"Revolusi Indonesia" sinonim dengan perang kemerdekaan & oleh
karena kemerdekaan (catatan: pengakuan de facto dari Belanda) telah
tercapai maka revolusi dianggap telah berakhir & isu penting berikutnya yang
dihadapi negara adalah memecahkan masalah ekonomi.
Ketika
revolusi berakhir dan denyut nadi kehidupan bernegara mulai berjalan
normal, keadaan yang demikian menimbulkan dampak psikologis bagi
perwira2 TNI AD karena ketidaksiapan mereka mundur dari panggung
kehidupan bernegara. Di saat yang sama, perwira2 TNI AD juga hanya
menjadi penonton hiruk pikuknya pertentangan dan perebutan kekuasaan
oleh partai2 politik pada periode 1950 – 1959 yang dianggap sebagai
jaman keemasan partai politik karena konsekwensi menganut sistem
demokrasi parlementer.
Peristiwa 17 Oktober 1952 tidak melulu
persoalan politik mengenai dikotomi hubungan sipil dan militer tetapi
ekses dari keruwetan masalah ekonomi pasca revolusi, yang mengharuskan
penghematan dalam pengeluaran pemerintah, ditambah juga
persoalan-persoalan demobilisasi dan reorganisasi angkatan bersenjata.
Selama Hatta menjadi perdana menteri, hubungan sipil dan militer
berjalan baik, karena program pemerintah dan militer pada umumnya
didasarkan pada gagasan Hatta dan Nasution di tahun 1948. Namun iklim
kerja sama yang kondusif tersebut hanya sebentar terutama sejak Kabinet
Wilopo berkuasa menggantikan Kabinet Sukiman (Maret 1951 s/d Pebruari
1952). Pada masa Kabinet Wilopo program Re-Ra masih tetap berlangsung
yang pada akhir tahun 1953 terjadi pengurangan menjadi hanya 80 ribuan
prajurit dari jumlah 200 ribuan.
Untuk menjalankan kelanjutan
program Re-Ra ini Nasution bekerja sama dengan Menhan Sri Sultan HB IX
& mengandalkan dukungan yang kuat dari perwira2 bekas KNIL yang kini
menempati posisi strategis & dari perwira2 muda di TNI AD.
Program ini mendapat tentangan hebat dari perwira2 bekas PETA (dan
Laskar), utamanya adalah Kolonel Bambang Supeno, yang mendapat dukungan
dari (mantan) Panglima Divisi Brawijaya, Kolonel Bambang Sugeng dan
Kepala Intelijen TNI Kolonel Zulkifli Lubis. Oposisi di kalangan
internal militer ini ternyata mendapat dukungan politik cukup kuat dari
PNI. Bagi kelompok ini "revolusi belum selesai".
Untuk keperluan
Re-Ra, TNI juga mendatangkan Misi Militer Belanda (MMB) namun mendapat
tentangan dari Supeno yang menganggap MMB terlalu berlebihan & bisa
mengurangi rasa patriotisme. Supeno, yang sebelumnya menjabat sebagai
komandan Akademi Chandradimuka namun dibubarkan oleh Nasution,
melancarkan kampaye aktif terhadap Nasution dengan menghasut para
komandan militer untuk menentang kebijakan Mabes AD.
Nasution
dalam bukunya "Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai"
menggambarkan bahwa Supeno sering melakukan audiensi atau pertemuan
dengan Presiden Soekarno untuk membicarakan berbagai ketidaksetujuannya
terhadap kebijakan KSAD.Agitasi Supeno mencapai puncaknya saat
mendatangi sejumlah penguasa militer daerah & meminta tanda tangan
mereka untuk mencopot Nasution dari jabatan KSAD.
Tanggal 12 Juli
1952 sebuah pertemuan khusus perwira senior yang diketuai Gatot Subroto
diadakan di Mabes AD dimana Simatupang berbicara mencela tindakan
Supeno yang dianggap indispliner.
Keesokan harinya Supeno menulis
surat kepada Perdana Menteri & Menhan dengan tindasan kepada
Presiden Sukarno & Zainul Baharuddin yang menjelaskan dia tidak lagi
mempercayai kepemimpinan Nasution yang dituduh tidak mampu membina
semangat korps & mengambil keputusan yang memihak dalam hal
personalia.
Tanggal 14 Juli 1952 Sri Sultan, Nasution &
Simatupang menghadap Presiden untuk mendapakan kejelasan sikapnya. Dari
pertemuan itu terindikasi dengan jelas keberpihakan Presiden kepada
Supeno. Menurut Simatupang, sikap Presiden itu membuat pimpinan AD
gamang. Nasution malah mengajukan pengunduran dirinya karena merasa
tidak dipercaya lagi tapi ditolak oleh Sukarno.
Tanggal 17 Juli 1952 Nasution memutuskan untuk membebastugaskan Supeno dari posisinya sebagai Inspektur Infanteri AD.
Parlemen mengecam tindakan Nasution terhadap Supeno, termasuk juga masalah MMB & penganakemasan tentara bekas KNIL.
Pada tanggal 28 Juli 1952, persoalan yang awalnya merupakan "persoalan
internal" di AD kini telah menjadi "political issue" & mulai dibahas
dalam parlemen dengan pengajuan mosi dari 3 kalangan:
1. Mosi Zainul Baharuddin & Ir. Sakirman (PKI) pada tanggal 24 September 1952.
2. Mosi IJ. Kasimo (Katolik) & M. Natsir (Masyumi) pada tanggal 13 Oktober 1952.
3. Mosi Manai Sophian (PNI) pada tanggal 14 Oktober 1952.
Mosi ke 3 dari Manai Sophian yang memenangkan pemungutan suara &
disetujui oleh Parlemen pada tanggal 16 Oktober 1952 tidak menyenangkan
pimpinan AD yang dianggap campur tangan politisi sipil dalam militer.
Nasution menyebut langkah parlemen tersebut sebagai "serangan umum"
& kecewa atas keputusan tersebut karena menurutnya yang menelorkan
mosi itu adalah rekan2 seperjuangannya dulu selama ia mewakili APRI
dalam sidang2 seksi pertahanan yang penuh kekeluargaan saat ibukota
Republik di Yogyakarta, "Tidak seperti di Jakarta, suasana yang
ada adalah kecurigaan bahkan permusuhan terhadap kami (Angkatan Perang)
& tuduhan2 yang paling menyakitkan adalah anti-patriotisme, alat
imperialisme dan telah diperalat suatu partai..."
Masih
menurut Nasution, karena serang tersebut& terpanggil untuk
menyelesaikan persoalan Bambang Supeno secara kolegial, pada tanggal
16-17 Oktober 1952 diadakan rapat Staf Umum AD dengan panglima
teritorium yang menelorkan beberapa keputusan penting untuk diserahkan
kepada Presiden Soekarno.
Sementara itu, kalangan "tentara
reformis" di sekeliling Nasution mulai menunjukkan kecemasan &
kekecewaannya karena berlarut2nya perdebatan di parlemen. Perwira2
Siliwangi yang mendukung Nasution menyadari bahwa orang2 radikal yang
pernah mereka tumpas dalam pemberontakan Madiun tapi lolos dari jerat
hukum sekarang berada di antara politisi2 yang bersuara paling lantang
di parlemen & sebagian lagi (2/3 nya) adalah anggota parlemen yang
dari bekas "negara2 van Mook".
Di lain pihak, terdapat sekelompok
perwira di AD garis keras "Elang" yang menuntut agar AD diikutsertakan
dalam proses pengambilan keputusan terkait kebijakan politik pemerintah
karena menurut mereka kemerdekaan bisa dicapai sebagian besarnya berkat
perjuangan tentara & karenanya mereka berhak untuk ikut menentukan
nasib bangsa di bidang politik. Atas inisiatif kelompok "Elang",
pimpinan AD merencanakan untuk mengadakan demonstrasi sebagai alat
penekan agar parlemen dibubarkan yang dilaksanakan tanggal 17 Oktober
1952.
Pengambil inisiatif utamanya adalah Letkol Soetoko, Kepala
Staf Keamanan Khusus AD & Letkol S. Parman, tetapi pengorganisasian
massa demonstran oleh Kolonel dr. Moestopo, seorang perwira Dinas
Kedokteran Gigi AD & Mayor Kosasih, Komandan Garnisun Jakarta. Seksi
intel Divisi Siliwangi juga mengerahkan demonstran dari luar Ibukota
dengan menggunakan truk2 tentara. Di lapangan Merdeka dihadirkan tank
serta beberapa meriam yang moncongnya di arahkan ke istana. Pasukan ini
dipimpin oleh Letkol Kemal Idris, seorang perwira Siliwangi.
Sementara itu perwira2 senior telah diijinkan oleh Perdana Menteri &
Menhan untuk menyampaikan sendiri petisinya kepada Presiden. Sebagai
jubir dari perwira2 AD adalah Soetoko sementara Soekarno yang tidak
ingin menghadapi militer sendirian memanggil Wapres Hatta, PM Wilopo,
Menhan Sri Sultan HB IX, Pejabat Ketua Parlemen & Simatupang.
Dalam pertemuan yang digambarkan tegang itu Soetoko menyerahkan kepada
Presiden sebuah petisi yang ditandatangani perwira2 yang hadir dengan
seruan intinya untuk membubarkan parlemen. Presiden Soekarno sempat
menjawab perwira2 itu karena mereka telah melaksanakan aksi maka akan
ada reaksi.
Tentang penempatan meriam2 yang moncongnya dihadapkan
ke istana, Kemal Idris dalam memoarnya "Bertarung Dalam Revolusi"
menyatakan bahwa sudut elevasi meriam yang dihadapkan ke Istana
sesungguhnya tidak tepat. Kalau pun ditembakkan, pelurunya akan melewati
Istana Kepresidenan. Menurut Kemal Idris, karena keahlian Presiden
Soekarno menghadapi demonstran & berpidato maka tuntutan massa
demonstran dapat diredam & massa membubarkan diri.
Oleh
Soekarno, dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams, peristiwa 17
oktober 1952 itu dianggap sebagai percobaan “setengah coup”. Tidak
mengherankan jika kemudian "musuh2" pribadi Nasution mengatakan bahwa
peristiwa yang terjadi pada tanggal 17 Oktober 1952 itu adalah suatu
percobaan "kudeta". Tuduhan ini misalnya disebut di dalam harian
Merdeka.
Peristiwa ini merembet ke daerah2 sehingga terjadi
polarisasi antara perwira2 yang pro 17 Oktober 1952 dengan yang oposan
terhadap Nasution. Kelompok yang anti-Nasution ini mendapatkan angin
untuk menuntut pemerintah agar mengambil tindakan keras terhadap
pimpinan AD.
Pada tanggal 15 Desember 1952 Nasution dibebastugaskan dari jabatanya sebagaI KSAD.
Bagaimana Nasution kemudian menjawab stigma "kudeta" oleh lawan2 politiknya.
Dalam wawancara yang dimuat di buku "Jenderal Tanpa Pasukan Politisi
Tanpa Partai" menurut Nasution yang menuduh adanya percobaan kudeta pada
waktu itu adalah harian Merdeka didasarkan pada laporan BISAP yang
dibuat oleh Zulkifli Lubis (kemudian disebut Nasution sebagai "Dokumen
Lubis"). Laporan yang mengesankan bahwa KSAD mau mengadakin "kudeta"
kemudian bocor & tersebar ke teritorium2 & parpol2, tampaknya
dipercaya sebagai informasi resmi.
Nasution membantah bagian2
penting isi dokumen BISAP yang dinilai fitnah belaka & ketika itu
Zulkifli Lubis tidak berada di tekape.
Bantahan dari SUAD atas
laporan BISAP itu dikeluarkan pada akhir Nopember 1952 yang menyatakan
tidak ada dialog antara Presiden Sukarno & Nasution, serta tidak ada
konsep yang disodorkan, seperti yang disebut dalam Dokumen Lubis.
Dalam buku "Peristiwa 17 Oktober 1952" yang ditulisnya sendiri,
Nasution menyatakan bahwa Peristiwa 17 Oktober 1952 terjadi karena
adanya campur tangan Parlemen dalam kehidupan militer & adanya
perpecahan dalam tubuh militer khususnya AD.
Suatu ketika, saat
Nasution berpidato di Kaban Jahe, Sumatera Utara, untuk partai yang baru
didirikannya IPKI,sekelompok orang berteriak mengaitkan Nasution dengan
Peristiwa 17 Oktober 1952. Nasution terpaksa menjawab:
"Bahwa
Peristiwa 17 Oktober 1952 adalah peristiwa yang telah didandani
(aangekleed) oleh lawan2 politik saya, persis seperti Belanda mendandani
Perjanjian Linggarjati".
Menurut sejarawan LIPI, Asvi Warman
Adam, dikutip dari buku "Peristiwa 17 Oktober 1952", situasi politik dan
tingkah laku politisi terhadap Kementerian Pertahanan dan Angkatan
Perang merupakan pemicu terjadinya peristiwa tersebut.
Sayang,
sampai akhir hidupnya, Zulkifli Lubis tidak pernah memberikan
klarifikasi atas Peristiwa 17 Oktober 1952. Sama seperti tugasnya yang
harus "misterius" di bidang intelijen, kehidupan Zulkifli Lubis juga
"misterius".
Sumber:
1. “Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah”, Slamet Sutrisno
2. "Politik Militer Indonesia 1945 - 1967 Menuju Dwifungsi ABRI", Ulf
Sundhaussen
3. "Peristiwa 17 Oktober 1952", Jenderal Besar A.H. Nasution
4. "Jenderal Tanpa Pasukan Politisi Tanpa Partai", Jenderal Besar A.H. Nasution
5. "Zulkifli Lubis Kolonel Misterius di Balik Pergolakan TNI AD", Peter Kasenda
6. "Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat", Cindy Adams
7. "Kemal Idris - Bertarung Dalam Revolusi", Rosihan Anwar, et.al.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar