Kamis, 12 Februari 2015

"Operation MERIAM BEE": Buruknya Sentuhan Akhir Penyelundupan Senjata Terbesar

Dalam postingan saya yang lain sempat disinggung juga mengenai keberhasilan upaya penyelundupan senjata yang dilakukan oleh Laksamana John Lie, (bisa dibaca disini: http://serpihan-sejarah.blogspot.com/2015/02/john-lie-smuggler-with-bible.html), kali ini saya coba olah & ringkas kejadian yang kurang lebih sama.

Postingan kali ini, dituturkan oleh, tanpa bermaksud menihilkan peranan tokoh lainnya, Suryono Darusman, ayah dari Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung RI era Presiden Gus Dur.

Suryono Darusman lahir di Payakumbuh tanggal 17 Agustus 1919. Berawal sebagai anggota misi militer Indonesia di Singapura dan Malaya (1945-1950), kemudian menjadi Kepala Bagian Politik Kantor Indonesia di Singapura. Karirnya berlanjut di lingkungan Departemen Luar Negeri RI sebagai Dubes RI untuk Mexico (1970-1973), Dubes RI untuk Uni Soviet (1973-1976), menjadi Direktur Jenderal Politik Deplu dan Dubes RI untuk Swiss (1979-1982). Beliau meninggal dunia tanggal 15 April 2000 dalam usia hampir 81 tahun.

Menyadari kemungkinan bahwa Belanda akan kembali menjajah negeri tercinta, baik di level pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah berusaha menyiapkan berbagai langkah yang dipandang perlu, termasuk menyelundupkan senjata guna memperkuat Angkatan Perang Republik Indonesia yang dilakukan secara mandiri oleh komando2 militer di Jawa dan Sumatera. Singapura adalah tujuan terdekat misi-misi yang dikirim ke luar negeri.

Modus operandi yang dilakukan saat itu adalah dengan mengirimkan sebuah kapal bermuatan hasil bumi yang berasal dari wilayah komando militer tertentu, biasanya adalah gula dan karet. Hasil penjualan komoditas tadi dibelikan senjata dan dibawa kembali ke wilayah komando asal komoditas tersebut. Salah satu misi itu berangkat dari Pangkalan IV Angkatan Laut RI di Tegal dimana Suryono Darusman Terlibat di dalamnya.

Beberapa hari sebelum Natal tahun 1945, 2 orang sipil yang direkrut oleh Komandan Pangkalan, Suryono Darusman dan R.E. Bajened (REB). Nama yang disebut terakhir adalah warga Indonesia keturunan Arab yang pernah bermukim di Singapura. Misi ini diberangkatkan dari Tegal menggunakan kapal kayu yang diberi nama “SAN GIANG” dengan membawa keluarga masing2 untuk menyamarkan misi. Saat itu terkumpul sekitar 100 ton gula pasir yang dikumpulkan oleh Pangkalan IV AL.

Perjalanan dari Tegal ke Singapura memakan waktu 2 minggu dengan kondisi yang mencemaskan dan membosankan. Setibanya di Singapura, mereka pindah ke sampan kecil menuju Raffles Bay, lalu menuju ke sebuah rumah di Oxley Road, dimana tim ditampung oleh keluarga Mohammad Alkaff, seorang keturunan Arab yang dikenal oleh REB. Setelah berhasil menjual gula pasir, REB mencari koneksi ke makelar2 penjual senjata. Di saat yang sama datang juga warga negara Indonesia lainnya bernama Izak Mahdi, yang diutus oleh Mr. A. Karim, Kepala Bank Negara Indonesia di Yogyakarta, untuk survey pembukaan hubungan dagang dengan Singapura. Izak Mahdi ini kebetulan juga ipar dari Suryono Darusman. Pada bulan Juli 1946 datang juga Kepala Intel AD, Bagdja Nitidiwirya yang diutus dari Mabes AD di Yogyakarta untuk meninjau misi2 yang beroperasi di luar negeri. Mereka bertiga kemudian bergabung untuk melaksanakan misi bersama2.

Tim kemudian berkenalan dengan seorang dokter yang mulanya dipercaya sebagai dokter keluarga tim, namanya dr. Samad. Karena sering bertemu dan bercerita mengenai sikon yang dialami di Indonesia terjalinlah hubungan persahabatan. Karena perasaan serumpun dan bersimpat atas perjuangan rakyat Indonesia, dr. Samad kemudian mengenalkan tim dengan seorang warga Cina-Singapura, Joe Loh, yang diketahui belakangan sebagai mantan pejuang bawah tanah pasukan rahasia Inggris, “Force 136”. Setelah terbangun saling pengertian dan kepercayaan, Joe Loh bersedia bergabung dengan misi Tim.

Dengan memanfaatkan jaringan internasionalnya selama PD2, Joe Loh membeberkan rencana Tim kepada orang2 pemegang kunci di Changi Naval Base yang berhasl diyakinkan untuk membantunya. Izak Mahdi ditugaskan mendampingi Joe Loh dan kerja sama keduanya menghasilkan permulaan usaha yang baik, yaitu deal pembelian senjata tanpa pembayaran uang muka.

Tahap berikutnya adalah mengirimkan senjata ke Tegal dan disini lagi peranan Joe Loh dengan cara meyakinkan seorang nahkoda kapal warga negara asing untuk membawa senjata ke wilayah RI namun dengan imbalan yang sangat tinggi, SGD 30 ribu. Karena keterbatasan dana yang didapat, Joe Loh lagi-lagi mau membantu dengan menggunakan sebagian besar dana pribadinya sebesar SGD 20 ribu, sedangkan sisanya SGD 10 ribu adalah hasil penjualan barang pribadi keluarga Tim.

Misi ini berasal dari nama kapal yang digunakan “MERIAM BEE” berbendera Singapura yang dinahkodai oleh Frazer, warga negara Skotlandia. Adapun Kepala Kamar Mesin warga Polandia, Kovalksi.

Pemuatan senjata dilakukan oleh tawanan2 eks tentara Jepang pada akhir bulan September 1946 dan berlangsung hingga 10 jam. Keberangkatan “MERIAM BEE” dari Naval Base telah diatur oleh orang2 yang tidak dikenal Tim, dengan muatan 1.800 pucuk senapan Lee Enfield, 6 buah meriam anti-aircraft Oerlikon, seragam militer, obat2an, dsb, yang diperkirakan cukup untuk melengkapi satu resimen tentara. Yang ditugaskan untuk ikut mengawal adalah Bagdja Nitidiwiria, Joe Loh dan Suryono Darusman, sementara Izak Mahdi tetap tinggal di Singapura.

Dikisahkan, kapal “MERIAM BEE” berlayar melintasi Bangka-Belitung, kemudian menyusuri perairan Kalimantan. Beberapa kali memang terlihat kapal patroli Belanda tapi tidak sampai terjadi insiden hingga akhirnya kapal berhasil mencapai perairan Tegal pada 5 Oktober 1946. Tim dijemput oleh Mayor (L) Soenar Soerapoetera, didampingi Kapten Langkay dan perwira KKO Ali Sadikin. Malamnya, Suryono diperintahkan mendampingi Joe Loh ke Yogyakarta untuk menghadap Presiden Soekarno, sementara Bagdja melapor ke atasannya, perwira AD di Mabes.

Di Yogyakarta, Suryono dan Joe Loh diantar Kolonel Darwis Djamin menghadap Presiden Soekarno, yang memberikan ucapan selamat atas keberhasilan misi yang dinilai sebagai usaha penyelundupan senjata terbesar sejak revolusi dimulai.

Terhadap Joe Loh sebagai perwakilan dari pihak penjual senjata, Presiden Soekarno menawarkan 3 alternatif pembayarannya: barter dengan gula pasir (ini yang dipilih), barter dengan perhiasan hasil rampasan dari tentara Jepang atau dengan candu yang berasal dari pemerintah Hindia-Belanda.

Namun ternyata buntut perjalanan misi tidak sempurna. Pada masa itu suplai gula ke Singapura sedang masif sehingga stok banyak menumpuk yang menyebabkan harga turun drastis. Penjualan 500 ton yang diharapkan bisa mendapatkan USD 350 ribu terjual jauh di bawah harga. Berbagai upaya dilakukan oleh anggota tim tapi tidak berhasil sementara penjual senjata yang menagih pembayaran sudah mulai hilang kepercayaan. Dalam hal ini reputasi Joe Loh dipertaruhkan. Sikon revolusi memang membuat roda pemerintahan tidak berjalan normal sehingga penanganan ekses misi “MERIAM BEE” tidak cukup jelas. Hal ini membuat kesuksesan yang sempat diraih misi ini lenyap dari ingatan orang.

Adapun Joe Loh mengalami nasib yang memprihatinkan demi mempertaruhkan reputasi pribadinya terhadap rekan2nya yang memasok persenjataan tapi usahanya gagal total. Suryono terakhir kali bertemu Joe Loh pada tahun 1952 dengan lirih ia bilang “Rupanya alam pun ikut memusuhi saya...”. Tak lama kemudian Joe Loh meninggal dunia dalam kondisi yang mengenaskan.

Buntut misi “MERIAM BEE” belum selesai, entah apa penyebab pastinya, sebagian salinan dokumen2 rahasia jatuh ke tangan Belanda termasuk kegiatan2 warga Indonesia yang ada di Singapura. Hal ini menyebabkan Suryono dan Bagdja dipanggil Criminal Investigation Department Singapura. Pada saat pemeriksaan, kepada keduanya diperlihatkan salinan dokumen yang berisi laporan aktivitas Tim selama di Singapura sejak tahun 1946. Atas upaya dari Mr. Utoyo Ramelan, Kepala Indonesian Office di Singapura, Suryono dan Bagdja akhirnya berhasil meninggalkan Singapura.


Sumber:

"Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar Jaman Singapura 1945-1950"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar