Kamis, 12 Februari 2015

John Lie: The Smuggler With The Bible

Kisah heroik John Lie pernah diulas secara khusus di majalah Life edisi bulan September 1949 dengan judul “Guns-Bibles are Smuggled to Indonesia” yang ditulis oleh wartawan Roy Rowan dengan foto artikel kapten John Lie di ruang kemudi kapal sedang memegang Alkitab. Menurut Rowan, ada 2 Alkitab di dalam ruang kemudi dalam bahasa Inggris dan Belanda. Sedangkan biografi mengenai Laksaman John Lie sudah diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi” pada tahun 2008.

Terlahir dengan nama John Lie Tjeng Tjoan pada 9 Maret 1911, anak ke 2 dari seorang ayah bernama Lie Kae Tae dan ibu bernama Maryam Oei Tseng Nie ini memiliki 4 saudara laki2 dan 3 saudari perempuan. Jika dirunut ke atas, kakek John Lie dari ayahnya, Lie Eng Goan, masih keturunan dari keluarga Kyai Mojo, salah satu tokoh terkemuka dalam Babad Diponegoro.

Meski ayah John Lie seorang pengusaha, seperti pada umumnya warga Tionghoa ketika itu, tapi tak satu pun yang mengikuti jejak ayahnya, bahkan 7 anaknya menjadi PNS.

Saat usia 7 tahun, John Lie masuk sekolah dasar di Holland Chinese School (HCS) yang diperuntukkan bagi warga Tionghoa dengan kedudukan sosial tertentu. Sudah sejak kecil John Lie memang menyukai hal2 yang berhubungan dengan air sehingga bisa disebut masa itu adalah “dunia air”. Suatu ketika, di pelabuhan Manado ada kapal eskader milik tentara AL Kerajaan Belanda. John Lie nekad berenang ke kapal dan menaikinya seraya bilang “Nanti saya mau jadi kapten…suatu saat akan pimpin kapal begini…”

Ketika menginjak usia 17 tahun (catatan: ada juga yang menyebut usianya 15 tahun) di akhir tahun 1927, John Lie meninggalkan Manado atas kemauannya sendiri dan dengan modal bekal uang yang ia kumpulkan. Ia menumpang kapal milik KPM dan tiba di Batavia pada awal tahun 1928. Pada bulan Juli 1928, John Lie bekerja sempat bekerja sebagai buruh Pelabuhan sampai Oktober 1929.

Setelah mengikuti kursus navigasi selama 3 bulan di Batavia, pada bulan Nopember 1929, John Lie mulai bekerja di KPM sebagai Stuurman Vaart di kapal KM “SINGKARAK”, setelah itu bertugas di KM “VAN NORD”, dst (Catatan: di dalam buku “Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran” disebut sebagai Stuurman Vaart tapi di buku biografinya sebagai Klerk Muallim III). Pada bulan Pebruari 1942 ia bertugas di KM “TOSARI” dan sedang berada di pelabuhan Cilacap. Saat itu perang Jepang sudah terjadi, kapal membawa 400 ton karet semula hendak berlayar ke Australia tetapi berubah haluan menuju Colombo.

Ketika Jepang mendarat di Jawa, KM “TOSARI” sedang menuju Teluk Persia dan lego jangkar di pelabuhan milik Royal Navy dimana John Lie bergabung dalam Logistic Task Force Royal Navy yang melayani pasokan kapal2 sekutu yang tiba dari Australia. Semasa inilah John Lie banyak belajar meningkatkan keahlian militernya.

Tahun 1945 ketika bom atom dijatuhkan di 2 kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, para pelaut Indonesia ingin segera pulang ke Indonesia, tapi John Lie baru bisa pulang pada bulan Pebruari 1946. Saat singgah di Singapura, John Lie sempat mempelajari tehnik membersihkan ranjau laut oleh Royal Navy dan strategi gerilya laut di Selat Malaka.

Pada bulan April 1946 John Lie tiba di Tanjung Priok. Setelah mengumpulkan informasi, pada bulan Mei 1946 John Lie menemui pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) Hans Pandelaki dan Mohede di Jalan Cilacap, Menteng. John Lie diterima sebagai anggota KRIS Barisan Lautan & diberi surat pengantar untuk menghadap Mr. A.A. Maramis. Oleh Maramis, ia diberikan referensi untuk menghadap Kepala Staf ALRI Laksamana M. Pardi di Yogyakarta dengan menumpang kereta api. Di Karawang, ia justru sempat ditahan pejuang2 KRIS karena dianggap mata2 Belanda namun 2 hari kemudian dibebaskan dan selamat tiba di Yogyakarta.

Di Yogya, John Lie sempat bertemu sahabatnya, Willy Sumantri, yang bertugas di ALRI dan membantu mengatur pertemuan dengan Kasal. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh perwira intelijen saat itu, Mayor Martadinata, Mayor Singataruna dan Mayor Mangastowo, John Lie menjelaskan maksudnya. Setelah itu ia dihadapkan ke Kasal yang didampingi oleh Laksamana Nazir. Setelah menceritakan pengalamannya, Kasal bingung menawarkan pangkat apa ke John Lie mengingat pengalamannya sudah banyak. Tapi dijawab oleh John Lie bahwa ia datang bukan untuk mencari pangkat melainkan untuk berjuang di laut karena hanya itulah modal yang bisa ia berikan.

Setelah itu John Lie menerima surat dari Kapten Saheran berupa keputusan Kasal mengangkat John Lie sebagai Kelasi III. Saat itu banyak perwira yang meragukan ihwal pengetahuan kelautannya. Padahal John Lie pernah memperbaiki kekeliruan Mayor Martadinata saat memasang susunan warna dan bentuk bendera kelautan internasional.

Bulan Agustus 1946 pimpinan staf ALRI mengadakan pertemuan membahas sikon terakhir di Republik yang dipimpin oleh Kasal Laksamana M. Pardi, dan dihadiri oleh Laksamana Nazir, Kolonel Sumarno, Mayor Martadinata, Mayor Mangastowo, Mayor Singotaruno dan John Lie yang masih berpangkat Kelasi III.
Pimpinan ALRI menawarkan John Lie untuk bertugas di pangkalan besar di pantai utara Pulau Jawa tapi John Lie meminta ditempatkan di Cilacap karena dinilai strategis sebagai “pintu belakang” untuk keluar masuk gerilya laut dan alternatif jalur keluar komoditas ekspor gula dan karet untuk membiayai perjuangan RI.

John Lie akhirnya ditempatkan di Cilacap dengan tugas cukup berat, yaitu menjadi petugas nautika, membersihkan perairan dan pantai Segara Anakan dari rintangan pelayaran, menjadikan Segara Anakan tempat berlatih dan melatih personil ALRI.

Setibanya di Cilacap, John Lie melapor kepada perwira senior setempat dan memulai kerja sesuai penugasannya. Sejak Agustus 1946 sampai Nopember 1946 dengan metode yang ia diterapkan, John Lie berhasil membersihkan 5 ranjau laut, bangkai tongkang dan potongan2 kayu yang mengganggu alur pelayaran.


Bersambung...


Sumber:

1. "Biografi Laksamana Muda John Lie - Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi", M. Nursam

2."Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara Sampai Indonesia", Iwan Santosa

1 komentar:

  1. ntah kenapa saya suka membaca sekali artikel nasionalis dari pahlawan ber etnik Tiong Hwa, mungkin karena ketulusan mereka yang amat sangat.

    BalasHapus