Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia pleset berarti tidak mengenai
sasaran atau tidak mengenai yang dituju. Jadi bahasa plesetan bisa
disebut sebagai sesuatu yang diplesetkan sehingga tidak mengenai sasaran
tetapi memberikan makna baru.
Bahasa plesetan di Indonesia diperkirakan mulai populer pada tahun 1990-an & mulai dipopulerkan di Yogyakarta. Saat itu, beberapa pelawak yang tayang di televisi keluar dari pakem yang menampilkan kebodohan pelawak, tapi mulai menggunakan gaya plesetan.
Saat itu isu2 sospol bukan barang tabu lagi tapi sudah sering jadi pembicaraan meski tidak dilakukan dengan terang-terangan. Penggunaan bahasa plesetan mengandung kritik yang menggambarkan ketidakpuasan masyarakat terhadap rezim yabg berkuasa.
Ternyata penggunaan bahasa plesetan ini bukan barang baru dan sudah pernah digunakan sebagai kritik terhadap seorang figur kolonial, Hendrikus Colijn, yang jadi musuh bersama tokoh nasionalis muda pada tahun 1920an.
H. Colijn yang pernah 5x menjabat sebagai Perdana Menteri Belanda terkenal dengan pernyataan yang kontra dengan pelaksanaan politik etis, misalnya ia pernah bilang bahwa "kesatuan Indonesia" sebagai suatu konsep kosong karena masing2 pulau dan daerah di kepulauan ini adalah entitas yang terpisah2, dan masa depan jajahan ini tidak mungkin tanpa dibagi dalam wilayah2.
Atas ucapan2nya mengenai wilayah koloni Hindia-Belanda, Colijn pun mendapat kritik dari dari tokoh2 penganut politik etis, bahkan dari Gubernur Jenderal de Graeff, yang dianggap sebagai gubernur jenderal etis terakhir. Colijn dikritik karena kebutaannya akan semangat kebangsaan dari angkatan muda Indonesia yang terdidik. Pandangan Colijn ini diikuti oleh beberapa pejabat kolonial yang dengan sengaja mengadu domba suku Jawa dan Minangkabau.
Oleh Sutan Sjahrir, pandangan2 Colijn dan pejabat kolonial lainnya bertujuan untuk mengadu domba & memecah belah (divide et impera). Dalam tulisan yang dimuat di majalahnya pada bulan Agustus 1927, Sjahrir menulis bahwa usaha untuk memisahkan orang Indonesia adalah suatu rekayasa jahat divide et impera, suatu muslihat yang khas "Colijnialism".
(Catatan: makna "Colijinialism" di masa itu bisa jadi maksudnya adalah untuk menunjukkan pembentukan paham atau isme yang berkaitan dengan pemikiran Colijn tapi pastinya saat itu tidak disadari bahwa jika dibaca dalam konteks sekarang dapat juga dipahami sebagai bentuk plesetan dari "colonialism", karena jaman penjajahan dulu mungkin belum dikenal istilah & praktek bahasa plesetan)
Bahasa plesetan di Indonesia diperkirakan mulai populer pada tahun 1990-an & mulai dipopulerkan di Yogyakarta. Saat itu, beberapa pelawak yang tayang di televisi keluar dari pakem yang menampilkan kebodohan pelawak, tapi mulai menggunakan gaya plesetan.
Saat itu isu2 sospol bukan barang tabu lagi tapi sudah sering jadi pembicaraan meski tidak dilakukan dengan terang-terangan. Penggunaan bahasa plesetan mengandung kritik yang menggambarkan ketidakpuasan masyarakat terhadap rezim yabg berkuasa.
Ternyata penggunaan bahasa plesetan ini bukan barang baru dan sudah pernah digunakan sebagai kritik terhadap seorang figur kolonial, Hendrikus Colijn, yang jadi musuh bersama tokoh nasionalis muda pada tahun 1920an.
H. Colijn yang pernah 5x menjabat sebagai Perdana Menteri Belanda terkenal dengan pernyataan yang kontra dengan pelaksanaan politik etis, misalnya ia pernah bilang bahwa "kesatuan Indonesia" sebagai suatu konsep kosong karena masing2 pulau dan daerah di kepulauan ini adalah entitas yang terpisah2, dan masa depan jajahan ini tidak mungkin tanpa dibagi dalam wilayah2.
Atas ucapan2nya mengenai wilayah koloni Hindia-Belanda, Colijn pun mendapat kritik dari dari tokoh2 penganut politik etis, bahkan dari Gubernur Jenderal de Graeff, yang dianggap sebagai gubernur jenderal etis terakhir. Colijn dikritik karena kebutaannya akan semangat kebangsaan dari angkatan muda Indonesia yang terdidik. Pandangan Colijn ini diikuti oleh beberapa pejabat kolonial yang dengan sengaja mengadu domba suku Jawa dan Minangkabau.
Oleh Sutan Sjahrir, pandangan2 Colijn dan pejabat kolonial lainnya bertujuan untuk mengadu domba & memecah belah (divide et impera). Dalam tulisan yang dimuat di majalahnya pada bulan Agustus 1927, Sjahrir menulis bahwa usaha untuk memisahkan orang Indonesia adalah suatu rekayasa jahat divide et impera, suatu muslihat yang khas "Colijnialism".
(Catatan: makna "Colijinialism" di masa itu bisa jadi maksudnya adalah untuk menunjukkan pembentukan paham atau isme yang berkaitan dengan pemikiran Colijn tapi pastinya saat itu tidak disadari bahwa jika dibaca dalam konteks sekarang dapat juga dipahami sebagai bentuk plesetan dari "colonialism", karena jaman penjajahan dulu mungkin belum dikenal istilah & praktek bahasa plesetan)
Tak hanya di Hindia-Belanda, ternyata di negeri Belanda pun praktek plesetan kata juga sudah ada ketika VOC sedang di ambang kebangkrutannya. Para pengkritik VOC yang kepanjangan seharusnya adalah Verenigde Oost-Indische Compagnie (Kongsi Dagang Hindia-Timur) memplesetkan menjadi Verbaan Onder Corruptie yang artinya Runtuh Karena Korupsi.
Untuk lebih lengkapnya bisa baca di http://serpihan-sejarah.blogspot.com/2015/04/sejarah-voc-vergaan-onder-corruptie.html
Sumber:
1. "Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia", Rudolf Mrazek
3. Foto Hendrikus Colijn pinjam dari http://www.npogeschiedenis.nl/…/aflev…/2003-2004/Colijn.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar