Minggu, 05 April 2015

Kontroversi Seputar Naskah Wangsakerta

Setiap kali ada diskusi mengenai sejarah kerajaan2 di Tatar Sunda, Naskah Wangsakerta biasanya akan sering disinggung sebagai salah satu rujukan, meski Naskah Wangsakerta ini tidak hanya mengandung cerita sejarah di Tatar Sunda tapi juga di Nusantara.

Bagi yang masih penasaran dengan Naskah Wangsakerta, apa, bagaimana dan kenapa, ringkasan coret2an yang saya buat ini mungkin bisa sedikit membantu...

Apakah Naskah Wangsakerta

Naskah Wangsakerta (selanjutnya disebut “Naskah”) adalah sekumpulan Naskah yang disusun oleh sebuah tim yang dipimpin Pangeran Wangsakerta. Naskah ini disusun sejak tahun 1677 s/d 1698 sesuai dengan keterangan yang tertulis di dalamnya.

Penyusunan Naskah ini terlebih dahulu diadakan musyawarah untuk menguji kebenaran bahan karangan yang berasal dari berbagai riwayat yang dibawa sejumlah peserta dari berbagai negeri. Isi riwayat beraneka macam, seperti riwayat beberapa kebijaksanaan tertulis beberapa kerajaan di nusantara, uraian etika politik, prasasti, peraturan kerajaan, ajaran agama, silsilah, dan kisah keluarga raja. Adapun peserta musyawarah disebutkan terdiri atas sang pinakadi, sang mahakawi, sang jurukatha, mentri, patih, duta kerajaan, duta wilayah, ahli nujum, penghulu, guru besar agaman sang gotrasawala, sang adyaksa yang tujuh dan Pangeran Wangsakerta sebagai pemimpin musyawarah. Musyawarah itu dilaksanakan di Paseban Kesultanan Kasepuhan Cirebon.

Hasilnya, antara lain:
  • Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara, dibagi ke dalam 5 parwa (bagian) dan berjumlah 25 sarga (jilid)
  • Pustaka Pararatwan, dibagai ke dalam 6 parwa dan berjumlah 10 sarga
  • Pustaka Nagarakretabhumi berjumlah 12 sarga
Naskah Pangeran Wangsakerta terbuat dari bahan kertas daluang dengan sampul kertas karton dibungkus kain blacu putih dan warna kecoklat-coklatan. Tinta warna hitam. Ukuran aksaranya 5 mm. Bahasa dan aksara yang digunakan model bahasa Jawan Kuno dan aksara Jawa yang bercirikan kebudayaan Pesisir-Cirebon.

Asal-Usul Naskah

Menurut artikel yang ditulis oleh Nina H. Lubis (catatan: selanjutnya kita singkat saja “NHL”), mengutip keterangan dari Prof. Edi S. Ekadjati (catatan: selanjutnya kita singkat saja “ESE”, pada tahun 1977, Kepala Museum Sri Baduga membeli Naskah melalui informan atau perantara yang bernama Moh. Asikin (selanjutnya kita sebut saja “Perantara”), warga kota Cirebon. Naskah tersebut dibawa ke luar Cirebon karena khawatir jatuh ke tangan pemerintah kolonial.

Siapa Pangeran Wangsakerta

Siapakah Pangeran Wangsakerta? Jika dirunut dari Sunan Gunung Jati beliau adalah keturunan ke-6, putra Panembahan Girilaya. Kedua kakaknya adalah Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Nama Pangeran Wangsakerta tercatat dalam perjanjian antara Cirebon dengan VOC tertanggal 7 Januari 1681 (atau 1691?). Dalam catatan harian VOC (Dagh Register) Pangeran Wangsakerta tercatat sebagai keluarga Keraton Cirebon yang lembut, cerdas dan mempunyai kemampuan memimpin.

(Catatan: Dengan demikian tokoh Pangeran Wangsakerta bukan tokoh fiktif atau dikarang2)

Gotrasawala

Pada tahun 1677 di Keraton Kasepuhan diadakan gotrasawala semacam musyawarah atau seminar jaman sekarang ini. Tujuannya untuk menyusun sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Yang diundang adalah para ahli sejarah dari berbagai kerajaaan di Nusantara, bahkan ada perwakilan dari Trengganu, Malaka (Malaysia sekarang) dan Tumasik (Singapura). Juga dilengkapi penasihat ulama Islam dari Arab dan ulama Siwa dari India. Tidak hanya itu bahkan ada utusan dari negri-negri lain sebagai peninjau dan tidak mempunyai hak suara seperti dari Mesir, Arab, India , Srilangka, Benggala, Campa, Cina, dan Ujung Mendini (Semenanjung Malaysia). Penulisan sejarah ini merupakan amanat dari mendiang Panembahan Girilaya. Sebagai penanggung jawab/tuan rumah adalah Sultan Sepuh dan Sultan Anom, sedangkan ketua penulisan naskah adalah Pangeran Wangsakerta.

Isu-Isu Yang Jadi Polemik

1. Isu seputar usia Naskah

Menurut artikel yang ditulis oleh Sejarawan Nina H. Lubis, sesuai penelitian yang dilakukan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), umur kertas berusia sekitar 100 tahun, dihitung dari tahun 1988 saat Naskah itu diuji. NHL menganggap bahwa Naskah yang dibeli dan disimpan di Museum Sri Baduga adalah salinan yang baru ditulis sekitar abad 19, padahal di dalam Naskah sendiri tertulis disusun sejak tahun 1677 dan selesai tahun 1698.

Untuk masalah ini, menarik juga membaca penjelasan ESE yang dimuat di http://inspirasi.co/…/sekali_lagi_sekitar_naskah_wangsakert…

Menurut ESE, bahwa sebenarnya yang mengusulkan pengujian tersebut adalah dirinya sendiri namun hasilnya belum final karena keraguan pihak Laborannya. Contoh kertas tersebut kemudian di bawa ke salah satu Lab di Tokyo, Jepang, namun sampai dengan tanggal artikel itu dibuat, 27 Mei 2002, hasilnya belum dikirim ke Museum Sri Baduga.

2. Gotrasawala

Sesuai yang tertulis di dalamnya bahwa Naskah disusun pasca pertemuan yang disebut Gotrasawala yang dihadiri oleh kurang lebih 70 utusan dari dalam & luar Indonesia (catatan: ketika jaman VOC masih disebut Hindia-Timur). Pertemuan dengan jumah 70an peserta tentunya termasuk skala besar & akan menjadi pusat perhatian VOC. Faktanya, peristiwa pertemuan ini tidak tercatat di dalam Dagh Register milik VOC.

3. Asal-Usul Naskah

NHL pernah menanyakan langsung kepada Dr. Undang A. Darsa, ahli Filologi Unpad Bandung yang ikut penelitian Naskah ini, apakah Atja sebagai pembeli menanyakan kepada Perantara dari mana Naskah tersebut berasal. Ternyata Atja tetap merahasiakan dari siapa Naskah itu diperoleh oleh Perantara.

4. Perbandingan dengan Kitab Lain

Dikatakan di dalam kitab Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara bahwa Nararya Sanggrawijaya adalah putera dari perkawinan antara Rakryan Jayadarma dengan Dewi Singhamurti (Dyah Lembu Tal) anak Mahisa Campaka, sehingga dengan demikian Nararya Sanggramawijaya adalah keturunan Sunda yang nama aslinya adalah Rahadyan Wijaya, dan Dyah Lembu Tal adalah ibunya yang berarti seorang perempuan.

Uraian ini bertentangan dengan keterangan yang dituliskan dalam Negarakretagama (Desawarnana) yang selesai ditulis oleh Mpu Prapanca tahun 1287 Saka (1365 M) atau sekitar 333 tahun sebelum munculnya naskah Wangsakerta. Kitab Negarakretagama dalam Pupuh XLVII menyatakan:

“Dyah Lembu Tal itulah bapa Baginda Nata (Nararya Sanggramawijaya), dalam hidup atut runut sepakat sehati, setitah raja diturut, menggirangkan pandang, tingkah laku mereka semua meresapkan”

Dari isi pupuh dapat disimpulkan ternyata bahwa Dyah Lembu Tal adalah seorang laki-laki (bukan perempuan) karena itu disebut dengan istilah "bapa".

Contoh lainnya,nama asli pendiri Majapahit adalah Nararya Sanggramawijaya dan bukan Rahadyan Wijaya (sebagaimana ditulis dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Pertiwi), karena nama Nararya Sanggramawijaya juga terdapat di dalam piagam atau prasasti Kudadu yang dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294 M.

Kelanjutan Naskah Wangsakerta

Pada tanggal 16 September 1988 di Universitas Tarumanegara, Jakarta, pernah diadakan “Diskusi Panel Naskah Sumber Sejarah Kerajaan Tarumanagara” dengan penyaji adalah Drs. Atja dan Dr. Ayatrohaedi, sedangkan pembahas di antaranya Drs. Boechari, Prof. Dr. R. Soekmono, Prof. Dr. R.P. Soejono, Dr. J. Noorduyn, dan Drs. Uka Tjandrasasmita. Pada saat itu sudah dirumuskan bahwa “...naskah2 tersebut masih belum dapat dinyatakan sebagai sumber primer untuk penulisan sejarah”.

Pendapat yang kurang lebih senada disampaikan oleh NHL bahwa Naskah ini belum tuntas diteliti secara filologis (dari 48 Naskah baru diteliti sebanyak 26 Naskah), dan ia berkesimpulan bahwa Naskah Wangsakerta tidak dapat digunakan sebagai sumber sejarah tapi sah sebagai obyek kajian filologi.

ESE sebagai peneliti Naskah ini pun mengakui, seperti dikutip oleh NHL di dalam artikelnya, bahwa masih ada keraguan terhadap Naskah ini mengingat hal-hal yang diperdebatkan. Namun ia berpendapat sebagaiman ditulis dalam artikel pribadinya bahwa informasi dari naskah Pangeran Wangsakerta dapat digunakan sebagai informasi bandingan untuk saling menguji informasi antar sumber sejarah. Ia juga menyarankan penelitian serius, benar, dan jujur atas naskah Pangeran Wangsakerta diperlukan di masa kini dan masa datang, sebagai tantangan yang menuntut kita harus terus giat bekerja dan bekerja.

Masalahnya kemudian adalah, di tengah kontroversi yang belum berhenti & belum ada titik temunya, beberapa ilmuwan yang terkait dengan Naskah ini, yaitu: Drs. Atja, Drs. Saleh Danasasmita, Prof. Dr. Ayat Rohaedi, Prof. Dr. Edi S. Ekadjati dan Drs. Yoseph Iskandar yang telah mengangkat naskah-naskah Pangeran Wangsakerta ke forum nasional dan publik semuanya telah meninggal dunia.

Sedikit kemajuan yang bisa dicatat adalah saat acara Gotrasawala yang diadakan pada bulan Desember 2014 yang lalu, dibuka dengan acara Konferensi Kebudayaan di Keraton Kasepuhan Cirebon. Acara ini dihadiri oleh ilmuwan2 besar, antara lain: Prof Nina Lubis (Historian), Drs Achmad Opan Safari (Philologist), Dr Tedi Permadi (Museulogist). Acara ini kemudian dilanjutkan dengan Seminar yang membahas polemik Naskah Wangsakerta. Prof Nina Lubis yang menjadi pembicara menyatakan bahwa sejumlah pihak menyebut naskah Pangeran Wangsakerta adalah naskah salinan. Alasan mereka beragam, seperti metode penyusunan naskah yang dianggap terlalu ilmiah pada zamannya, penggunaan kertas yang dinilai bukan berasal dari zaman tersebut, hingga tidak ada catatan dari pihak Belanda tentang peristiwa Gotrasawala yang menjadi dasar penyusunan ribuan naskah itu. Namun demikian, para sejarawan masih terus mengumpulkan, menerjemahakan dan mengkaji ulang naskah-naskah yang terkumpul.

Kita tunggu saja hasilnya...


Sumber:

1. “Kontroversi Tentang Naskah Wangsakerta”, Nina H. Lubis, dimuat dalam Jurnal Humaniora UGM Volume 14 No 1, Tahun 2002, bisa diakses di http://journal.ugm.ac.id/…/jurnal-humaniora/article/view/741

2. http://www.radarcirebon.com/mengungkap-kontroversi-naskah-w…

3. https://www.bersosial.com/…/kontroversi-naskah-wangsakerta…/

4. http://www.radarcirebon.com/gotrasawala-bahas-polemik-naska…

5. https://gentrapajajaran.wordpress.com/…/wangsakerta-terlal…/

6. Gambar Naskah Wangsakerta pinjam dari http://www.indonesiaheritage.org/ind/katalog/detail/97/




1 komentar: