Setiap kali ada diskusi mengenai sejarah kerajaan2 di Tatar Sunda,
Naskah Wangsakerta biasanya akan sering disinggung sebagai salah satu
rujukan, meski Naskah Wangsakerta ini tidak hanya mengandung cerita
sejarah di Tatar Sunda tapi juga di Nusantara.
Bagi yang masih
penasaran dengan Naskah Wangsakerta, apa, bagaimana dan kenapa,
ringkasan coret2an yang saya buat ini mungkin bisa sedikit membantu...
Apakah Naskah Wangsakerta
Naskah Wangsakerta (selanjutnya disebut “Naskah”) adalah sekumpulan
Naskah yang disusun oleh sebuah tim yang dipimpin Pangeran Wangsakerta.
Naskah ini disusun sejak tahun 1677 s/d 1698 sesuai dengan keterangan
yang tertulis di dalamnya.
Penyusunan Naskah ini terlebih dahulu
diadakan musyawarah untuk menguji kebenaran bahan karangan yang berasal
dari berbagai riwayat yang dibawa sejumlah peserta dari berbagai
negeri. Isi riwayat beraneka macam, seperti riwayat beberapa
kebijaksanaan tertulis beberapa kerajaan di nusantara, uraian etika
politik, prasasti, peraturan kerajaan, ajaran agama, silsilah, dan kisah
keluarga raja. Adapun peserta musyawarah disebutkan terdiri atas sang
pinakadi, sang mahakawi, sang jurukatha, mentri, patih, duta kerajaan,
duta wilayah, ahli nujum, penghulu, guru besar agaman sang gotrasawala,
sang adyaksa yang tujuh dan Pangeran Wangsakerta sebagai pemimpin
musyawarah. Musyawarah itu dilaksanakan di Paseban Kesultanan Kasepuhan
Cirebon.
Hasilnya, antara lain:
- Pustaka Rajya-rajya I Bhumi Nusantara, dibagi ke dalam 5 parwa (bagian) dan berjumlah 25 sarga (jilid)
- Pustaka Pararatwan, dibagai ke dalam 6 parwa dan berjumlah 10 sarga
- Pustaka Nagarakretabhumi berjumlah 12 sarga
Naskah Pangeran Wangsakerta terbuat dari bahan kertas daluang dengan
sampul kertas karton dibungkus kain blacu putih dan warna
kecoklat-coklatan. Tinta warna hitam. Ukuran aksaranya 5 mm. Bahasa dan
aksara yang digunakan model bahasa Jawan Kuno dan aksara Jawa yang
bercirikan kebudayaan Pesisir-Cirebon.
Asal-Usul Naskah
Menurut artikel yang ditulis oleh Nina H. Lubis (catatan: selanjutnya
kita singkat saja “NHL”), mengutip keterangan dari Prof. Edi S. Ekadjati
(catatan: selanjutnya kita singkat saja “ESE”, pada tahun 1977, Kepala
Museum Sri Baduga membeli Naskah melalui informan atau perantara yang
bernama Moh. Asikin (selanjutnya kita sebut saja “Perantara”), warga
kota Cirebon. Naskah tersebut dibawa ke luar Cirebon karena khawatir
jatuh ke tangan pemerintah kolonial.
Siapa Pangeran Wangsakerta
Siapakah Pangeran Wangsakerta? Jika dirunut dari Sunan Gunung Jati
beliau adalah keturunan ke-6, putra Panembahan Girilaya. Kedua kakaknya
adalah Sultan Sepuh dan Sultan Anom. Nama Pangeran Wangsakerta tercatat
dalam perjanjian antara Cirebon dengan VOC tertanggal 7 Januari 1681
(atau 1691?). Dalam catatan harian VOC (Dagh Register) Pangeran
Wangsakerta tercatat sebagai keluarga Keraton Cirebon yang lembut,
cerdas dan mempunyai kemampuan memimpin.
(Catatan: Dengan demikian tokoh Pangeran Wangsakerta bukan tokoh fiktif atau dikarang2)
Gotrasawala
Pada tahun 1677 di Keraton Kasepuhan diadakan gotrasawala semacam
musyawarah atau seminar jaman sekarang ini. Tujuannya untuk menyusun
sejarah kerajaan-kerajaan di Nusantara. Yang diundang adalah para ahli
sejarah dari berbagai kerajaaan di Nusantara, bahkan ada perwakilan dari
Trengganu, Malaka (Malaysia sekarang) dan Tumasik (Singapura). Juga
dilengkapi penasihat ulama Islam dari Arab dan ulama Siwa dari India.
Tidak hanya itu bahkan ada utusan dari negri-negri lain sebagai peninjau
dan tidak mempunyai hak suara seperti dari Mesir, Arab, India ,
Srilangka, Benggala, Campa, Cina, dan Ujung Mendini (Semenanjung
Malaysia). Penulisan sejarah ini merupakan amanat dari mendiang
Panembahan Girilaya. Sebagai penanggung jawab/tuan rumah adalah Sultan
Sepuh dan Sultan Anom, sedangkan ketua penulisan naskah adalah Pangeran
Wangsakerta.
Isu-Isu Yang Jadi Polemik
1. Isu seputar usia Naskah
Menurut artikel yang ditulis oleh Sejarawan Nina H. Lubis, sesuai penelitian yang dilakukan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), umur kertas berusia sekitar 100 tahun, dihitung dari tahun 1988 saat Naskah itu diuji. NHL menganggap bahwa Naskah yang dibeli dan disimpan di Museum Sri Baduga adalah salinan yang baru ditulis sekitar abad 19, padahal di dalam Naskah sendiri tertulis disusun sejak tahun 1677 dan selesai tahun 1698.
Menurut artikel yang ditulis oleh Sejarawan Nina H. Lubis, sesuai penelitian yang dilakukan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI), umur kertas berusia sekitar 100 tahun, dihitung dari tahun 1988 saat Naskah itu diuji. NHL menganggap bahwa Naskah yang dibeli dan disimpan di Museum Sri Baduga adalah salinan yang baru ditulis sekitar abad 19, padahal di dalam Naskah sendiri tertulis disusun sejak tahun 1677 dan selesai tahun 1698.
Untuk masalah ini, menarik juga membaca penjelasan ESE yang dimuat di http://inspirasi.co/…/sekali_lagi_sekitar_naskah_wangsakert…
Menurut ESE, bahwa sebenarnya yang mengusulkan pengujian tersebut
adalah dirinya sendiri namun hasilnya belum final karena keraguan pihak
Laborannya. Contoh kertas tersebut kemudian di bawa ke salah satu Lab di
Tokyo, Jepang, namun sampai dengan tanggal artikel itu dibuat, 27 Mei
2002, hasilnya belum dikirim ke Museum Sri Baduga.
2. Gotrasawala
Sesuai yang tertulis di dalamnya bahwa Naskah disusun pasca pertemuan
yang disebut Gotrasawala yang dihadiri oleh kurang lebih 70 utusan dari
dalam & luar Indonesia (catatan: ketika jaman VOC masih disebut
Hindia-Timur). Pertemuan dengan jumah 70an peserta tentunya termasuk
skala besar & akan menjadi pusat perhatian VOC. Faktanya, peristiwa
pertemuan ini tidak tercatat di dalam Dagh Register milik VOC.
3. Asal-Usul Naskah
NHL pernah menanyakan langsung kepada Dr. Undang A. Darsa, ahli
Filologi Unpad Bandung yang ikut penelitian Naskah ini, apakah Atja
sebagai pembeli menanyakan kepada Perantara dari mana Naskah tersebut
berasal. Ternyata Atja tetap merahasiakan dari siapa Naskah itu
diperoleh oleh Perantara.
4. Perbandingan dengan Kitab Lain
Dikatakan di dalam kitab Pustaka Rajyarajya i Bhumi Nusantara bahwa
Nararya Sanggrawijaya adalah putera dari perkawinan antara Rakryan
Jayadarma dengan Dewi Singhamurti (Dyah Lembu Tal) anak Mahisa Campaka,
sehingga dengan demikian Nararya Sanggramawijaya adalah keturunan Sunda
yang nama aslinya adalah Rahadyan Wijaya, dan Dyah Lembu Tal adalah
ibunya yang berarti seorang perempuan.
Uraian ini bertentangan dengan
keterangan yang dituliskan dalam Negarakretagama (Desawarnana) yang
selesai ditulis oleh Mpu Prapanca tahun 1287 Saka (1365 M) atau sekitar
333 tahun sebelum munculnya naskah Wangsakerta. Kitab Negarakretagama
dalam Pupuh XLVII menyatakan:
“Dyah Lembu Tal itulah bapa Baginda
Nata (Nararya Sanggramawijaya), dalam hidup atut runut sepakat sehati,
setitah raja diturut, menggirangkan pandang, tingkah laku mereka semua
meresapkan”
Dari isi pupuh dapat disimpulkan ternyata bahwa Dyah
Lembu Tal adalah seorang laki-laki (bukan perempuan) karena itu disebut
dengan istilah "bapa".
Contoh lainnya,nama asli pendiri Majapahit
adalah Nararya Sanggramawijaya dan bukan Rahadyan Wijaya (sebagaimana
ditulis dalam Pustaka Rajyarajya i Bhumi Pertiwi), karena nama Nararya
Sanggramawijaya juga terdapat di dalam piagam atau prasasti Kudadu yang
dikeluarkan oleh Wijaya sendiri pada tahun 1294 M.
Kelanjutan Naskah Wangsakerta
Pada tanggal 16 September 1988 di Universitas Tarumanegara, Jakarta,
pernah diadakan “Diskusi Panel Naskah Sumber Sejarah Kerajaan
Tarumanagara” dengan penyaji adalah Drs. Atja dan Dr. Ayatrohaedi,
sedangkan pembahas di antaranya Drs. Boechari, Prof. Dr. R. Soekmono,
Prof. Dr. R.P. Soejono, Dr. J. Noorduyn, dan Drs. Uka Tjandrasasmita.
Pada saat itu sudah dirumuskan bahwa “...naskah2 tersebut masih belum
dapat dinyatakan sebagai sumber primer untuk penulisan sejarah”.
Pendapat yang kurang lebih senada disampaikan oleh NHL bahwa Naskah ini
belum tuntas diteliti secara filologis (dari 48 Naskah baru diteliti
sebanyak 26 Naskah), dan ia berkesimpulan bahwa Naskah Wangsakerta tidak
dapat digunakan sebagai sumber sejarah tapi sah sebagai obyek kajian
filologi.
ESE sebagai peneliti Naskah ini pun mengakui, seperti
dikutip oleh NHL di dalam artikelnya, bahwa masih ada keraguan terhadap
Naskah ini mengingat hal-hal yang diperdebatkan. Namun ia berpendapat
sebagaiman ditulis dalam artikel pribadinya bahwa informasi dari naskah
Pangeran Wangsakerta dapat digunakan sebagai informasi bandingan untuk
saling menguji informasi antar sumber sejarah. Ia juga menyarankan
penelitian serius, benar, dan jujur atas naskah Pangeran Wangsakerta
diperlukan di masa kini dan masa datang, sebagai tantangan yang menuntut
kita harus terus giat bekerja dan bekerja.
Masalahnya kemudian
adalah, di tengah kontroversi yang belum berhenti & belum ada titik
temunya, beberapa ilmuwan yang terkait dengan Naskah ini, yaitu: Drs.
Atja, Drs. Saleh Danasasmita, Prof. Dr. Ayat Rohaedi, Prof. Dr. Edi S.
Ekadjati dan Drs. Yoseph Iskandar yang telah mengangkat naskah-naskah
Pangeran Wangsakerta ke forum nasional dan publik semuanya telah
meninggal dunia.
Sedikit kemajuan yang bisa dicatat adalah saat
acara Gotrasawala yang diadakan pada bulan Desember 2014 yang lalu,
dibuka dengan acara Konferensi Kebudayaan di Keraton Kasepuhan Cirebon.
Acara ini dihadiri oleh ilmuwan2 besar, antara lain: Prof Nina Lubis
(Historian), Drs Achmad Opan Safari (Philologist), Dr Tedi Permadi
(Museulogist). Acara ini kemudian dilanjutkan dengan Seminar yang
membahas polemik Naskah Wangsakerta. Prof Nina Lubis yang menjadi
pembicara menyatakan bahwa sejumlah pihak menyebut naskah Pangeran
Wangsakerta adalah naskah salinan. Alasan mereka beragam, seperti metode
penyusunan naskah yang dianggap terlalu ilmiah pada zamannya,
penggunaan kertas yang dinilai bukan berasal dari zaman tersebut, hingga
tidak ada catatan dari pihak Belanda tentang peristiwa Gotrasawala yang
menjadi dasar penyusunan ribuan naskah itu. Namun demikian, para
sejarawan masih terus mengumpulkan, menerjemahakan dan mengkaji ulang
naskah-naskah yang terkumpul.
Kita tunggu saja hasilnya...
Sumber:
1. “Kontroversi Tentang Naskah Wangsakerta”, Nina H. Lubis, dimuat
dalam Jurnal Humaniora UGM Volume 14 No 1, Tahun 2002, bisa diakses di http://journal.ugm.ac.id/…/jurnal-humaniora/article/view/741
2. http://www.radarcirebon.com/mengungkap-kontroversi-naskah-w…
3. https://www.bersosial.com/…/kontroversi-naskah-wangsakerta…/
4. http://www.radarcirebon.com/gotrasawala-bahas-polemik-naska…
5. https://gentrapajajaran.wordpress.com/…/wangsakerta-terlal…/
6. Gambar Naskah Wangsakerta pinjam dari http://www.indonesiaheritage.org/ind/katalog/detail/97/
arti dari naskah yg di temukan itu apa??
BalasHapus