Selasa, 10 Maret 2015

Seputar Supersemar: "...Revolusi Tidak Usah Njlimet!"

Tanggal 11 Maret 2015 besok, atau 49 tahun yang lalu, lahir suatu dokumen yang menjadi tonggak sejarah penting berakhirnya rezim orde lama dan dimulainya rezim orde baru. Namun sayang, generasi muda sekarang ini sepertinya tidak mengetahui dengan baik apa dokumen tersebut, bahkan meski misterinya keberadaannya masih terus berlanjut hingga kini.

Untuk itu, tidak ada salahnya kita membaca & mengingat2 kembali apa yang terjadi pada tanggal 11 Maret 1966.

Latar Belakang

Pasca peristiwa memilukan G30S (versi pemerintah G30S/PKI) dimana Letnan Jenderal Ahmad Yani menjadi salah satu korban yang diculik dan gugur, TNI AD sempat mengalami vakum kepemimpinan. Meski Presiden Soekarno sempat menunjuk Mayor Jenderal Pranoto sebagai Caretaker Menpangad tapi setelah melalui proses kejadian yang berliku2, akhirnya Mayor Jenderal Soehartolah yang secara resmi diangkat sebagai Menpangad padatanggal 14 Oktober 1965.

Sikon di Jakarta khususnya pasca peristiwa G30S digambarkan tidak kondusif, hampir setiap hari ada demo2 dari berbagai elemen masyarakat yang meminta dibubarkannya PKI, termasuk juga demo2 mahasiswa yang dimotori oleh KAMI dan KAPPI dengan menyuarakan tuntutannya yang dirumuskan oleh Kolonel (Inf) A.J. Witono dengan nama “Tritura” (Tri Tuntutan Rakyat).

Di posisi yang berlawanan, Barisan Soekarno yang gagasan pembentukannya oleh Soebandrio untuk menyatukan loyalis Bung Karno dalam sebuah front bersama muncul menjadi kekuatan baru di awal 1966. Sikon ini menyebabkan Presiden Soekarno me-reshuffle kabinetnya dengan tetap mempertahankan Soebandrio, yang dianggap oleh publik terlibat G30S, sebagai Menlu. Hal yang kontras dilakukan oleh Presiden Soekarno dengan “menendang” Jenderal Nasution dari Kabinet padahal beliau sebagai satu2nya sasaran aksi penculikan yang lolos sudah menjadi simbol perlawanan terhadap PKI.

Tanggal 11 Maret 1966, di Istana Merdeka berlangsung sidang kabinet yang dihadiri oleh 101 Menteri, kecuali Men/Pangad Letjen Soeharto dan Menteri Perkebunan, Frans Seda. Menpangad Soeharto mengaku sedang sakit dan tinggal di rumahnya di Jalan Agus Salim, sedangkan Frans Seda meski sudah dijemput helikopter tapi tidak bersedia datang. Menurut catatan, Frans Seda sudah mengetahui bahwa sidang Kabinet bakal kacau. Ternyata, Bung Karno juga turut mengundang satu2nya pejabat yang bukan anggota Kabinet, yaitu Panglima Kodam V Jakarta Raya, Brigadir Jenderal Amirmachmud. Mungkin Bung Karno akan merasa nyaman jika ada penanggung jawab keamanan Ibukota di dekatnya.

Oleh Mayor Jenderal (Tituler) A.M. Hanafi, Dubes RI untuk Kuba, digambarkan bahwa pagi hari tanggal 11 Maret 1966, ia bersama Waperdam III Chaerul Saleh menggunakan jip keluar rumahnya dengan cepat agar tidak bertemu massa mahasiswa yang berdemonstrasi. Chaerul Saleh mengatakan bahwa banyak menteri2 yang sudah diangkut ke Istana oleh pasukan Tjakrabirawa sejak kemarin sore.

Presiden Meninggalkan Istana

Dengan mata masih menahan kantuk, Presiden Soekarno membuk sidang pertama “Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan” karena malamnya Presden secara tergesa-gesa mengamankan diri ke Bogor setelah menerima surat dari Jenderal Suadi yang menginformasikan bahwa RPKAD akan menyerbu Istana untuk menangkapi menteri2 anggota Kabinet. Presiden langsung menggebrak meja & mengawali sidang dengan menuntut kesetiaan dari pembantu2nya.

Tiba2 Ajudan Presiden, Soemirat, mendekat sambil menyerahkan nota yang isinya:

“Bapak, ada unidentified force dari Glodok sedang menuju ke arah Istana. Demi keamanan, Bapak kami mohon segera meninggalkan ruangan...”

Versi lain yang menyebutkan, tiba2 Brigjen Saboer, Komandan Tjakrabirawa, mendekati Presiden sambil membisikkan sesuatu yang terdengar oleh ketiga Waperdam yang duduk di sampingnya. Presiden lalu berdiri dan bergegas meninggalkan sidang yang diikuti oleh Waperdam I Soebandrio dan Waperdam III Chaerul Saleh, sementara Waperdam II Leimena yang mengambil alih pimpinan sidang segera menutup sidang.

Komandan Detasemen Kawal Pribadi (DKP) Resimen Tjakrabirawa, AKBP Mangil Martowidjojo, berhasil mengidentifikasi pasukan tanpa identitas tapi bersenjata lengkap itu adalah 3 kompi RPKAD berdasarkan laporan dari Asisten Operasi Resimen Tjakrabirawa, Mayor (Inf) M.I. Soetardjo, yang berasal dari kesatuan RPKAD. Mayor Soetardjo juga sempat melihat bekas anak buahnya di RPKAD yang bergerak menerobos Istana lewat pintu belakang.

Mengetahui bahwa pasukan RPKAD sudah berada di istana, Brigjen Saboer secepatnya mengamankan Presiden menuju helikopter yang sudah disiapkan di halaman belakang Istana. Untuk menghindari bentrok antara pasukan Tjakrabirawa yang sudah didukung panser dengan pasukan RPKAD tak beridentitas, AKBP Mangil memerintahkan helikopter untuk terbang menjauh dari Istana. Sesudah helikopter pertama berhasil terbang ke Istana Bogor, helikopter kedua yang mengangkut Waperdam I dan III menyusul, sementara Waperdam II yang terlambat karena harus menutup sidang menyusul ke Bogor dengan mobil.

Tiga Jenderal AD Menghadap Presiden

Selesai sidang Kabinet, ada 4 jenderal anggota Kabinet bertemu di dekat tangga barat Istana & bahas sikon terkini:

1. Menteri Urusan Veteran, Mayjen Basuki Rachmat
2. Wamenhankam, Mayjen Moersjid
3. Menteri Perindustrian Ringan, Mayjen Jusuf
4. Pangdam V Djaja, Brigjen Amirmachmud

Kecuali Moersjid, 2 jenderal lain setuju ajakan Jusuf untuk menyusul BK ke Bogor, dengan maksud menjelaskan bahwa AD tidak ada niat "meninggalkan" BK. Namun sebelum berangkat ke Bogor, 3 jenderal itu lebih dahulu melapor ke Brigjen Alamsyah Ratu Prawiranegara yang menjabat sebagai Asisten VII/Pangad, namun direkomendasikan oleh Alamsyah untuk bertemu langsung Soeharto.

Di kediaman Soeharto, 3 orang jenderal itu bertemu Soeharto yang sedang beristirahat di rumahnya, Jalan Agus Salim, lalu Basuki Racmat memberikan penjelasan sikon terkini.

Alamsyah menjelaskan, semula hanya Basuki Rachmat yang ditunjuk Soeharto untuk menghadap BK di Bogor. Tapi karena kebetulan Kolonel CPM Maulwi Saelan adalah iparnya Jusuf, maka Jusuf sengaja diikutertakan. Selain itu, untuk menunjukkan utusan yang datang adalah perwakilan AD, pimpinan teritorial Pangdam Djaja, juga diikutkan.

Menurut Amirmachmud, setelah penjelasan Basuki Rachmat, Soeharto bilang...

"Pertama, sampaikan salam saya kepada BK. Kedua, BK tidak usah khawatir, AD tetap mempertahankan Pancasila, mengamalkan UUD 1945, mengamankan Revolusi Indonesia & bakal memelihara keamanan, asal...saya dberi kepercayaan"

Jusuf menjelaskan apa yang ia ingat bahwa Soeharto bilang...

"...bersedia memikul tanggung jawab, apabila kewenangan untuk hal itu diberikan kepada dirinya, agar semakin mantap untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik, berdasar Tritura"

Sebelum berangkat ke Bogor melalui jalan darat, Jusuf sempat menyarankan mereka ber 3 membawa sten gun untuk jaga2, tapi ditolak oleh Amirmachmud dengan alasan bisa2 dihabisi Tjakrabirawa karena pengamanan ekstra ketat.

Ketiga jenderal itu tiba di Istana Bogor jam 13.00 tapi baru diterima BK jam 16.00 dengan raut muka masam & bilang...

"Apa saja kerja kalian? Katanya mendukung saya, mengamalkan ajaran2 saya...mana buktinya?"

Mangil menggambarkan pertemuan itu awalnya sempat tegang namun jadi cair setelah Jusuf memberikan penjelaskan...

"Tidak pernah ada niat AD meninggalkan Bapak, jika AD meninggalkan Bapak, tentu kami bertiga tidak akan datang ke sini. Pangliman AD berjanji, sanggup mengatasi keadaan, asal diberi penugasan berikut dukungan kepercayaan"

BK langsung menghardik..."Kepercayaan? Kepercayaan apalagi yang harus kuberikan kepadanya? Soeharto sudah aku angkat sebagai Panglima Pemulihan Keamanan & Ketertiban. Tapi coba, sampai sekarang malah tidak aman & tidak pernah tertib..."

Amirmachmud menjawab..."Mungkin perlu tambahan kepercayan...semacam surat perintah, misalnya..."

Lahirnya Supersemar

Setelah itu BK melunak lalu segera membentuk tim untuk menyusun konsep surat perintah yang terdiri dari:

- Basuki Rachmat sebagai ketua
- Jusuf sebagai anggota
- Saboer sebagai sekretaris

Draft tulisan tangan yang dibuat tim lalu diserahkan kepada BK. Setelah dibaca BK memanggil Soebandrio, Leimena & Chaerul Saleh untuk dimintai komentarnya. Oleh Soebandrio dan Chaerul Saleh, diadakan beberapa revisi yang dikhawatirkan oleh Jusuf akan mengurangi ruh (semangat) surat perintahnya. Menurut Hartini yang mengetahui peristiwa itu menggambarkan suasananya mencekam & tegang, BK bermuka suram & bolak2 membaca rancangan surat itu dengan tangan gemetar.

Chaerul Saleh sempat bilang..."Het is beter, dat U tot God gaat bidden en vrugt zijn antwoord" ("berdoalah dulu...mohon petunjuk Tuhan").

Leimena lebih lugas..."No comment. Ik laat het helemaal aan U over" ("Tidak ada komentar. Semuanya terserah kepada pertimbanganmu").

Sementara Soebandrio mengingatkan BK..."Als u deze brief tekent dan valt U in the trap" ("Jika surat itu sudah ditandatangani, sama saja artinya kau masuk perangkat").

Meski berkali2 dibuat perubahan, BK tidak menemukan langkah lain kecuali menyetujuinya. Naskah surat itu kemudian dibawa Ajudan Presiden, Kolonel (Udara) Kardjono, lalu diserahkan kepada Mayor (Inf) Ali Ebram, Perwira Seksi 1 Tjakrabirawa untuk diketik.

Menurut Ali Ebram..."...saya sendiri mengetiknya agak lama, karena saya tidak biasa ngetik, dan ketika sudah mulai baca isinya, kok sangat serem..."

Setelah selesai, diserahkan kembali kepada BK namun Saboer sempat berkomentar..."...secara administratif, surat ini memang masih punya kekeliruan, Kata pertama pada lembar kedua, tidak tercantum pada baris terakhir halaman pertama, sebagaimana kebiasaan surat resmi..."

Amirmachmud segera menukas..."...sudahlah, dalam revolusi kita tidak usah njlimet..."

BK tanya ke Soebandrio..."Bagaiamana Bandrio, kamu setuju?"

Menurut Soebandrio..."...bagaimana lagi, masih bisa berbuat apa saya? Bapak telah berunding tanpa kami diikutkan...kalo bisa sebenarnya lebih baik perintah lisan saja..."

Amirmachmud sedikit menekan..."Bapak Presiden, tanda tangani saja. Bismillah saja Pak!"

Akhirnya Surat Perintah itu ditandatangani oleh BK & mungkin tanpa disadari di bawahnya tertulis "Djakarta, 11 Maret 1966" padahal Surat itu dibuat & ditandatangani di Istana Bogor.

Perjalanan Supersemar

Pertemuan di Istana Bogor berakhir pukul 20.55 dan setelah itu Presiden mengajak ketiga Jenderal untuk makan malam namun ditolak degan halus karena sudah malam.

Menurut Hartini, isteri Presiden yang berdiam di Istana Bogor, selesai membubuhkan tanda tangan, Bapak masuk ke kamar tidur jam 23.00. Dengan muka gelisah Bapak belum bisa tidur sampai jam 1.00 karena selalu bolak balik posisi tidur. Bapak baru dapat terlelap setelah minum obat tidur.

Dalam memoarnya, M. Jusuf menyadari bahwa apa diperbincangkan adalah masalah yang akan menentukan bagi peralihan dari satu masa ke masa baru dan materi persoalan yang ada merupakan tonggak sejarah bagi dasar2 tindakan selanjutnya.

Menjelang tengah malam, ketiga Jenderal tersebut tiba di Jakarta dan langsung menuju ke kediaman Soeharto yang digambarkan belum tidur. Setelah bertemau, Supersemar diserahkan kepada Soeharto yang seketika itu juga mengambil keputusan untuk membubarkan PKI. Jam 4.00 pagi hari tanggal 12 Maret 1966, Soeharto membubuhkan ttd atas nama Presiden/Pangti ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi dalam Surat Keputusan N0 1/3/1966 tentang pembubaran PKI, selain itu PKI dinyatakan sebagai partai terlarang di seluruh Indonesia.

Menurut Soebadio Sastrosatomo, tokoh PSI yang ditahan rezim orba karena dituduh terlibat Peristiwa Malari 1974, “...ternyata, Soeharto selama ini telah mengemudikan sebuah mobil tanpa memiliki STNK, lha mana sekarang Supersemarnya?”

Letjen (Purn) Moerdiono yang pada saat lahirnya Supersemar berpangkat Letnan, dalam kesempatan seminar mengenai “Duduk Perkara Supersemar” pada tanggal 8 Maret 2007 menjelaskan bahwa ia ditugaskan oleh atasannya Letkol Soedharmono membuat konsep pembubaran PKI. Ketika sibuk mencari bahan2 materinya, datang seorang perwira Kostrad yang menggandakan Supersemar di kantornya. Pada saat itulah Moerdiono melihat dan membaca langsung Supersemar.

Menurut penuturan salah satu orang kepercayaan Soeharto di era awal orba, Ali Moertopo, dijelaskan sebagai berikut...

Mayor Aloysius Sugiyanto yang mendapat perintah untuk menggandakan Supersemar dari atasannya, Ali Moertopo, segera berkeliling Jakarta mencari foto studio yang masih buka untuk menggandakan surat yang dikenal sebagai Supersemar. Surat ini kemudian melegenda karena kontennya dan keberadaannya yang masih misteri. Tugas perwira intelijen Kostrad itu tergolong sulit karena saat itu belum ada mesin foto copy & toko2 banyak yang sudah tutup karena jam malam. Beruntung, ia mendatangi Jerry Sumendap, pengusaha asal Manado, pendiri maskapai Bouraq & mantan aktivis Permesta yang sering bolak balik ke luar negeri, punya kamera polaroid kecil. Saat itu juga Supersemar digandakan dengan 5 potretan namun hanya 3 di antaranya berhasil bagus.

Sekembalinya ke markas Kostrad, Sugiyanto melapor ke Ali Moertopo & menyerahkan map berisi Supersemar berikut salinannya kepada Brigadir Jenderal Soetjipto, Ketua G-V Koti di ruang rapat dimana Soeharto ada di dalamnya. Diketahui kemudian bahwa Brigjen Soetjipto menghubungi Letnan Kolonel Sudharmono untuk menyiapkan surat keputusan pembubaran PKI. Letkol Sudharmono kemudian memerintahkan Letnan Satu Moerdiono membuat konsep suratnya.

"Setelah itu, surat aslinya dibawa ke Kostrad" demikian Moerdiono, sambil memastikan bahwa Supersemar asli terdiri atas dua lembar.

Beberapa Versi Supersemar

Dalam konsep kearsipan, Supersemar merupakan salah satu jenis arsip kepresidenan berupa “Surat Perintah” yang bernilai sejarah sangat tinggi. Namun demikian, meski sudah berusia 1/2 abad, naskah asli Supersemar belum juga ditemukan. Sampai saat ini, ada setidaknya 3 versi Supersemar yang beredar di masyarakat. Pertanyaan muncul kemudian, apakah ada sesuatu yang sangat rahasia atau ada bagian2 tertentu yang sengaja ditutupi sehingga naskah asli Supersemar harus disembunyikan?

Saat ini Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyimpan 3 naskah Supersemar dengan cirinya masing2:

1. Supersemar yang diterima dari Sekretariat Negara, dengan ciri: jumlah halaman 2 lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapih dan di bawahnya tertera ttd serta nama Sukarno

2. Supersemar yang kedua diterima dari Pusat Penerangan TNI AD, dengan ciri: jumlah halaman 1 lembar, berkop Burung Garuda, ketikak tidak serapih versi pertama, di bawahnya tertera ttd & nama Soekarno

3. Supersemar yang ketiga diterima dari Yayasan Akademi Kebangsaan, dengan ciri: jumlah halaman 1 lembar, sebagian surat sobek, kop surat tidak jelas, hanya berupa salinan, ttd Soekarno berbeda dengan versi pertama dan kedua.

Untuk memastikan otentisitas ketiga naskah Supersemar tersebut, ANRI berkerja sama dengan Labfor Bareskrim Polri untuk melakukan pengujian dan hasilnya ketiga naskah Supersemar tidak otentik. Namun demikian ANRI belum secara resmi menyatakan ketiga naskah Supersemar palsu sebelum naskah aslinya ditemukan.

(Catatan: Gambar naskah Supersemar hanya ilustrasi & belum tentu terkait dengan naskah yang dimaksud di atas) 






Sumber:

1. “G30S Fakta atau Rekayasa”, Julius Pour

2. "Rahasia-Rahasia Ali Moertopo", Seri Buku Tempo

3. "Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit", Atmadji Sumarkidjo

4. Tulisan Azmi, dimuat di kolom Opini harian Kompas, 10 Maret 2015 dengan judul “Arsip Supersemar 1966”

5. Gambar Supersemar pinjam dari http://unrevealed-history.blogspot.com/…/misteri-seputar-op…

6. Gambar Supersemar pinjam dari http://www.infonews.web.id/…/sejarah-surat-perintah-sebelas…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar