Jumat, 13 Februari 2015

Tony Wen: Pahlawan Asal Bangka Yang Terlupakan

Tony Wen alias Boen Kim to, dilahirkan di Sungai Liat, Bangka, tahun 1911, dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya seorang Kepala Parit Bangka Biliton Tin Maatschapij di Belitung. Ia berperawakan ganteng, ramah, penampilannya rapih & tata bahasanya baik mencerminkan orang yang terpelajar.

Setelah mengenyam sekolah dasar di tempat kelahirannya, ia pergi ke Singapura untuk melanjutkan sekolah menengah. Setelah lulus SMA, ia kuliah ke Wu Jiang University, Shanghai, dan setelah itu kuliah Liang Nan University, Guangzhou.

Setelah pulang ke Hindia-Belanda, Wen pernah mengajar menjadi guru olahraga di sekolah Pa Hoa di Jakarta.

Pada masa pendudukan Jepang ia bekerja sebagai jurubahasa di kantor urusan Hoa Kiao (Kakyo Hanbu) salah satu bagian pusat intelijen Jepang (Sambu Beppan). Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, ia pindah ke Solo dan memimpin organisasi Barisan Pemberontak Tionghoa yang membantu menyediakan logistik bagi para pejuang di Solo dan melakukan barter hasil bumi dari daerah kekuasaan Republik dengan barang-barang di daerah kekuasaan Belanda. Menurut buku “Seratus Tahun Sekolah Pa Hoa (1901 – 2001)” yang ditulis oleh Sam Setyautama, inilah kiprah awal perjuangan Tony Wen. Ia juga terlibat sebagai komandan International Volunteer Brigade (IVB) di sekitar Magelang, Jawa Tengah, yang merupakan pasukan gabungan dari beragam kebangsaan, seperti Filipina, India, dan Tionghoa yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Keponakan Tony Wen, Amung Chandra Chen, menambahkan, Wen yang menikahi bibi dari Amung Chandra Chen, memiliki kedekatan khusus dengan Presiden Soekarno. Saat dibuang di Bangka, adalah keluarga Chen yang diminta melayani keperluan Bung Karno, mulai dari kiriman uang, baju, hingga cabut gigi, atas permintaan Tony Wen yang saat itu sedang berjuang di luar Indonesia.

Karena keahliannya saat di di Solo, ia dipercaya oleh Pemerintah RI yang membutuhkan dana perjuangan untuk menjual candu2 mentah yang diproduksi oleh pabrik2 candu milik pemerintah Hindia-Belanda. Kiprah ini dimulai dengan menjual 22 ton candu mentah pada tahun 1948 dari pabrik candu di Salemba di gang Opium.

Untuk diketahui, pada masa2 revolusi perjuangan, Pemerintah Indonesia yang perekonomiannya sekarat memang sangat membutuhkan dana, di antaranya untuk operasional kantor2 perwakilan Indonesia di luar negeri yang dibuka di antaranya di India di India, Singapura, Inggris dan Thailand, pada tahun 1948. Kabinet M. Hatta ketika itu menyetujui usulan Menteri Keuangan saat itu A.A. Maramis, untuk menjual candu ke luar negeri. Koordinator tim yang ditunjuk adalah Mukarto Notowidagdo dengan pelaksana Tony Wen, dibantu oleh Karkono Komajaya dan diawasi oleh Soebeno Sosropoetro.

Wen kemudian menghubungi temannya di Singapura yang memiliki jaringan candu, Lie Kwet Tjien. Operasi itu dilaksanakan tanggal 7 Maret 1948 dengan mengangkut ½ ton candu dari pantai Popoh di selatan Kediri, dengan melintasi pantai selatan Jawa ke Selat Lombok untuk menghindari patroli kapal Belanda, dan tiba di Singapura tanggal 13 Maret 1948.

Operasi lanjutan dilaksanan dengan bantuan Laksamana John Lie, pemilik nama asli Daniel Jahja Dharma, yang menggunakan pesawat amphibi Catalina yang dicarter dan berhasil melakukan 2x kiriman candu sebanyak 4 ton ke Singpura. Tapi kemudian operasi tersebut tercium oleh Belanda yang menyebabkan Tony Wen ditangkap polisi Inggris di Singapura.

Selepas masa penahanan, Wen masuk menjadi anggota PNI pada 1952 dan menjadi anggota DPR sejak 1954 s/d 1956 menggantikan kedudukan drs. Yap Tjwan Bing.

Setelah penyerahan kedaulatanpada 1948, Tony Wen diangkat menjadi anggota Komite Olimpiade Indonesia (KOI) pada 1950 dan ikut membela kepentingan kesebelasan nasional Indonesia di Asian Games I di New Delhi. Wen juga pernah mengabdi di Kementrian Luar Negeri sebagai Atase Kebudayaan di Australia semasa Menlu Mochtar Kusumaatmadja.

Tony Wen meninggal pada 30 Mei 1963 karena sakit dan jasadnya dimakamkan di pemakaman umum Menteng Pulo. Kini namanya diabadikan sebagai nama salah satu jalan (dulu Jalan Melintas) di kota Pangkal Pinang.


Sumber:

1. "Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran Sejak Nusantara Sampai Indonesia"

2.  http://www.pahoa.or.id/newsdetail.php?id=292

Tidak ada komentar:

Posting Komentar