(Catatan: dari beberapa literatur ada juga yang menuliskan “Reorganisasi”
untuk kepanjangan dari kata “Re”, tapi maksudnya kurang lebih sama
Sikon Jelang Kejatuhan Kabinet Amir
Setelah jatuhnya Kabinet Sjahrir III, Presiden Soekarno menunjuk Amir Syarifuddin untuk membentuk kabinet. Soe Hok Gie menyebutnya “Kabinet Kiri Jauh” karena disokong oleh Partai Sosialis (PS), PKI, eks BTI dan golongan buruh seperti Setiadjit sebagai Wakil Perdana Menteri (PBI-komunis di Belanda), Abdulmadjid (PS) sebagai Menteri Muda Dalam Negeri, Tamzil (PS) sebagai Menteri Muda Luar Negeri, Tjokronegoro (PS) sebagai Menteri Muda Perekonomian, Wikana dan Maruto Darusman (PKI) sebgai Menteri Negara dan S.K. Trimurti (Buruh) sebagai Menteri Perburuhan.
Pada masa Kabinet Amir Syarifuddin inilah dilaksanakan perundingan dengan Belanda di atas kapal perang milik Amerika Serikat, USS. Renville, saat lego jangkar di Tanjung Priok, pada 8 Desember 1947. Meskipun dinilai banyak pihak merugikan bangsa Indonesia dan dianggap kemenangan telak diplomasi Belanda, faktanya Perjanjian Reville tetap ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948.
Amir Syarifuddin yang di awal kabinetnya mendapat dukungan dari mitra koalisi, namun setelah penandatanganan Perjanjian Renville, mitra2 koalisi dari Partai Masyumi dan PNI berbalik mengecamnya dan menarik menteri2 parpol koalisi dari kabinet. Amir Syarifuddin mundur dari jabatannya pada tanggal 23 Januari 1948.
Embrio Program Re-Ra
Program Re-Ra sebenarnya sudah dimulai sejak Kabinet Amir Syarifuddin berdasarkan mosi yang diajukan golongan kiri di KNIP pada bulan Desember 1947. Pemerintah kemudian mengeluarkan Penetapan Presiden No 1 tanggal 2 Januari 1948 yang membubarkan Pucuk Pimpinan TNI dan Gabungan Kepala Staf Angkatan Perang, tapi karena adanya reaksi yang keras dari KNIP, Penpres ini kemudian dibatalkan. Munculnya program Re-Ra dinilai sebagai akibat dari “kesalahan” pemerintah yang tidak segera membentuk angkatan perang setelah memproklamirkan berdirinya negara Indonesia. Jadi, pada akhirnya angkatan perang resmi dibentuk, di kalangan militer sendiri sudah terbentuk otonomi.
Jelang akhir tahun 1947, usaha untuk memoderenisasi angkatan perang mulai disuarakan di BP-KNIP, namun, karena masih sebatas wacana akhirnya dibuat mosi oleh Zainul Baharuddin yang merupakan petisi parlemen berisi usulan kebijakan kepada pemerintah untuk mereformasi angkatan perang. Usulan reformasi memuat dua hal pokok yaitu, menempatkan Angkatan Bersenjata di bawah wewenang Menteri Pertahanan dan merasionalisasi jumlah tentara. Mosi tersebut dimunculkan kekecewaan mereka terhadap Angkatan Bersenjata yang tidak dapat menahan gerak maju tentara Belanda pada saat itu.
Amir menggunakan kesempatan program Re-Ra untuk memenuhi ambisi politiknya yaitu menempatkan Angkatan Bersenjata di bawah kekuasaannya sekaligus menyingkirkan tokoh2 yang dianggap menghalangi ambisinya, yaitu Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Kasum TNI Jenderal Urip Sumoharjo. Tapi Re-Ra yang dirintis Kabinet Amir Syarifuddin lewat Perjanjian Renville itu tidak berumur panjang karena mendapat tantangan dari kalangan tentara selain juga hilangnya kesempatan dengan dimulainya Agresi Militer Belanda 2 pada 19 Desember 1948 yang memaksa semua kekuatan bersenjata Indonesia bersatu kembali dan melakukan perang gerilya di bawah pimpinan Jenderal Sudirman.
Kabinet Hatta dan Program Re-Ra
Bung Hatta kemudian ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk membentuk kabinet yang diumumkan pada 29 Januari 1948 dengan Hatta sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan. Kabinet Hatta tidak mengikutsertakan wakil2 dari partai kiri dan memiliki rencana kerja dalam negeri, antara lain, untuk memperbaiki ekonomi. Salah satu cara yang ditempuh adalah melanjutkan program Re-Ra yang sempat terbengkalai pada Kabinet Amir Syarifuddin. Namun berbeda dengan Perdana Menteri sebelumnya, setelah ditunjuk sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan, Hatta menggunakan Re-Ra untuk menghilangkan pengaruh kiri di dalam angkatan perang. Hatta juga dipandang tidak berkeinginan untuk merongrong kedudukan Panglima Besar Jenderal Sudirman atau memperlemah tentara dengan cara apapun.
Menurut Ulf Sundhaussen, tujuan dasar kebijakan tersebut adalah untuk menciutkan jumlah personil angkatan bersenjata, meningkatkan efesiensinya, dan menempatkannya kembali di bawah pimpinan pemerintah. Tujuan yang disebut paling akhir itu sangat penting, karena kesatuan-kesatuan tempur saat itu mulai menguasai daerah-daerah kantong atau daerah-daerah front mereka secara mandiri dengan menempuh kebijaksanaan mereka masing-masing.
Langkah awal yang diambil Hatta dalam upaya mereorganisasi dan merasionalisasi TNI AD adalah dengan mengurangi jumlah personelnya. Selain itu, fakta bahwa keadaan perekonomian Negara sudah sangat kritis, Hatta dituntut untuk melakukan penghematan seoptimal mungkin. Salah satu caranya dengan melaksanakan program Re-Ra agar mencapai sedikit perimbangan antara pendapatan dengan belanja negara dan alat-alat Negara.Usulan Kabinet Hatta ini disetujui Pemerintah yang selanjutnya menandatangani sebuah Dekrit pada tanggal 2 Januari 1948 yang memerintahkan agar semua kekuasaan di bidang pertahanan dipusatkan di tangan Menteri Pertahanan. Setelah disetujui oleh BP-KNIP maka diterbitkanlah Undang-Undang No 3 Tahun 1948 tertanggal 5 Maret 1948 mengenai Susunan Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang.
Dampak dari Program Re-Ra
Pada pelaksanaanya, program Re-Ra yang dijalankan oleh Kabinet Hatta tidak mulus karena banyak mendapatkan tentangan bahkan dari kalangan tentara sendiri. Bagi mereka yang terkena rasionalisasi akan merasa kecewa karena praktis kehilangan pekerjaan atau kedudukan yang dinilai prestise bagi pemuda pada masa itu.
Di Angkatan Laut misalnya, sebagai tindak lanjut dari UU No 3 Tahun 1948, dibuatlah Komisi Reorganisasi ALRI pada tanggal 17 Maret 1948 dengan Kolonel R. Soebijakto sebagai Ketua Komisinya. Salah satu dampaknya adalah dileburnya Divisi I dan Divisi II Tentara Laut Republik Indonesia dan digabungkan ke dalam kesatuan Angkatan Darat.
Di antara mereka yang kecewa adalah Laksamana Muda Atmadji yang sebelumnya juga sudah merasa dikecewakan saat terjadi perubahan nama dari BKR Laut menjadi TKR Laut pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan Kepala Staf Umum Laksamana M. Pardi yang bermarkas di Yogyakarta. Atmadji dkk yang sudah berjuang sebagai tentara pelaut saat penjajahan Belanda dan Jepang, merasa kecewa karena tidak lolos seleksi menjadi anggota TKR Laut, sehingga membentuk apa yang dinamakan Marine Keamanan Rakyat (MKR) yang bermarkas di Surabaya dan dipimpin oleh Laksamana Muda Atmadji. Dengan adanya Re-Ra, Atmadji dipindahtugaskan ke Kementrian Pertahanan. Dalam perjalanannya Atmadji dan kelompoknya memilih ikut terlibat dalam Pemberontakan PKI Madiun 1948.
Sementara itu, sejumlah tokoh kiri yang menduduki posisi penting di Kementerian Pertahanan diberhentikan dan tentara laskar yang dibentuk Amir Syarifuddin pada tahun 1947 harus melebur ke dalam TNI dan karenanya harus tunduk pada aturan dan komando TNI. Wajar jika golongan kiri merasa kecewa lalu mengecam Hatta dan menghalangi pelaksanaan Re-Ra.
Dalam bulan April 1948 terjadi demonstrasi terutama dari pelajar di Jawa Timur menentang Re-Ra. Bulan Mei 1948 di Solo, tentara Divisi Panembahan Senopati juga melakukan demonstrasi menentang Re-Ra.
Hatta, di depan sidang BP-KNIP tanggal 2 September 1948 memberikan pandangannya mengenai Program Re-Ra di kalangan Angkatan Bersenjata, antara lain:
"Istimewa terhadap angkatan perang kita rasionalisasi harus dilaksanakan dengan tegas dan nyata...berpedoman kepada cita-cita satu tentara, satu komando...dalam bentuk dan susunan yang efektif'...mengurangkan jumlah angkatan perang kita sampai kepada susunan yang rasionil"
Dengan terbentuknya Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di bawah pimpinan Kolonel A.H. Nasution selaku Panglima Tentara & Teritorial Djawa (PTTD) dan Markas Besar Komando Sumatra (MBKS) di bawah Kolonel Hidayat selaku PTTS, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan tanggal 28 Oktober 1948, dapat dikatakan Re-Ra di lingkungan TNI AD sudah selesai.
Sumber:
1. “Politik Militer Indonesia 1945 – 1967, Menuju Dwifungsi ABRI”, Ulf Sundhaussen
2. "Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia”, Marwati Djoened Poesponegoro, et.al.
3. "Pemberontakan PKI-Musso di Madiun 18 - 30 September 1948", Rachmat Susatyo, bisa diakses di sini http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/12/pemberontakan_pki_musso_di_madiun.pdf
4. “Reorganisasi dan Rasionalisasi TNI AL 1948 – 1950: Dari Pembentukan Komisi Reorganisasi (KRAL) Hingga Terbentuknya Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL)”, Rifky Azhri.
5. Baca juga di http://www.academia.edu/…/Reformasi_Angkatan_Perang_Republi…
6. Baca juga di http://serbasejarah.wordpress.com/2012/02/17/zaman-re-ra
7. Gambar lambang TNI pinjam dari http://pusdikter.mil.id/tinymcpuk/gambar/Image/…/lambang.jpg
8. Gambar TNI pinjam dari http://www.tempo.co/…/078437…/Mabes-TNI-Mutasikan-18-Perwira
Sikon Jelang Kejatuhan Kabinet Amir
Setelah jatuhnya Kabinet Sjahrir III, Presiden Soekarno menunjuk Amir Syarifuddin untuk membentuk kabinet. Soe Hok Gie menyebutnya “Kabinet Kiri Jauh” karena disokong oleh Partai Sosialis (PS), PKI, eks BTI dan golongan buruh seperti Setiadjit sebagai Wakil Perdana Menteri (PBI-komunis di Belanda), Abdulmadjid (PS) sebagai Menteri Muda Dalam Negeri, Tamzil (PS) sebagai Menteri Muda Luar Negeri, Tjokronegoro (PS) sebagai Menteri Muda Perekonomian, Wikana dan Maruto Darusman (PKI) sebgai Menteri Negara dan S.K. Trimurti (Buruh) sebagai Menteri Perburuhan.
Pada masa Kabinet Amir Syarifuddin inilah dilaksanakan perundingan dengan Belanda di atas kapal perang milik Amerika Serikat, USS. Renville, saat lego jangkar di Tanjung Priok, pada 8 Desember 1947. Meskipun dinilai banyak pihak merugikan bangsa Indonesia dan dianggap kemenangan telak diplomasi Belanda, faktanya Perjanjian Reville tetap ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948.
Amir Syarifuddin yang di awal kabinetnya mendapat dukungan dari mitra koalisi, namun setelah penandatanganan Perjanjian Renville, mitra2 koalisi dari Partai Masyumi dan PNI berbalik mengecamnya dan menarik menteri2 parpol koalisi dari kabinet. Amir Syarifuddin mundur dari jabatannya pada tanggal 23 Januari 1948.
Embrio Program Re-Ra
Program Re-Ra sebenarnya sudah dimulai sejak Kabinet Amir Syarifuddin berdasarkan mosi yang diajukan golongan kiri di KNIP pada bulan Desember 1947. Pemerintah kemudian mengeluarkan Penetapan Presiden No 1 tanggal 2 Januari 1948 yang membubarkan Pucuk Pimpinan TNI dan Gabungan Kepala Staf Angkatan Perang, tapi karena adanya reaksi yang keras dari KNIP, Penpres ini kemudian dibatalkan. Munculnya program Re-Ra dinilai sebagai akibat dari “kesalahan” pemerintah yang tidak segera membentuk angkatan perang setelah memproklamirkan berdirinya negara Indonesia. Jadi, pada akhirnya angkatan perang resmi dibentuk, di kalangan militer sendiri sudah terbentuk otonomi.
Jelang akhir tahun 1947, usaha untuk memoderenisasi angkatan perang mulai disuarakan di BP-KNIP, namun, karena masih sebatas wacana akhirnya dibuat mosi oleh Zainul Baharuddin yang merupakan petisi parlemen berisi usulan kebijakan kepada pemerintah untuk mereformasi angkatan perang. Usulan reformasi memuat dua hal pokok yaitu, menempatkan Angkatan Bersenjata di bawah wewenang Menteri Pertahanan dan merasionalisasi jumlah tentara. Mosi tersebut dimunculkan kekecewaan mereka terhadap Angkatan Bersenjata yang tidak dapat menahan gerak maju tentara Belanda pada saat itu.
Amir menggunakan kesempatan program Re-Ra untuk memenuhi ambisi politiknya yaitu menempatkan Angkatan Bersenjata di bawah kekuasaannya sekaligus menyingkirkan tokoh2 yang dianggap menghalangi ambisinya, yaitu Panglima Besar Jenderal Sudirman dan Kasum TNI Jenderal Urip Sumoharjo. Tapi Re-Ra yang dirintis Kabinet Amir Syarifuddin lewat Perjanjian Renville itu tidak berumur panjang karena mendapat tantangan dari kalangan tentara selain juga hilangnya kesempatan dengan dimulainya Agresi Militer Belanda 2 pada 19 Desember 1948 yang memaksa semua kekuatan bersenjata Indonesia bersatu kembali dan melakukan perang gerilya di bawah pimpinan Jenderal Sudirman.
Kabinet Hatta dan Program Re-Ra
Bung Hatta kemudian ditunjuk oleh Presiden Soekarno untuk membentuk kabinet yang diumumkan pada 29 Januari 1948 dengan Hatta sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan. Kabinet Hatta tidak mengikutsertakan wakil2 dari partai kiri dan memiliki rencana kerja dalam negeri, antara lain, untuk memperbaiki ekonomi. Salah satu cara yang ditempuh adalah melanjutkan program Re-Ra yang sempat terbengkalai pada Kabinet Amir Syarifuddin. Namun berbeda dengan Perdana Menteri sebelumnya, setelah ditunjuk sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan, Hatta menggunakan Re-Ra untuk menghilangkan pengaruh kiri di dalam angkatan perang. Hatta juga dipandang tidak berkeinginan untuk merongrong kedudukan Panglima Besar Jenderal Sudirman atau memperlemah tentara dengan cara apapun.
Menurut Ulf Sundhaussen, tujuan dasar kebijakan tersebut adalah untuk menciutkan jumlah personil angkatan bersenjata, meningkatkan efesiensinya, dan menempatkannya kembali di bawah pimpinan pemerintah. Tujuan yang disebut paling akhir itu sangat penting, karena kesatuan-kesatuan tempur saat itu mulai menguasai daerah-daerah kantong atau daerah-daerah front mereka secara mandiri dengan menempuh kebijaksanaan mereka masing-masing.
Langkah awal yang diambil Hatta dalam upaya mereorganisasi dan merasionalisasi TNI AD adalah dengan mengurangi jumlah personelnya. Selain itu, fakta bahwa keadaan perekonomian Negara sudah sangat kritis, Hatta dituntut untuk melakukan penghematan seoptimal mungkin. Salah satu caranya dengan melaksanakan program Re-Ra agar mencapai sedikit perimbangan antara pendapatan dengan belanja negara dan alat-alat Negara.Usulan Kabinet Hatta ini disetujui Pemerintah yang selanjutnya menandatangani sebuah Dekrit pada tanggal 2 Januari 1948 yang memerintahkan agar semua kekuasaan di bidang pertahanan dipusatkan di tangan Menteri Pertahanan. Setelah disetujui oleh BP-KNIP maka diterbitkanlah Undang-Undang No 3 Tahun 1948 tertanggal 5 Maret 1948 mengenai Susunan Kementerian Pertahanan dan Angkatan Perang.
Dampak dari Program Re-Ra
Pada pelaksanaanya, program Re-Ra yang dijalankan oleh Kabinet Hatta tidak mulus karena banyak mendapatkan tentangan bahkan dari kalangan tentara sendiri. Bagi mereka yang terkena rasionalisasi akan merasa kecewa karena praktis kehilangan pekerjaan atau kedudukan yang dinilai prestise bagi pemuda pada masa itu.
Di Angkatan Laut misalnya, sebagai tindak lanjut dari UU No 3 Tahun 1948, dibuatlah Komisi Reorganisasi ALRI pada tanggal 17 Maret 1948 dengan Kolonel R. Soebijakto sebagai Ketua Komisinya. Salah satu dampaknya adalah dileburnya Divisi I dan Divisi II Tentara Laut Republik Indonesia dan digabungkan ke dalam kesatuan Angkatan Darat.
Di antara mereka yang kecewa adalah Laksamana Muda Atmadji yang sebelumnya juga sudah merasa dikecewakan saat terjadi perubahan nama dari BKR Laut menjadi TKR Laut pada tanggal 5 Oktober 1945 dengan Kepala Staf Umum Laksamana M. Pardi yang bermarkas di Yogyakarta. Atmadji dkk yang sudah berjuang sebagai tentara pelaut saat penjajahan Belanda dan Jepang, merasa kecewa karena tidak lolos seleksi menjadi anggota TKR Laut, sehingga membentuk apa yang dinamakan Marine Keamanan Rakyat (MKR) yang bermarkas di Surabaya dan dipimpin oleh Laksamana Muda Atmadji. Dengan adanya Re-Ra, Atmadji dipindahtugaskan ke Kementrian Pertahanan. Dalam perjalanannya Atmadji dan kelompoknya memilih ikut terlibat dalam Pemberontakan PKI Madiun 1948.
Sementara itu, sejumlah tokoh kiri yang menduduki posisi penting di Kementerian Pertahanan diberhentikan dan tentara laskar yang dibentuk Amir Syarifuddin pada tahun 1947 harus melebur ke dalam TNI dan karenanya harus tunduk pada aturan dan komando TNI. Wajar jika golongan kiri merasa kecewa lalu mengecam Hatta dan menghalangi pelaksanaan Re-Ra.
Dalam bulan April 1948 terjadi demonstrasi terutama dari pelajar di Jawa Timur menentang Re-Ra. Bulan Mei 1948 di Solo, tentara Divisi Panembahan Senopati juga melakukan demonstrasi menentang Re-Ra.
Hatta, di depan sidang BP-KNIP tanggal 2 September 1948 memberikan pandangannya mengenai Program Re-Ra di kalangan Angkatan Bersenjata, antara lain:
"Istimewa terhadap angkatan perang kita rasionalisasi harus dilaksanakan dengan tegas dan nyata...berpedoman kepada cita-cita satu tentara, satu komando...dalam bentuk dan susunan yang efektif'...mengurangkan jumlah angkatan perang kita sampai kepada susunan yang rasionil"
Dengan terbentuknya Markas Besar Komando Djawa (MBKD) di bawah pimpinan Kolonel A.H. Nasution selaku Panglima Tentara & Teritorial Djawa (PTTD) dan Markas Besar Komando Sumatra (MBKS) di bawah Kolonel Hidayat selaku PTTS, sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Pertahanan tanggal 28 Oktober 1948, dapat dikatakan Re-Ra di lingkungan TNI AD sudah selesai.
Sumber:
1. “Politik Militer Indonesia 1945 – 1967, Menuju Dwifungsi ABRI”, Ulf Sundhaussen
2. "Sejarah Nasional Indonesia VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik Indonesia”, Marwati Djoened Poesponegoro, et.al.
3. "Pemberontakan PKI-Musso di Madiun 18 - 30 September 1948", Rachmat Susatyo, bisa diakses di sini http://pustaka.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2009/12/pemberontakan_pki_musso_di_madiun.pdf
4. “Reorganisasi dan Rasionalisasi TNI AL 1948 – 1950: Dari Pembentukan Komisi Reorganisasi (KRAL) Hingga Terbentuknya Korps Komando Angkatan Laut (KKO AL)”, Rifky Azhri.
5. Baca juga di http://www.academia.edu/…/Reformasi_Angkatan_Perang_Republi…
6. Baca juga di http://serbasejarah.wordpress.com/2012/02/17/zaman-re-ra
7. Gambar lambang TNI pinjam dari http://pusdikter.mil.id/tinymcpuk/gambar/Image/…/lambang.jpg
8. Gambar TNI pinjam dari http://www.tempo.co/…/078437…/Mabes-TNI-Mutasikan-18-Perwira
Tidak ada komentar:
Posting Komentar