Kamis, 12 Februari 2015

Dinas Intelijen Politik Hindia-Belanda (PID atau ARD)

Sejak diberlakukannya kebijakan baru terhadap negeri jajahan Hindia-Belanda yang dikenal dengan Politik Etis (Ethische Politiek), pergerakan sosial politik dalam masyarakat pribumi yang mengkristal dalam gerakan yang radikal tampak semakin nyata sebagai sebuah ancaman di mata pemerintah kolonial. Oleh karenanya, muncul gagasan untuk mengawasi setiap gerakan dengan ketat guna menjaga keamanan dan stabilitas Hindia-Belanda.

Untuk melaksanakan gagasan tersebut dibentuklah Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau Dinas Intelijen Politik Hindia-Belanda pada 6 Mei 1916 oleh Gubernur Jenderal Graaf J.P. van Limburg Stirum (1916-1921). Dinas ini bertugas mengumpulkan setiap informasi tentang kondisi pergerakan nasional di Hindia-Belanda sebagai dasar tindakan terhadap tokoh2 pergerakan, jika diperlukan.

Padahal, tumbuhnya sikap radikal semata-mata sebagai reaksi kepada sikap dan tindakan pemerintah kolonial yang bertentangan dengan Politik Etis yang dicanangkan sesuai Pidato Kenegaraan Ratu Belanda pada September 1901 tentang “kewajiban yang luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat di Hindia-Belanda”.

Pada masa Gubernur Jenderal sebelumnya, Idenburg pernah dibuat kebijakan yang mengawasi ketat organsisasi2 atau badan2 pergerakan atau partai2 di Hindia-Belanda agar tidak berkembang menjadi gerakan politik subversif. Sementara Gubernur Jenderal van Limburg Stirum pandai mengambil hati kaum terpelajar karena pandangannya yang progresif dan memberikan kesempatan kepada organisasi kebangsaan untuk berkembang. Naiknya van Limburg Stirum yang liberal sebagai Gubernur Jenderal menggantikan Idenburg yang konservatif, membuat ruang gerak radikalisasi semakin meluas.

Kedatangan Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet yang kemudian membentuk Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) pada 9 Mei 1914 di Surabaya turut berkontribusi perkembangan radikalisme. Terlepas dari sikap liberal van Limburg Stirum, tapi radikalisme yang semakin berkembang tetap membuat pemerintah kolonial cemas sehingga mencari cara untuk menjaga stabilitas keamanan di Hindia-Belanda, sehingga dibentuklan PID.

Ide pembentukan organisasi ini sebenarnya telah ada sejak tahun 1914 dengan nama Kantoor Inlichtingen yang saat itu berada di bawah komando tentara Hindia-Belanda. Tujuan organisasi ini untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi tentang aktivitas agen Jepang di Hindia-Belanda.

PID ditempatkan di bawah Jaksa Agung (Procureur-General) dan sebagai pimpinannya, Gubernur Jenderal mengangkat W. Muurling, mantan kapten staf umum KNIL. Mekanisme kerja PID berhubungan erat dengan beberapa dinas penting Hindia-Belanda seperti Adviseur voor Inlandsche Zaken en Arabische Zaken (Penasehat Urusan2 Pribumi dan Arab) dan Kantoor voor Chineesche Zaken (Kantor Urusan2 Cina).

Kantor PID tersebar di beberapa kota besar saat itu, Batavia, Bandung, Semarang dan Surabaya. PID membuat laporan berkala setiap bulan atau triwulan yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal atau pejabat tinggi Hindia-Belanda.

Mengenai tugas PID, digambarkan oleh P.J.A. Idenburg, sebagai berikut:

“PID bukan saja bertugas untuk mengumpulkan bahan2 informasi politik yang penting mengenai perorangan, perkumpulan, gerakan dsb, tetapi juga memelihara tugas harian pengamatan terhadap kelakuan tokoh2 dan organisasi2 politik aktif dan juga mengawasi ucapan2 di depan umum dalam rapat2. Apabila batas2 yang secara hukum diijinkan terlampaui, maka dinas kepolisian ini harus bertindak, seringkali dengan peringatan, tetapi jika perlu dengan tindakan yang lebih jauh”

PID ini akhirnya juga menjadi saluran baru bagi pemerintahan kolonial untuk mendapatkan informasi mengenai sikon politik masyarakat pribumi dan tidak lagi mengandalkan sumber informasi dari Pangreh Praja.

Ternyata umur PID ini tidak berusia lama, seiring dengan berakhirnya Perang Dunia 1, Muurling merekomendasikan pembubaran dinas tersebut pada Nopember 1918. PID secara resmi dibubarkan pada 2 April 1919 dan fungsinya dialihkan ke intelijen militer. Yang menarik adalah bahwa setelah pembubaran PID, nama dinas ini justru semakin popular dan angker.

Pasca pembubaran PID kondisi di Hindia-Belanda justru semakin memburuk ditandai denan banyak terjadinya kerusuhan atau pergolakan. Pada masa ini tercatat pernah terjadi kerusuhan anti-Cina di Kudus, pemogokan petani di daerah Surakarta yang dipimpin oleh Haji Misbach, pemogokan buruh pabrik gula yang tergabung dalam Personeel Fabriek Bond (PFB), dsb.

Pada 25 Juli 1919, Wakil Jaksa Agung H.V. Monsanto memberikan masukan kepada van Limburg Stirum mengenai pentingnya pembentukan sebuah dinas intelijen.

Dalam pembukaan rapat Volksraad pada 1 September 1919, van Limburg Stirum mengumumkan akan menindak tegas gerakan yang melampaui batas, dan pada 24 September 1919 mendirikan sebuah dinas intelijen yang diberi nama Algemenee Recherche Dienst (ARD) atau Dinas Penyelidikan Umum. Dalam perjalanannya ARD ini terbukti sebagai kelanjutan dari PID dan memiliki cerita panjang.

Sebagai ketua ARD, ditunjuk seorang mantan Kepala Komisaris Kelas 1 Batavia, yaitu A.E. van der Lely. Pada Mei 1920 van der Lely dibantu oleh 2 pejabat khusus, yaitu seorang wakil kepala Eropa, B.R. van der Most mantan Komisaris Polisi Kelas 2 Semarang, dan seorang Wedana pribumi, Mohammad Jatim, yang sebelumnya adalah seksi Intelijen Politik Kepolisian kota Batavia. Dalam catatan sejarah, van der Lely memimpin ARD sejak 1919 s/d 1929 dengan deputi B.R. van der Most (1920-1929).

Oleh tokoh2 pergerakan nasional dan jika kita membaca buku2 yang membahas pergerakan nasional sebelum kemerdekaan, nama ARD ini tidak “ada” karena yang dikenali & ditulis adalah PID, padahal PID usianya tidak lama & sudah resmi dibubarkan sejak 1919. Diduga, pembubaran PID dan pendirian ARD sebagai gantinya memang sengaja dirahasiakan oleh pemerintah Hindia-Belanda saat itu.

Setelah van Limburg Stirum mengakhiri jabatannya pada 21 Maret 1921, posisi Gubernur Jenderal diisi oleh Dirk Fock (1921-1926), seorang yang reaksioner dan sering mengecam kebijakan van Limburg Stirum. Di tengah kelesuan perekonomian, Fock memberikan jaminan kepada investor yang ingin menanamkan modalnya di Jawa dengan menindak keras pergerakan nasional, terutama di bidang perburuhan. Dalam posisi inilah ARD digunakan sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial bertugas, salah satunya, mengawasi setiap aktivitas yang terjadi dalam arena Pergerakan Nasional. Sarekat Islam (SI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah musuh utama ARD karena kekuatan massanya & dinilai berpotensi mengganggu stabilitas keamanan negara.

Untuk menekan perkembangan organisasi atau tokoh yang dianggap radikal, pemerintah menggunakan Hak Luar Biasa dari Gubernur Jenderal (Exorbinante Rechten) yang oleh Tan Malaka digambarkan sebagai sebilah “golok” yang dapat ditusukkan kapan saja kepada seseorang yang dianggap musuh.

Salah satu strategi yang dijalani oleh ARD adalah mengeluarkan larangan mengadakan rapat umum (vergadering), kecuali dengan syarat2 ketat yang harus diajukan sebelumnya. Apabila masih ada organisasi melakukan rapat umum maka personil ARD dapat leluasa membubarkan pertemuan tersebut. Meski demikian rapat2 umum yang telah mendapatkan ijin pun tetap odengan ketat mulai dengan mencatat semua nama tamu yang datang dan mengecek kartu keanggotannya. Biasanya, para anggota SI menyiasati pertemuan tersebut dengan acara “selametan”.

Selain pengawasan terhadap organisasi2 dan tokoh2nya, ARD juga mengawasi penerbitan, media cetak atau media informasi lainnya, termasuk melakukan sensor atas koran2 yang terbit masa itu.

Beberapa tokoh2 pergerakan yang dipandang radikal oleh pemerintah Hindia-Belanda dan ditangkap ARD misalnya H. Misbach. Adapun Alimin dan Musso berhasil ditangkap oleh M. Visbeen, Asisten Komisaris Polisi Kota Batavia yang juga personel ARD.

Salah satu tokoh pergerakan yang mengkritisi ARD adalah M. Husni Thamrin, yang menurutnya tindakan ARD sudah melanggar hak-hak seseorang untuk berkumpul dan berorganisasi sebagaimana dijamin oleh undang-undang. Soekarno juga menceritakan pengalamannya diawasi secara ketat oleh ARD sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams di dalam buku “Penyambung Lidah Rakyat”, bahkan personil ARD sempat dikerjai oleh Soekarno. Dalam biografinya “Memoirs”, Hatta juga menuliskan pengalamannya diawasi ketat oleh personil ARD setelah kepulangannya ke Hindia-Belanda.

(Catatan: setahu saya, buku ini satu2nya sumber berbahasa Indonesia yang membahas PID/ARD tapi sayang buku yang saya baca ini tidak menjelaskan detil aktivitas dan riwayat akhir dari ARD & secara umum isinya lebih banyak bercerita tentang kiprah pergerakan nasional. Bisa dimaklumi karena mungkin keterbatasan informasi yang bisa diperoleh atau diakses seperti wanti2 dari Harry A. Poeze dalam Kata Pengantarnya)


Sumber:

"Memata-matai Kaum Pergerakan – Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916 – 1934”, Allan Akbar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar