Rabu, 11 Februari 2015

Ratu Adil, Apa dan Mengapa?

Selama ini kita sering mendengar tentang berita yang menyebutkan kedatangan "Ratu Adil". Sebagian dari kita mungkin ada yang menilai "Ratu Adil" sebagai mitos. Apakah demikian semata adanya? Dalam arti, apakah "Ratu Adil" tidak bisa dilihat dari aspek keilmuan lain?

Dari kata yang disematkannya, "mitos" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka berarti cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, mengandung hal-hal yang dianggap ajaib dan umumnya ditokohi oleh para dewa.

Sedangkan "Ratu Adil", seperti dikutip dari "Enslikopedi Nasional Indonesia, Jilid 14" (B. Setiawan) oleh Dwi Eriska Agustin dalam skripsi yang berjudul "Pengaruh Mitos Ratu Adil Dalam Perang Jawa" adalah sebutan untuk tokoh kharismatis, "pesuruh Tuhan" yang memimpin gerakan dalam menentang berbagai perubahan sosial sebagai akibat penetrasi pemerintahan kolonial yang semakin kuat.

Menurut Prof DR H Mohammad Rasyidi harapan akan datangnya seorang "juru selamat" merupakan gejala kemanusian yang umum, karena orang yang berada dalam penderitaan atau tekanan yang tak tertahankan, akan mengharapkan datangnya seseorang yang bisa membebaskannya dari penderitaan itu.

Harus diakui, masih banyak masyarakat kita percaya, khususnya di kalangan marginal, bahwa Ratu Adil akan datang atas nama Tuhan untuk menghukum orang-orang Jahat. Di masyarakat Jawa hal ini telah tumbuh & terpelihara setidaknya sejak abad ke 12 yang dikenal dengan "Ramalan Jayabaya" (Raja Kediri).

Namun demikian, ternyata konsep "Ratu Adil" tidak melulu urusan mitos, tapi dapat dipelajari sebagai bagian dari ilmu pengetahuan di bidang sejarah. Salah seorang pakar historiografi Indonesia yang menjadikan "Ratu Adil" sebagai salah satu karya terbesarnya adalah Prof. Sartono Kartodirdjo.

Mengutip dari buku "100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia", Sartono dikenal sebagai pelopor penulisan sejarah dari sudut pandang rakyat kecill. Jika sebelumnya, sejarah adalah milik penguasa (dari zaman kerajaan hingga zaman republik) maka Sartono membalikkan kebiasaan tersebut. Ia menulis sejarah dari persepsi wong cilik. Justru karena itulah, hasil karyanya memiliki banyak keistimewaan. Sartono mengulas secara mendalam Gerakan Ratu Adil (millenarianisme) atau sering juga disebut gerakan Juru Selamat (mesianisme) atau gerakan Pribumi (nativisme) atau Kenabian (prophetisme) atau Penghidupan Kembali (Revivalisme), sebagai gerakan keagamaan yang menantikan datangnya seorang Ju­ru Selamat, Imam Mahdi, atau Mesias; Ratu yang akan membawa kebahagiaan dan kemakmuran seperti pada masa lampau. Disebut gerakan keagamaan karena banyak gerakan sosial (termasuk kerusuhan, pemberontakan & sektarianisme) cenderung berhubungan dengan gerakan2 yang diilhami oleh agama atau menggunakan cara2 agama untuk mewujudkan tujuan2 gaib mereka. Pada umumnya gerakan sosial tersebut mempunyai segi2 yang bercorak keagamaan.

Oleh Sartono, Pralambang Jayabaya (untuk menyebut Ramalan Jayabaya), sebagai suatu mesianisme tampak dengan jelas dalam fakta2 historis, yang disebut sebagai huru-hara atau kerusuhan. Sebagai sebuah gerakan, fakta2 itu bermotifkan kepercayaan kepada kedatangan Ratu Adil.

Contoh2 peristiwa berdasarkan kajian sejarah Sartono yang tercatat di dalam bukunya antara lain:

- Peristiwa Mangkuwijaya di Klaten pada1865
- Peristiwa Nyi Aciah, di Malangbong (1870)
- Peristiwa Nurhakim (1870)
- Gerakan Amat Ngaisa dan/atau Gerakan Kobra (1871)
- Gerakan Mas Malangyuda dari Rajawana Kidul (1877)
- Kasus Nanggulan oleh Sukradana (1878)
- Peristiwa Imam Sujana (1886)
- Pemberontakan Srikaton di Cilegon (1888)
- Peristiwa Jasmani (1888)
- Peristiwa Tegalreja oleh Dulmadjid (1889)
- Kasus Pulung, Srikaton & Jalegong (1904)
- Gerakan Imam Buntaran (1907)
- Peristiwa Tangerang (1924)
- Peristiwa Srandakan oleh Kramaseja (1924)
- Peristiwa Tambakmerang oleh Wirasenjaya (1935)

Oleh Sartono, ditarik kesimpulan dari peristiwa2 di atas yaitu terdapat beberapa ciri umum yang dapat dikemukakan, yaitu: messianistic, millenaristic, nativistic, segi2 ramalan, ide tentang perang suci, kebencian terhadap apa saja yang berbau asing, magico-mysticism & pujaan terhadap nenek moyang.

Sebagai ideologi dari gerakan sosial, Ratu Adil atau mesianisme secara inheren memuat sifat radikal dan revolusioner. Kepercayaan mesianistis membangkitkan bahwa masyarakat adil dan makmur dapat dipastikan akan datang, maka wajar bila rakyat yang penuh keyakinan itu bersedia merealisasikan ramalan itu secara radikal dan revolusioner. Rakyat tidak segan menempuh jalan apapun, apalagi rakyat sudah menaruh loyalitas total pada sang Ratu Adil, sehingga jika perlu mengadakan perjuangan dengan mempertaruhkan hidupnya.
Sartono juga menyebut Perang Diponegoro (1825-1830) adalah salah satu gerakan mesianistis yang tertua yang pernah terjadi di Jawa.

Dalam sejarahnya, gerakan Ratu Adil ini tidak lepas juga dari propaganda politik dari pihak2 yang berkepentingan.

Kita tentu masih ingat Peristiwa APRA yang diotaki & digerakkan oleh Westerling. Seorang Westerling pun memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya, oleh karenanya ia menggunakan nama "Ratu Adil" sebagai embel2 gerakannya untuk menarik minat massa.

Adanya berbagai ciri mengenai Ratu Adil tidak mudah menunjuk sosok manusia untuk dijadikan atau dianggap sebagai Ratu Adil, sehingga muncul dugaan & anggapan terhadap berbagai macam sosok manusia yang diklaim sebagai Ratu Adil oleh golongan tertentu apabila yang bersangkutan merupakan sosok yang memiliki kharisma tinggi.

Munculnya H.O.S Cokro Aminoto, Ir. Sukarno, Soeharto, Gus Dur dan Megawati dalam sejarah Indonesia juga dipandang sebagai bukti rakyat mempercayai tokoh tersebut hadir sebagai sang Ratu Adil sehingga dalam ruang geraknya mendapatkan dukungan yang luar biasa dari rakyat.

Dalam konteks politik kekinian, isu Ratu Adil biasanya selalu muncul menjelang pemilihan umum, baca misalnya:

http://m.tribunnews.com/…/petani-jember-sebut-jokowi-ratu-a…

Untuk masalah ini menurut Sartono, memberikan watak politik atau watak revolusioner pada setiap gerakan keagamaan adalah kekeliruan.

Menurut saya (TS), mungkin jika diskursus mengenai Ratu Adil bermuatan politis atau dibatasi hanya pada urusan politik, maka itulah mitos Ratu Adil yang sebenarnya.

Mendiang Budayawan W.S. Rendra dalam banyak forum perbincangan pernah menyinggung hal ini:

"Sudahlah Ratu Adil tak ada. Dia tak akan datang. Lagipula kita tidak butuh Ratu Adil, kita hanya butuh hukum yang adil!"

Impian akan datangnya Ratu Adil, kata dia, merupakan impian yang muncul akibat kuatnya represi sehingga keadilan dan kesejahteraan di masyarakat yang menghilang. Suasana terasa sumpek karena hanya berisi keculasan. Budaya dan sistem sosial terasa tak berguna karena hanya menyajian kerendahan selera.

Jadi, masih percaya Ratu Adil itu hanya mitos belaka?


Sumber:

1. "Ratu Adil", Sartono Kartodirdjo

2. "Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia", Sartono Kartodirdjo

3. "Pengaruh Mitos Ratu Adil Dalam Perang Jawa", Dwi Eriska Agustin

4. http://m.republika.co.id/…/n6j7k319-di-bawah-bayang-ratu-ad…

5. http://www.filsafat-uin-suka.com/…/sosok-ratu-adil-dalam-ra…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar