Embrio kelompok Menteng 31 ini bermula dari
perbedaan paham antara tokoh2 pemuda dalam Comite van Actie yang umumnya
sudah berpengalaman politik dan pimpinan asrama Parapatan 10. Asrama
Parapatan 10 ini adalah asrama mahasiswa kedokteran di Jalan Parapatan
10 yang penghuninya sebagian besar mahasiswa dari luar Jakarta,
mahasiswa pindahan dari sekolah dokter NIAS di Surabaya & mahasiswa
yang diutus oleh pemerintah pendudukan Sumatera. Perbedaan itu dalam hal
cara-cara perjuangan yang acapkali tidak cocok dengan rasio mahasiswa.
Apa yang disebut oleh tokoh2 pemuda itu sebagai hal yang revolusioner
tetapi dari kaca mata mahasiswa kadang2 dianggap tidak rasional.
Akhirnya pada tanggal 25 Agustus 1945, diputuskan untuk berpisah. Comite
van Actie meninggalkan asrama Parapatan 10 dan pindah ke Menteng 31.
(Catatan: Gedung ini sekarang dinamakan dengan "Gedung Juang 45")
Penyebab utama lainnya adalah sikap Eri Soedewo yang saat itu menjadi
ketua kelompok Asrama Parapatan 10 yang berpendapat bahwa mahasiswa
hanya diperalat oleh tokoh2 pemuda yang berpolitik sementara tugas utama
mahasiswa kedokteran adalah di bidang kesehatan dan Palang Merah.
Sebenarnya, Menteng 31 ini sebelumnya memang sudah dijadikan asrama
tempat penggemblengan pemuda2 Indonesia sesuai usulan Sukarni kepada
Ganseikanbu Sendenbu (Dinas Jawatan Propaganda Jepang). Pada bulan Juli
1942 usulan tersebut diterima dengan maksud menarik simpati pemuda &
untuk kepentingan propaganda Jepang, sementara Sukarni & pemuda2
secara diam2 menggunakan tempat tersebut sebagai markas pergerakan.
Sejak saat itu, pusat perjuangan pemuda di Jakarta ada dua, yaitu
Parapatan 10 yang tetap menjadi pusat perjuangan pelajar/mahasiswa, dan
Menteng 31 yang menjadi pusat perjuangan pemuda pada umumnya.
Abu Bakar Lubis adalah tokoh perjuangan yang menjadi penghubung antara Parapatan 10 dan Menteng 31.
Namun demikian, pamor dan peranan Parapatan 10 sebagai tempat tempat
yang melahirkan pemuda2 revolusi berkurang. Tetapi Menteng 31 lebih
dahulu digerebek Kenpetai pada tanggal 20 September 1945 sedangkan
Parapatan 10 masih bertahan sampai asrama itu digerebek NICA pada akhir
tahun 1946.
Menurut Adam Malik dalam bukunya “Mengabdi Republik”,
yang tercatat sebagai anggota kelompok Menteng 31 adalah Sukarni, M.
Nitihardjo, Adam Malik, Wikana, Chaerul Saleh, Pandu Wigana, Kusnaeni,
Darwis, Johar Nur, Arminanto dan A.M. Hanafi.
(Catatan: secara umum jumlahnya cukup banyak tapi yang sering disebut biasanya nama2 yang perannya cukup menonjol).
Pada peristiwa Rengasdengklok, beberapa nama dari Menteng 31 ikut terlibat seperti Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana.
Dari buku Julius Pour “Djakarta 1945 Awal Revolusi Kemerdekaan”,
dijelaskan karena ketiadaan kepemimpinan dari kabinet dan tidak pernah
ada komando untuk mulai merebut kekuasaan dari tentara Jepang paska
proklamasi, para pemuda sepakat untuk membentuk API (Angkatan Pemuda
Indonesia) di bawah pimpinan Wikana sebagai Ketua, Chaerul Saleh sebagai
Wakil Ketua, Darwis sebagai Bendahara, serta Ahmad Aidit, Pardjono,
A.M. Hanafie, Koesnandar, Djohar Noer dan Chalid Rosyidi sebagai
anggota. Setelah itu dibentuk juga BARA (Barisan Rakyat) dan BBI
(Barisan Buruh Indonesia). Ketiga organisasi ini berada di bawah naungan
Comite van Actie, yang bermarkas di Menteng 31. API kelak berubah
menjadi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia).
(Catatan: Di bukunya Soe Hok Gie “Orang2 di Persimpangan Kiri”, nama Darwis disebut sebagai pemuda dari Asrama Parapatan 10).
Di buku Soe Hok Gie, kelompok Menteng 31 ini juga sempat
mengorganisasikan tukang2 becak dan mendirikan Persatuan Buruh
Kendaraan, dimana Aidit dkk aktif di dalamnya, tapi kemudian dibubarkan
oleh Jepang karena dianggap berbahaya.
Kegiatan pemuda2 dari
Menteng 31 pasca proklamasi ingin segera merebut kekeuasaan dari Jepang
sebagai perwujudan dari istilah “…pemindahan kekuasaan dan lain2” dalam
teks proklamasi namun karena mereka tidak sabar menunggu tindakan dari
“kelompok tua” dalam hal ini termasuk Bung Karno dan Bung Hatta, maka
terjadilah peristiwa pengambilalihan Stasiun Djakarta- Manggarai,
sebagai bentuk pengambilalihan kekuasaan pertama dari Jepang.
Peran markas Menteng 31 punya pengaruh yang cukup signifikan dan luas
ketika revolusi kemerdekaan dimulai & dalam perkembangannya tidak
hanya menjadi markas pergerakan pemuda tetapi juga markas buruh, petani,
seniman dan massa lainnya.
Dalam kaitannya dengan tokoh2 pemuda
revolusioner dari Menteng 31 yang namanya kemudian muncul dalam
peristiwa PKI Madiun dan G30S, di dalam buku Tan Malaka “Gerakan Kiri
dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945 – Maret 1946” dijelaskan bahwa
sekitar bulan Maret 1944, di Menteng 31 dibentuk Gerindom (Gerakan
Indonesia Merdeka) dengan Aidit, Lukman, Sjamsudin Tjan dan Sidik
Kertapati aktif di dalamnya. Gerindom tidak terang2an membawa cap
komunis tapi bahan2 pelajaran berupa terjemahan dari brosur Dingley
tentang gerakan tani di Indonesia & pidato Dimitrov pada Kongres
Komintern tahun 1935 jadi petunjuk yang jelas.
Sumber:
1. “Mengabdi Republik”, Adam Malik
2. “Djakarta 1945 Awal Revolusi Kemerdekaan”, Julius Pour
3. “Orang2 di Persimpangan Kiri”, Soe Hok Gie
4. “Gerakan Kiri
dan Revolusi Indonesia: Agustus 1945 – Maret 1946”, Harry. A. Poeze
5. Untuk okupasi gedung bisa baca di http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1277/Joang-45-Museum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar