibebastugaskan dari jabatanya sebagaI KSAD.

Bagaimana Nasution kemudian menjawab stigma "kudeta" oleh lawan2 politiknya.

Dalam wawancara yang dimuat di buku "Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai" menurut Nasution yang menuduh adanya percobaan kudeta pada waktu itu adalah harian Merdeka didasarkan pada laporan BISAP yang dibuat oleh Zulkifli Lubis (kemudian disebut Nasution sebagai "Dokumen Lubis"). Laporan yang mengesankan bahwa KSAD mau mengadakin "kudeta" kemudian bocor & tersebar ke teritorium2 & parpol2, tampaknya dipercaya sebagai informasi resmi.

Nasution membantah bagian2 penting isi dokumen BISAP yang dinilai fitnah belaka & ketika itu Zulkifli Lubis tidak berada di tekape.

Bantahan dari SUAD atas laporan BISAP itu dikeluarkan pada akhir Nopember 1952 yang menyatakan tidak ada dialog antara Presiden Sukarno & Nasution, serta tidak ada konsep yang disodorkan, seperti yang disebut dalam Dokumen Lubis.

Dalam buku "Peristiwa 17 Oktober 1952" yang ditulisnya sendiri, Nasution menyatakan bahwa Peristiwa 17 Oktober 1952 terjadi karena adanya campur tangan Parlemen dalam kehidupan militer & adanya perpecahan dalam tubuh militer khususnya AD.

Suatu ketika, saat Nasution berpidato di Kaban Jahe, Sumatera Utara, untuk partai yang baru didirikannya IPKI,sekelompok orang berteriak mengaitkan Nasution dengan Peristiwa 17 Oktober 1952. Nasution terpaksa menjawab:

"Bahwa Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa yang telah didandani (aangekleed) oleh lawan2 politik saya, persis seperti Belanda mendandani Perjanjian Linggarjati".

Menurut sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, dikutip dari buku "Peristiwa 17 Oktober 1952", situasi politik dan tingkah laku politisi terhadap Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang merupakan pemicu terjadinya peristiwa tersebut.

Sayang, sampai akhir hidupnya, Zulkifli Lubis tidak pernah memberikan klarifikasi atas Peristiwa 17 Oktober 1952. Sama seperti tugasnya yang harus "misterius" di bidang intelijen, kehidupan Zulkifli Lubis juga "misterius".


Sumber:

1. “Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah”, Slamet Sutrisno

2. "Politik Militer Indonesia 1945 - 1967 Menuju Dwifungsi ABRI", Ulf Sundhaussen

3. "Peristiwa 17 Oktober 1952", Jenderal Besar A.H. Nasution

4. "Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai", Jenderal Besar A.H. Nasution

5. "Zulkifli Lubis Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD", Peter Kasenda

6. "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat", Cindy Adams

7. "Kemal Idris - Bertarung Dalam Revolusi", Rosihan Anwar, et.al.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar