Rabu, 11 Februari 2015

Mengenal Latar Belakang Gerakan PRRI

Tulisan ini tidak menganalisa mengenai status PRRI/Permesta, apakah suatu pemberontakan atau bukan, tapi lebih kepada hal2 yang melatarbelakangi terjadinya gerakan PRRI/Permesta yang sudah dikompilasi & ditulis seringkas mungkin.

(Catatan: sejauh ini baru ada 1 buku karya penulis lokal yang membahas masalah ini tapi kesimpulannya masih mengambang & belum konklusif, yaitu "PRRI: Pemberontakan atau Bukan?", Syamdani)

Beberapa Faktor Penyebab

Beberapa studi mengenai penyebab PRRI/Permesta umumnya semua bermuara pada ketidakpuasan rakyat atau pimpinan di luar Jawa (Daerah) terhadap penyelenggaraan pemerintahan (Pusat) yang dilakukan para pemimpin RI karena dirasakan terlalu sentralistis & berorientasi Jawa. Sementara sebaliknya, Pusat menganggap bahwa pendapatan Daerah diperuntukkan bagi kepentingan nasional. Pergolakan seperti ini muncul pertama kali di Sumatera pada pertengahan 1950.

Kebijakan Kabinet ketika dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo, lebih mementingkan politik luar negeri dan penggalangan massa politik lewat dropping pegawai dari pusat ke daerah2. Hal yang disebut terakhir berdampak pada terpinggirkannya putra2 daerah untuk tampil membangun daerahnya sendiri. Jenderal Nasution sebenarnya juga cukup risau dengan kenyataan bahwa di Sumatera Tengah jabatan gubernur, residen, jaksa dan kepala polisi semuanya dari Jawa, kecuali pimpinan militer yang asli daerahnya.

Kehancuran sistem perekonomian Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1929 dan berlanjut saat pecahnya revolusi. Setelah penyerahan kedaulatan, pernah diusahakan beberapa upaya perbaikan, misalnya:

- Rencana Urgensi Perekonomian, pada Kabinet Natsir (1951)
- Biro Perancang Negara, pada Kabinet Sukiman (1952)
- Garis-Garis Besar Rancangan Pembangunan Lima Tahun 1950 – 1960

Namun sejak 1953 haluan politik dinilai tidak kondusif bagi pembangunan ekonomi di daerah. Hal ini ditandai dengan penyalahgunaan wewenang pemerintah pusat dalam penggunaan sumber devisa, pemberian ijin atau fasilitias istimewa kepada anggota partai penyokongya dan birokrasi yang berbelit2. Hal ini berimbas, salah satunya, pada kesejahteraan prajurit TNI yang membuat pimpinan2 militer di daerah kecewa. Maka mereka menempuh jalan sendiri2 dalam menghimpun dana, yaitu melakukan perdagangan tanpa prosedur yang seharusnya. Oleh pemerintah pusat kegiatan para petinggi militer di daerah itu disebut “barter”.

Ketidakpuasan di daerah2 ini diperburuk dengan kondisi internal tentara, khususnya AD, yang tidak kompak & bisa dibilang terpecah belah. Malah menurut 1 studi menilai pemberontakan tidak akan terjadi jika AD tetap bersatu (lihat "Keterlibatan Australia Dalam Pemberontakan PRRI/Permesta). Perpecahan di tubuh AD ini ditandai dengan peristiwa 17 Oktober 1952 dimana, menurut 1 versi, pimpinan AD mengajukan petisi kepada Presiden Soekarno untuk membubarkan Parlemen. Tindakan ini mendapat kecaman dari internal AD yang kontra 17 Oktober 1952 yang berbuntut pada diberhentikannya Mayjen Nasution dari jabatan KSAD. Masalah ini berbuntut panjang & menjadi salah 1 sebab yang mendorong perwira2 di Daerah ikut serta dalam PRRI/Permesta.

Faktor lain adalah perkembangan politik dalam negeri dimana Pusat mengambil kebijakan "mengampuni" PKI & memberikan kesempatan berkembang biak di Indonesia. Hasilnya, PKI masuk dalam 4 besar parpol di Pemilu 1955.

Secara ringkas oleh R.Z. Leirissa ditulis dalam bukunya “PRRI/Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis”, ada 4 penyebab menjelang pergolakan, yaitu: (1) Gagalnya Sistem Politik; (2) Gagalnya Pembangunan Ekonomi; (3) Ancaman Komunisme di Indonesia; dan (4) Kesenjangan Internal Angkatan Darat.

Intervensi Asing

Konstelasi ini pastinya tidak luput dari pengamatan AS sebagai kekuatan utama dari blok Barat (kapitalis) kontra blok Timur (komunis) yang sedang berebut pengaruh dari negara2 Asia-Afrika, termasuk Indonesia. Apalagi PKI semakin menancapkan pengaruhnya. AS dan sekutunya merasa khawatir dengan masa depan Indonesia. Hal ini dipandang oleh banyak pengamat sebagai pintu masuk keterlibatan asing terhadap PRRI/Permesta.

Sikap Menlu AS saat itu, John Foster Dulles, sangat tegas & jelas, "...siapa yang tidak berpihak kepada AS adalah musuh AS!" Karenanya, AS akan mendukung bahkan memberikan bantuannya kepada mereka yang melawan komunis di Indonesia (PKI) yang mendapat angin dari Pusat. Hal inilah yang juga memberikan dorongan terjadinya peristiwa PRRI/Permesta.

Detil mengenai analisis keterlibatan AS dijelaskan oleh Audrey R. Kahin & George McT. Kahin di bukunya "Subversi Sebagai Politik Luar Negeri", mulai Bab 3, halaman 67. Misalnya dijelaskan bahwa pada bulan Oktober 1957 CIA menawarkan bantuan keuangan & senjata kepada Kolonel M. Simbolon. Bahkan pesawat amfibi Catalina tercatat pernah mendarat di Danau Singkarak untuk keperluan ini, termasuk pengangkutan personil PRRI dengan kapal selam ke luar negeri untuk memperoleh latihan di Singapura, Thailand & Malaya.

Dalam suatu seminar di Pusat Kajian Wilayah Amerika, Kampus UI Depok, tanggal 21 April 1998, dalam rangka 50 tahun hubungan Indonesia-AS, Kolonel Ventje Sumual mengakui bahwa para pimpinan Permesta telah mengadakan hubungan dengan pihak AS malah ia katakan:

"Sayalah yang mengadakan hubungan...sebagai orang yang bertekad melakukan perlawanan bersenjata melawan Pusat sesuai kesepakatan Sungai Dareh"

Jadi cukup jelas bahwa AS & Inggris mengadakan intervensi dengan membantu pemberontakan tersebut.
Peristiwa Cikini.

Pada tanggal 10 s/d 13 September 1957 sebenarnya telah diupayakan musyawarah nasional oleh PM Djuanda dengan mengundang semua stakeholders termasuk perwira2 pembangkang. Dalam acara ini sempat dibentuk Panitia Tujuh yang menilai perwira2 pembangkang. Sebulan kemudian diadakan musyawarah pembangunan nasional tapi kurang membawa hasil.

Di tengah upaya tersebut, pada tanggal 30 Nopember 1957 terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno yang terkenal dengan nama Peristiwa Cikini. Efek dari peristiwa ini semakin memperburuk hubungan antara Pusat & Daerah karena Soekarno menduga upaya tersebut didalangi oleh perwira2 pembangkang.

Akibatnya, para perwira pembangkang yang dituduh oleh Pusat mengadakan serangkain pertemuan, di antaranya yang krusial adalah Pertemuan Sungai Dareh pada 9 & 10 Desember 1957, yang mempersatukan daerah2 yang sedang bergejolak.

Hasil dari serangkaian pertemuan ini adalah saat diumumkannya Piagam Perjuangan pada tanggal 10 Pebruari 1958 jam 10.00 di Padang oleh Ketua Dewan Perjuangan, Kolonel Ahmad Hussein, yang isinya kurang lebih mengultimatum Presiden untuk mengambil kembali mandat dari Kabinet Djuanda dalam waktu 5 x 24 jam.

Pusat kemudian menindaklanjuti tuntutan Daerah dengan mengadakan sidang kabinet pada 11 Pebruari 1958 yang isinya menolak ultimatum Dewan Perjuangan.

Penolakan dari Pemerintah Pusat direspon dengan membentuk dan mengumumkan Kabinet PRRI pada 15 Pebruari 1958.

Presiden Soekarno yang baru tiba dalam lawatan ke luar negeri memerintahkan tindakan tegas terhadap penyelewengan yang diumumkan PRRI.


Sumber:

1. "PRRI: Pemberontakan atau Bukan?", Syamdani

2. "Subversi Sebagai Politik Luar Negeri", Audrey R. Kahin & George McT. Kahin

3. "PRRI/Permesta - Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis”, R.Z. Leirissa

4. "Di Bawah Bayang2 AS - Keterlibatan AS Dalam Pemberontakan PRRI/Permesta”, Boogie Wibowo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar