Bertempat di Paleis op de Dam Amsterdam, Belanda, pada tanggal 27
Desember 1949 berlangsung “de formele souvereiniteits-overdracht” dari
Belanda, yang diwakili oleh Ratu Juliana, kepada Indonesia, yang
diwakili oleh Mohammad Hatta.
Oleh Rosihan Anwar, yang hadir selaku pimpinan redaksi harian Pedoman, digambarkan sedikit suasananya...
Upacara terkesan sangat sederhana jika dikaitkan dengan makna sejarah
yang terkandung dalam upacara tersebut yang menandakan berakhirnya suatu
era kolonialisme Belanda atas Indonesia. Pakaian yang dikenakan oleh
Ratu Juliana dan Pangeran Bernard pun tidak mencolok, sementara Wapres
Mohammad Hatta dan perwakilan BFO mengenakan jas colbert biasa berwarna
gelap, tidak ada “rokcostuum” (catatan: “rokkostuum” atau “suite”).
Pidato2 pun diucapkan dengan nada yang datar.
Saat yang sama di
Jakarta, juga dilakukan “bestuur overdracht” (catatan: “government
transfer”) dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.J. Lovink kepada
pemerintah Indonesia di Paleis Koningsplein (kini menjadi Istana
Merdeka). Suasananya digambarkan oleh Dr. J.G. De Beus yang saat itu
menjabat sebagai Kepala Dirvo (Directie Verre Oosten) Kemenlu Belanda di
Jakarta. Soekarno menolak hadir karena berpegang pada fakta bahwa
kemerdekaan Indonesia terjadi pada saat proklamasi 17 Agustus 1945.
Sebagai langkah kompromi, Wakil Tinggi Mahkota Belanda akan menyerahkan
pemerintahan ke Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku perwakilan Republik
Indonesia Serikat (RIS).
Sehari setelah “bestuur overdracht”,
Presiden Soekarno akan mengadakan “triomfale intoch” di Jakarta &
memasuki Istana Merdeka. Masalah sempat timbul, yaitu apakah wakil2
negara asing akan diundang mengingat keterbatasan akomodasi saat itu.
Hotel Des Indes yang pernah mendapat julukan “Mutiara dari Timur” sudah
merosot reputasinya. Toh, akhirnya diputuskan tetap mengundang wakil2
dari luar negeri, seperti Pote Sarasih dari Muangthai, seorang Senator
dari Pilipina, seorang Menteri dari India, Dubes Pakistan, dll.
Sekira jam 5 sore, masuklah Wakil Tinggi Mahkota Belanda dengan pakaian
seragam putih yang didisainnya sendiri beserta Sri Sultan Hamengkubuwono
IX dengan seragam Jenderal TNI. Setelah pertemuan dibuka,
penandatanganan naskah oleh kedua belah pihak & selanjutnya Lovink
mengucapkan pidato terakhirnya. Oleh De Beus, pidato Lovink tidak
seperti yang diharapkan saat misalnya “Gettysburg Address” oleh Presiden
Abraham Lincoln, atau pidato Jenderal MacArthur di atas kapal
“MISSOURI” saat kapitulasi Jepang, atau seperti pidato Multatuli di
depan Hoofden van Lebak yang di dalamnya diakui kekurangan2 Belanda.
Berbeda dengan pidato Sultan Yogya yang bermartabat dan meninggalkan
kesan mendalam bagi para hadirin.
Setelah penyerahan naskah
selesai, hadirin pindah ke halaman rumput di depan istana untuk upacara
penurunan bendera “rood-wit-blauw” dan menaikkan bendera merah putih,
momen yang dinilai menyayat hati orang Belanda. Menurut De Beus semua
orang Belanda yang hadir meneteskan air mata. Yang lebih menyakitkan
lagi buat orang2 Belanda adalah ketika rakyat Indonesia yang menyaksikan
di luar Istana Merdeka, mulai bersiul2 saat bendera Belanda diturunkan
namun serempak menyanyikan lagu Indonesia Raya saat bendera merah putih
dinaikkan serta bersorak gembira setelahnya.
Setelah upacara
selesai, Lovink memeriksa pasukan kehormatan Belanda dan Indonesia,
bersalaman dengan perwakilan Belanda & Indonesia, lalu segera menuju
mobil yang sudah disiapkan untuk membawanya ke Kemayoran dimana pesawat
KLM akan mengantarnya pulang ke Belanda.
Di Kemayoran, setelah
menaiki anak tangga paling atas sebelum masuk pintu pesawat, Lovink
membalikkan badan dan memberikan salam perpisahan yang terakhir kali.
Setelah pintu pesawat ditutup beberapa saat kemudian pesawat lepas
landas dan berakhirlah era kolonial bagi Indonesia.
Sumber:
1. "Musim Berganti, Sekilas Sejarah Indonesia 1925 - 1950", H. Rosihan Anwar
2. "Album Perjuangan Kemerdekaan 1945 - 1950, Dari Negara Kesatuan ke
Negara Kesatuan", Badan Pimpinan Harian Pusat Korps Cacad Veteran RI
Senin, 16 Februari 2015
Jumat, 13 Februari 2015
Prof. Dr. Nugroho Notosusanto & Kontroversi Seputar Pancasila
Pada tahun 1981, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto menulis buku kecil yang berjudul "Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara" yang diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Menurut Nugroho bahwa penggali2 utama Pancasila berdasarkan urutan kronologisnya adalah Mr. Mohammad Yamin, Prof. Mr. Soepomo dan Soekarno. Hal ini, menurut Nugroho, merujuk ke penjelasan yang diberikan oleh 3 tokoh tersebut masing2 untuk menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat mengenai dasar-dasar Indonesia Merdeka, yaitu pada tanggal:
- 29 Mei 1945 (Yamin)
- 31 Mei 1945 (Soepomo)
- 1 Juni 1945 (Bung Karno)
Berdasarkan bukti2 & penjelasan yang ditulis di dalam bukunya, Nugroho berkesimpulan bahwa Bung Karno bukanlah orang pertama & satu2nya yang mengajukan suatu konsep mengenai dasar2 Indonesia Merdeka.
Lebih lanjut dinyatakan pula oleh Nugroho bahwa yang lahir pada tanggal 1 Juni 1945 adalah suatu nama "Pancasila". Ini sama artinya Nugroho ingin mengatakan bahwa Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 hanya memberikan nama "Pancasila" tapi bukan orang pertama yang menggali atau mencetuskannya.
Nugroho juga menyatakan bahwa sila ke 2 Pancasila gagasan Soekarno (perikemanusiaan/internasionalisme) mudah diinterpretasikan sebagai internasionalismenya kaum komunis.
Berdasarkan hasil penelitian Nugroho inilah kemudian dalam Penataran2 P4 dan buku2 sejarah resmi pemerintah dimasukkan teori bahwa tanggal 1 Juni bukanlah hari lahirnya Pancasila. Tidak satu pun koleganya sesama sejarawan di masa itu yang mendukung kesimpulan ilmiah Nugroho bahkan mengkritiknya terang2an, sebut saja A. Surjomihardjo, Kuntowijoyo & Onghokham.
Mungkin inilah yang menyebabkan Nugroho mendapatkan stigma sejarawan abal2 karena kiprahnya yang menonjol & kontroversial dalam penulisan sejarah (versi) orba.
Jika kita merujuk ke buku "Kehormatan Bagi Yang Berhak, Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI" yang ditulis oleh Manai Sophiaan, di halaman 160 disebutkan bahwa setelah presiden Soekarno digulingkan, dalam pertemuan para Panglima Kodam se-Jawa di Yogyakarta tahun 1967 yang dikenal dengan "Tekad Yogya" muncul ide untuk "de-Sukarnoisasi".
Lalu bagaimana peran Nugroho jika dikaitkan dengan ide "de-Sukarnoisasi" tersebut? Memang belum diketahui dengan pasti apakah ide "de-Sukarnoisasi" tersebut adalah ide Nugroho, tapi yang pasti Nugroho sangat berperan selama periode "de-Sukarnoisasi" di era rezim orba dan salah satu perannya yang sangat menonjol adalah buku "Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara".
Nugroho pun bukan orang pertama yang membuat kontroversi seputar Pancasila, tapi ada orang pertama yang menyatakan hal serupa, yaitu Mr. A.G. Pringgodigdo. Beliau adalah mantan Wedana Purwokerto, Karesidenan Banyumas. Saat BPUPKI dibentuk, Priggodigdo ditunjuk sebagai Wakil Kepala Sekretariat yang melaksanakan tugas sehari-hari Sekretariat BPUPKI.
Pada tahun 1970 Pringgodigdo membuat paper berjudul "Sekitar Pancasila" yang intinya menyatakan bahwa tanggal 1 Juni 1945 bukanlah hari lahirnya Pancasila melainkan lahirnya pemakaian "Istilah Pancasila". Ini terjadi 2 tahun setelah presiden Soeharto menyampaikan pidato dalam peringatan Hari Lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1968:
"...Pancasila bukan milik seorang, bukan milik sesuatu golongan, bukan sekedar penemuan satu orang, melainkan benar2 mempunyai akar di dalam sejarah & batinnya seluruh rakyat Indonesia"
Salah satu tokoh yang pendapatnya dijadikan tinjauan oleh Priggodigdo adalah Ki Hajar Dewantoro, padahal menurut buku yang ditulis oleh Ki Hajar Dewantoro tahun 1950 dengan judul "Pancasila" dinyatakan bahwa Bung Karno tidak hanya sekedar penggali Pancasila, tetapi adalah pencipta Pancasila.
Jadi, kekisruhan atau kontroversi seputar siapa penggali atau pencipta Pancasila sebenarnya sudah terjadi sebelum diterbitkannya buku Nugroho Notosusanto.
Sumber:
1. "Dasar-Dasar Negara Indonesia Merdeka Versi Para Pendiri Negara", S. Silalahi, MA.
2. "Kontroversi & Rekonstruksi Sejarah", Slamet Sutrisno
Menurut Nugroho bahwa penggali2 utama Pancasila berdasarkan urutan kronologisnya adalah Mr. Mohammad Yamin, Prof. Mr. Soepomo dan Soekarno. Hal ini, menurut Nugroho, merujuk ke penjelasan yang diberikan oleh 3 tokoh tersebut masing2 untuk menjawab pertanyaan Ketua BPUPKI, Dr. Radjiman Wedyodiningrat mengenai dasar-dasar Indonesia Merdeka, yaitu pada tanggal:
- 29 Mei 1945 (Yamin)
- 31 Mei 1945 (Soepomo)
- 1 Juni 1945 (Bung Karno)
Berdasarkan bukti2 & penjelasan yang ditulis di dalam bukunya, Nugroho berkesimpulan bahwa Bung Karno bukanlah orang pertama & satu2nya yang mengajukan suatu konsep mengenai dasar2 Indonesia Merdeka.
Lebih lanjut dinyatakan pula oleh Nugroho bahwa yang lahir pada tanggal 1 Juni 1945 adalah suatu nama "Pancasila". Ini sama artinya Nugroho ingin mengatakan bahwa Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 hanya memberikan nama "Pancasila" tapi bukan orang pertama yang menggali atau mencetuskannya.
Nugroho juga menyatakan bahwa sila ke 2 Pancasila gagasan Soekarno (perikemanusiaan/internasionalisme) mudah diinterpretasikan sebagai internasionalismenya kaum komunis.
Berdasarkan hasil penelitian Nugroho inilah kemudian dalam Penataran2 P4 dan buku2 sejarah resmi pemerintah dimasukkan teori bahwa tanggal 1 Juni bukanlah hari lahirnya Pancasila. Tidak satu pun koleganya sesama sejarawan di masa itu yang mendukung kesimpulan ilmiah Nugroho bahkan mengkritiknya terang2an, sebut saja A. Surjomihardjo, Kuntowijoyo & Onghokham.
Mungkin inilah yang menyebabkan Nugroho mendapatkan stigma sejarawan abal2 karena kiprahnya yang menonjol & kontroversial dalam penulisan sejarah (versi) orba.
Jika kita merujuk ke buku "Kehormatan Bagi Yang Berhak, Bung Karno Tidak Terlibat G30S/PKI" yang ditulis oleh Manai Sophiaan, di halaman 160 disebutkan bahwa setelah presiden Soekarno digulingkan, dalam pertemuan para Panglima Kodam se-Jawa di Yogyakarta tahun 1967 yang dikenal dengan "Tekad Yogya" muncul ide untuk "de-Sukarnoisasi".
Lalu bagaimana peran Nugroho jika dikaitkan dengan ide "de-Sukarnoisasi" tersebut? Memang belum diketahui dengan pasti apakah ide "de-Sukarnoisasi" tersebut adalah ide Nugroho, tapi yang pasti Nugroho sangat berperan selama periode "de-Sukarnoisasi" di era rezim orba dan salah satu perannya yang sangat menonjol adalah buku "Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara".
Nugroho pun bukan orang pertama yang membuat kontroversi seputar Pancasila, tapi ada orang pertama yang menyatakan hal serupa, yaitu Mr. A.G. Pringgodigdo. Beliau adalah mantan Wedana Purwokerto, Karesidenan Banyumas. Saat BPUPKI dibentuk, Priggodigdo ditunjuk sebagai Wakil Kepala Sekretariat yang melaksanakan tugas sehari-hari Sekretariat BPUPKI.
Pada tahun 1970 Pringgodigdo membuat paper berjudul "Sekitar Pancasila" yang intinya menyatakan bahwa tanggal 1 Juni 1945 bukanlah hari lahirnya Pancasila melainkan lahirnya pemakaian "Istilah Pancasila". Ini terjadi 2 tahun setelah presiden Soeharto menyampaikan pidato dalam peringatan Hari Lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 1968:
"...Pancasila bukan milik seorang, bukan milik sesuatu golongan, bukan sekedar penemuan satu orang, melainkan benar2 mempunyai akar di dalam sejarah & batinnya seluruh rakyat Indonesia"
Salah satu tokoh yang pendapatnya dijadikan tinjauan oleh Priggodigdo adalah Ki Hajar Dewantoro, padahal menurut buku yang ditulis oleh Ki Hajar Dewantoro tahun 1950 dengan judul "Pancasila" dinyatakan bahwa Bung Karno tidak hanya sekedar penggali Pancasila, tetapi adalah pencipta Pancasila.
Jadi, kekisruhan atau kontroversi seputar siapa penggali atau pencipta Pancasila sebenarnya sudah terjadi sebelum diterbitkannya buku Nugroho Notosusanto.
Sumber:
1. "Dasar-Dasar Negara Indonesia Merdeka Versi Para Pendiri Negara", S. Silalahi, MA.
2. "Kontroversi & Rekonstruksi Sejarah", Slamet Sutrisno
Tony Wen: Pahlawan Asal Bangka Yang Terlupakan
Tony Wen alias Boen Kim to, dilahirkan di Sungai Liat, Bangka, tahun
1911, dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya seorang Kepala Parit
Bangka Biliton Tin Maatschapij di Belitung. Ia berperawakan ganteng, ramah, penampilannya rapih & tata bahasanya baik mencerminkan orang yang terpelajar.
Setelah mengenyam sekolah dasar di tempat kelahirannya, ia pergi ke Singapura untuk melanjutkan sekolah menengah. Setelah lulus SMA, ia kuliah ke Wu Jiang University, Shanghai, dan setelah itu kuliah Liang Nan University, Guangzhou.
Setelah pulang ke Hindia-Belanda, Wen pernah mengajar menjadi guru olahraga di sekolah Pa Hoa di Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang ia bekerja sebagai jurubahasa di kantor urusan Hoa Kiao (Kakyo Hanbu) salah satu bagian pusat intelijen Jepang (Sambu Beppan). Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, ia pindah ke Solo dan memimpin organisasi Barisan Pemberontak Tionghoa yang membantu menyediakan logistik bagi para pejuang di Solo dan melakukan barter hasil bumi dari daerah kekuasaan Republik dengan barang-barang di daerah kekuasaan Belanda. Menurut buku “Seratus Tahun Sekolah Pa Hoa (1901 – 2001)” yang ditulis oleh Sam Setyautama, inilah kiprah awal perjuangan Tony Wen. Ia juga terlibat sebagai komandan International Volunteer Brigade (IVB) di sekitar Magelang, Jawa Tengah, yang merupakan pasukan gabungan dari beragam kebangsaan, seperti Filipina, India, dan Tionghoa yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Keponakan Tony Wen, Amung Chandra Chen, menambahkan, Wen yang menikahi bibi dari Amung Chandra Chen, memiliki kedekatan khusus dengan Presiden Soekarno. Saat dibuang di Bangka, adalah keluarga Chen yang diminta melayani keperluan Bung Karno, mulai dari kiriman uang, baju, hingga cabut gigi, atas permintaan Tony Wen yang saat itu sedang berjuang di luar Indonesia.
Karena keahliannya saat di di Solo, ia dipercaya oleh Pemerintah RI yang membutuhkan dana perjuangan untuk menjual candu2 mentah yang diproduksi oleh pabrik2 candu milik pemerintah Hindia-Belanda. Kiprah ini dimulai dengan menjual 22 ton candu mentah pada tahun 1948 dari pabrik candu di Salemba di gang Opium.
Untuk diketahui, pada masa2 revolusi perjuangan, Pemerintah Indonesia yang perekonomiannya sekarat memang sangat membutuhkan dana, di antaranya untuk operasional kantor2 perwakilan Indonesia di luar negeri yang dibuka di antaranya di India di India, Singapura, Inggris dan Thailand, pada tahun 1948. Kabinet M. Hatta ketika itu menyetujui usulan Menteri Keuangan saat itu A.A. Maramis, untuk menjual candu ke luar negeri. Koordinator tim yang ditunjuk adalah Mukarto Notowidagdo dengan pelaksana Tony Wen, dibantu oleh Karkono Komajaya dan diawasi oleh Soebeno Sosropoetro.
Wen kemudian menghubungi temannya di Singapura yang memiliki jaringan candu, Lie Kwet Tjien. Operasi itu dilaksanakan tanggal 7 Maret 1948 dengan mengangkut ½ ton candu dari pantai Popoh di selatan Kediri, dengan melintasi pantai selatan Jawa ke Selat Lombok untuk menghindari patroli kapal Belanda, dan tiba di Singapura tanggal 13 Maret 1948.
Operasi lanjutan dilaksanan dengan bantuan Laksamana John Lie, pemilik nama asli Daniel Jahja Dharma, yang menggunakan pesawat amphibi Catalina yang dicarter dan berhasil melakukan 2x kiriman candu sebanyak 4 ton ke Singpura. Tapi kemudian operasi tersebut tercium oleh Belanda yang menyebabkan Tony Wen ditangkap polisi Inggris di Singapura.
Selepas masa penahanan, Wen masuk menjadi anggota PNI pada 1952 dan menjadi anggota DPR sejak 1954 s/d 1956 menggantikan kedudukan drs. Yap Tjwan Bing.
Setelah penyerahan kedaulatanpada 1948, Tony Wen diangkat menjadi anggota Komite Olimpiade Indonesia (KOI) pada 1950 dan ikut membela kepentingan kesebelasan nasional Indonesia di Asian Games I di New Delhi. Wen juga pernah mengabdi di Kementrian Luar Negeri sebagai Atase Kebudayaan di Australia semasa Menlu Mochtar Kusumaatmadja.
Tony Wen meninggal pada 30 Mei 1963 karena sakit dan jasadnya dimakamkan di pemakaman umum Menteng Pulo. Kini namanya diabadikan sebagai nama salah satu jalan (dulu Jalan Melintas) di kota Pangkal Pinang.
Sumber:
1. "Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran Sejak Nusantara Sampai Indonesia"
2. http://www.pahoa.or.id/newsdetail.php?id=292
Setelah mengenyam sekolah dasar di tempat kelahirannya, ia pergi ke Singapura untuk melanjutkan sekolah menengah. Setelah lulus SMA, ia kuliah ke Wu Jiang University, Shanghai, dan setelah itu kuliah Liang Nan University, Guangzhou.
Setelah pulang ke Hindia-Belanda, Wen pernah mengajar menjadi guru olahraga di sekolah Pa Hoa di Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang ia bekerja sebagai jurubahasa di kantor urusan Hoa Kiao (Kakyo Hanbu) salah satu bagian pusat intelijen Jepang (Sambu Beppan). Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, ia pindah ke Solo dan memimpin organisasi Barisan Pemberontak Tionghoa yang membantu menyediakan logistik bagi para pejuang di Solo dan melakukan barter hasil bumi dari daerah kekuasaan Republik dengan barang-barang di daerah kekuasaan Belanda. Menurut buku “Seratus Tahun Sekolah Pa Hoa (1901 – 2001)” yang ditulis oleh Sam Setyautama, inilah kiprah awal perjuangan Tony Wen. Ia juga terlibat sebagai komandan International Volunteer Brigade (IVB) di sekitar Magelang, Jawa Tengah, yang merupakan pasukan gabungan dari beragam kebangsaan, seperti Filipina, India, dan Tionghoa yang bersimpati pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Keponakan Tony Wen, Amung Chandra Chen, menambahkan, Wen yang menikahi bibi dari Amung Chandra Chen, memiliki kedekatan khusus dengan Presiden Soekarno. Saat dibuang di Bangka, adalah keluarga Chen yang diminta melayani keperluan Bung Karno, mulai dari kiriman uang, baju, hingga cabut gigi, atas permintaan Tony Wen yang saat itu sedang berjuang di luar Indonesia.
Karena keahliannya saat di di Solo, ia dipercaya oleh Pemerintah RI yang membutuhkan dana perjuangan untuk menjual candu2 mentah yang diproduksi oleh pabrik2 candu milik pemerintah Hindia-Belanda. Kiprah ini dimulai dengan menjual 22 ton candu mentah pada tahun 1948 dari pabrik candu di Salemba di gang Opium.
Untuk diketahui, pada masa2 revolusi perjuangan, Pemerintah Indonesia yang perekonomiannya sekarat memang sangat membutuhkan dana, di antaranya untuk operasional kantor2 perwakilan Indonesia di luar negeri yang dibuka di antaranya di India di India, Singapura, Inggris dan Thailand, pada tahun 1948. Kabinet M. Hatta ketika itu menyetujui usulan Menteri Keuangan saat itu A.A. Maramis, untuk menjual candu ke luar negeri. Koordinator tim yang ditunjuk adalah Mukarto Notowidagdo dengan pelaksana Tony Wen, dibantu oleh Karkono Komajaya dan diawasi oleh Soebeno Sosropoetro.
Wen kemudian menghubungi temannya di Singapura yang memiliki jaringan candu, Lie Kwet Tjien. Operasi itu dilaksanakan tanggal 7 Maret 1948 dengan mengangkut ½ ton candu dari pantai Popoh di selatan Kediri, dengan melintasi pantai selatan Jawa ke Selat Lombok untuk menghindari patroli kapal Belanda, dan tiba di Singapura tanggal 13 Maret 1948.
Operasi lanjutan dilaksanan dengan bantuan Laksamana John Lie, pemilik nama asli Daniel Jahja Dharma, yang menggunakan pesawat amphibi Catalina yang dicarter dan berhasil melakukan 2x kiriman candu sebanyak 4 ton ke Singpura. Tapi kemudian operasi tersebut tercium oleh Belanda yang menyebabkan Tony Wen ditangkap polisi Inggris di Singapura.
Selepas masa penahanan, Wen masuk menjadi anggota PNI pada 1952 dan menjadi anggota DPR sejak 1954 s/d 1956 menggantikan kedudukan drs. Yap Tjwan Bing.
Setelah penyerahan kedaulatanpada 1948, Tony Wen diangkat menjadi anggota Komite Olimpiade Indonesia (KOI) pada 1950 dan ikut membela kepentingan kesebelasan nasional Indonesia di Asian Games I di New Delhi. Wen juga pernah mengabdi di Kementrian Luar Negeri sebagai Atase Kebudayaan di Australia semasa Menlu Mochtar Kusumaatmadja.
Tony Wen meninggal pada 30 Mei 1963 karena sakit dan jasadnya dimakamkan di pemakaman umum Menteng Pulo. Kini namanya diabadikan sebagai nama salah satu jalan (dulu Jalan Melintas) di kota Pangkal Pinang.
Sumber:
1. "Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran Sejak Nusantara Sampai Indonesia"
2. http://www.pahoa.or.id/newsdetail.php?id=292
Kamis, 12 Februari 2015
"Operation MERIAM BEE": Buruknya Sentuhan Akhir Penyelundupan Senjata Terbesar
Dalam postingan saya yang lain sempat disinggung juga mengenai keberhasilan upaya
penyelundupan senjata yang dilakukan oleh Laksamana John Lie, (bisa
dibaca disini: http://serpihan-sejarah.blogspot.com/2015/02/john-lie-smuggler-with-bible.html), kali ini saya coba olah & ringkas kejadian yang kurang lebih sama.
Postingan kali ini, dituturkan oleh, tanpa bermaksud menihilkan peranan tokoh lainnya, Suryono Darusman, ayah dari Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung RI era Presiden Gus Dur.
Suryono Darusman lahir di Payakumbuh tanggal 17 Agustus 1919. Berawal sebagai anggota misi militer Indonesia di Singapura dan Malaya (1945-1950), kemudian menjadi Kepala Bagian Politik Kantor Indonesia di Singapura. Karirnya berlanjut di lingkungan Departemen Luar Negeri RI sebagai Dubes RI untuk Mexico (1970-1973), Dubes RI untuk Uni Soviet (1973-1976), menjadi Direktur Jenderal Politik Deplu dan Dubes RI untuk Swiss (1979-1982). Beliau meninggal dunia tanggal 15 April 2000 dalam usia hampir 81 tahun.
Menyadari kemungkinan bahwa Belanda akan kembali menjajah negeri tercinta, baik di level pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah berusaha menyiapkan berbagai langkah yang dipandang perlu, termasuk menyelundupkan senjata guna memperkuat Angkatan Perang Republik Indonesia yang dilakukan secara mandiri oleh komando2 militer di Jawa dan Sumatera. Singapura adalah tujuan terdekat misi-misi yang dikirim ke luar negeri.
Modus operandi yang dilakukan saat itu adalah dengan mengirimkan sebuah kapal bermuatan hasil bumi yang berasal dari wilayah komando militer tertentu, biasanya adalah gula dan karet. Hasil penjualan komoditas tadi dibelikan senjata dan dibawa kembali ke wilayah komando asal komoditas tersebut. Salah satu misi itu berangkat dari Pangkalan IV Angkatan Laut RI di Tegal dimana Suryono Darusman Terlibat di dalamnya.
Beberapa hari sebelum Natal tahun 1945, 2 orang sipil yang direkrut oleh Komandan Pangkalan, Suryono Darusman dan R.E. Bajened (REB). Nama yang disebut terakhir adalah warga Indonesia keturunan Arab yang pernah bermukim di Singapura. Misi ini diberangkatkan dari Tegal menggunakan kapal kayu yang diberi nama “SAN GIANG” dengan membawa keluarga masing2 untuk menyamarkan misi. Saat itu terkumpul sekitar 100 ton gula pasir yang dikumpulkan oleh Pangkalan IV AL.
Perjalanan dari Tegal ke Singapura memakan waktu 2 minggu dengan kondisi yang mencemaskan dan membosankan. Setibanya di Singapura, mereka pindah ke sampan kecil menuju Raffles Bay, lalu menuju ke sebuah rumah di Oxley Road, dimana tim ditampung oleh keluarga Mohammad Alkaff, seorang keturunan Arab yang dikenal oleh REB. Setelah berhasil menjual gula pasir, REB mencari koneksi ke makelar2 penjual senjata. Di saat yang sama datang juga warga negara Indonesia lainnya bernama Izak Mahdi, yang diutus oleh Mr. A. Karim, Kepala Bank Negara Indonesia di Yogyakarta, untuk survey pembukaan hubungan dagang dengan Singapura. Izak Mahdi ini kebetulan juga ipar dari Suryono Darusman. Pada bulan Juli 1946 datang juga Kepala Intel AD, Bagdja Nitidiwirya yang diutus dari Mabes AD di Yogyakarta untuk meninjau misi2 yang beroperasi di luar negeri. Mereka bertiga kemudian bergabung untuk melaksanakan misi bersama2.
Tim kemudian berkenalan dengan seorang dokter yang mulanya dipercaya sebagai dokter keluarga tim, namanya dr. Samad. Karena sering bertemu dan bercerita mengenai sikon yang dialami di Indonesia terjalinlah hubungan persahabatan. Karena perasaan serumpun dan bersimpat atas perjuangan rakyat Indonesia, dr. Samad kemudian mengenalkan tim dengan seorang warga Cina-Singapura, Joe Loh, yang diketahui belakangan sebagai mantan pejuang bawah tanah pasukan rahasia Inggris, “Force 136”. Setelah terbangun saling pengertian dan kepercayaan, Joe Loh bersedia bergabung dengan misi Tim.
Dengan memanfaatkan jaringan internasionalnya selama PD2, Joe Loh membeberkan rencana Tim kepada orang2 pemegang kunci di Changi Naval Base yang berhasl diyakinkan untuk membantunya. Izak Mahdi ditugaskan mendampingi Joe Loh dan kerja sama keduanya menghasilkan permulaan usaha yang baik, yaitu deal pembelian senjata tanpa pembayaran uang muka.
Tahap berikutnya adalah mengirimkan senjata ke Tegal dan disini lagi peranan Joe Loh dengan cara meyakinkan seorang nahkoda kapal warga negara asing untuk membawa senjata ke wilayah RI namun dengan imbalan yang sangat tinggi, SGD 30 ribu. Karena keterbatasan dana yang didapat, Joe Loh lagi-lagi mau membantu dengan menggunakan sebagian besar dana pribadinya sebesar SGD 20 ribu, sedangkan sisanya SGD 10 ribu adalah hasil penjualan barang pribadi keluarga Tim.
Misi ini berasal dari nama kapal yang digunakan “MERIAM BEE” berbendera Singapura yang dinahkodai oleh Frazer, warga negara Skotlandia. Adapun Kepala Kamar Mesin warga Polandia, Kovalksi.
Pemuatan senjata dilakukan oleh tawanan2 eks tentara Jepang pada akhir bulan September 1946 dan berlangsung hingga 10 jam. Keberangkatan “MERIAM BEE” dari Naval Base telah diatur oleh orang2 yang tidak dikenal Tim, dengan muatan 1.800 pucuk senapan Lee Enfield, 6 buah meriam anti-aircraft Oerlikon, seragam militer, obat2an, dsb, yang diperkirakan cukup untuk melengkapi satu resimen tentara. Yang ditugaskan untuk ikut mengawal adalah Bagdja Nitidiwiria, Joe Loh dan Suryono Darusman, sementara Izak Mahdi tetap tinggal di Singapura.
Dikisahkan, kapal “MERIAM BEE” berlayar melintasi Bangka-Belitung, kemudian menyusuri perairan Kalimantan. Beberapa kali memang terlihat kapal patroli Belanda tapi tidak sampai terjadi insiden hingga akhirnya kapal berhasil mencapai perairan Tegal pada 5 Oktober 1946. Tim dijemput oleh Mayor (L) Soenar Soerapoetera, didampingi Kapten Langkay dan perwira KKO Ali Sadikin. Malamnya, Suryono diperintahkan mendampingi Joe Loh ke Yogyakarta untuk menghadap Presiden Soekarno, sementara Bagdja melapor ke atasannya, perwira AD di Mabes.
Di Yogyakarta, Suryono dan Joe Loh diantar Kolonel Darwis Djamin menghadap Presiden Soekarno, yang memberikan ucapan selamat atas keberhasilan misi yang dinilai sebagai usaha penyelundupan senjata terbesar sejak revolusi dimulai.
Terhadap Joe Loh sebagai perwakilan dari pihak penjual senjata, Presiden Soekarno menawarkan 3 alternatif pembayarannya: barter dengan gula pasir (ini yang dipilih), barter dengan perhiasan hasil rampasan dari tentara Jepang atau dengan candu yang berasal dari pemerintah Hindia-Belanda.
Namun ternyata buntut perjalanan misi tidak sempurna. Pada masa itu suplai gula ke Singapura sedang masif sehingga stok banyak menumpuk yang menyebabkan harga turun drastis. Penjualan 500 ton yang diharapkan bisa mendapatkan USD 350 ribu terjual jauh di bawah harga. Berbagai upaya dilakukan oleh anggota tim tapi tidak berhasil sementara penjual senjata yang menagih pembayaran sudah mulai hilang kepercayaan. Dalam hal ini reputasi Joe Loh dipertaruhkan. Sikon revolusi memang membuat roda pemerintahan tidak berjalan normal sehingga penanganan ekses misi “MERIAM BEE” tidak cukup jelas. Hal ini membuat kesuksesan yang sempat diraih misi ini lenyap dari ingatan orang.
Adapun Joe Loh mengalami nasib yang memprihatinkan demi mempertaruhkan reputasi pribadinya terhadap rekan2nya yang memasok persenjataan tapi usahanya gagal total. Suryono terakhir kali bertemu Joe Loh pada tahun 1952 dengan lirih ia bilang “Rupanya alam pun ikut memusuhi saya...”. Tak lama kemudian Joe Loh meninggal dunia dalam kondisi yang mengenaskan.
Buntut misi “MERIAM BEE” belum selesai, entah apa penyebab pastinya, sebagian salinan dokumen2 rahasia jatuh ke tangan Belanda termasuk kegiatan2 warga Indonesia yang ada di Singapura. Hal ini menyebabkan Suryono dan Bagdja dipanggil Criminal Investigation Department Singapura. Pada saat pemeriksaan, kepada keduanya diperlihatkan salinan dokumen yang berisi laporan aktivitas Tim selama di Singapura sejak tahun 1946. Atas upaya dari Mr. Utoyo Ramelan, Kepala Indonesian Office di Singapura, Suryono dan Bagdja akhirnya berhasil meninggalkan Singapura.
Sumber:
"Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar Jaman Singapura 1945-1950"
Postingan kali ini, dituturkan oleh, tanpa bermaksud menihilkan peranan tokoh lainnya, Suryono Darusman, ayah dari Marzuki Darusman, mantan Jaksa Agung RI era Presiden Gus Dur.
Suryono Darusman lahir di Payakumbuh tanggal 17 Agustus 1919. Berawal sebagai anggota misi militer Indonesia di Singapura dan Malaya (1945-1950), kemudian menjadi Kepala Bagian Politik Kantor Indonesia di Singapura. Karirnya berlanjut di lingkungan Departemen Luar Negeri RI sebagai Dubes RI untuk Mexico (1970-1973), Dubes RI untuk Uni Soviet (1973-1976), menjadi Direktur Jenderal Politik Deplu dan Dubes RI untuk Swiss (1979-1982). Beliau meninggal dunia tanggal 15 April 2000 dalam usia hampir 81 tahun.
Menyadari kemungkinan bahwa Belanda akan kembali menjajah negeri tercinta, baik di level pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah berusaha menyiapkan berbagai langkah yang dipandang perlu, termasuk menyelundupkan senjata guna memperkuat Angkatan Perang Republik Indonesia yang dilakukan secara mandiri oleh komando2 militer di Jawa dan Sumatera. Singapura adalah tujuan terdekat misi-misi yang dikirim ke luar negeri.
Modus operandi yang dilakukan saat itu adalah dengan mengirimkan sebuah kapal bermuatan hasil bumi yang berasal dari wilayah komando militer tertentu, biasanya adalah gula dan karet. Hasil penjualan komoditas tadi dibelikan senjata dan dibawa kembali ke wilayah komando asal komoditas tersebut. Salah satu misi itu berangkat dari Pangkalan IV Angkatan Laut RI di Tegal dimana Suryono Darusman Terlibat di dalamnya.
Beberapa hari sebelum Natal tahun 1945, 2 orang sipil yang direkrut oleh Komandan Pangkalan, Suryono Darusman dan R.E. Bajened (REB). Nama yang disebut terakhir adalah warga Indonesia keturunan Arab yang pernah bermukim di Singapura. Misi ini diberangkatkan dari Tegal menggunakan kapal kayu yang diberi nama “SAN GIANG” dengan membawa keluarga masing2 untuk menyamarkan misi. Saat itu terkumpul sekitar 100 ton gula pasir yang dikumpulkan oleh Pangkalan IV AL.
Perjalanan dari Tegal ke Singapura memakan waktu 2 minggu dengan kondisi yang mencemaskan dan membosankan. Setibanya di Singapura, mereka pindah ke sampan kecil menuju Raffles Bay, lalu menuju ke sebuah rumah di Oxley Road, dimana tim ditampung oleh keluarga Mohammad Alkaff, seorang keturunan Arab yang dikenal oleh REB. Setelah berhasil menjual gula pasir, REB mencari koneksi ke makelar2 penjual senjata. Di saat yang sama datang juga warga negara Indonesia lainnya bernama Izak Mahdi, yang diutus oleh Mr. A. Karim, Kepala Bank Negara Indonesia di Yogyakarta, untuk survey pembukaan hubungan dagang dengan Singapura. Izak Mahdi ini kebetulan juga ipar dari Suryono Darusman. Pada bulan Juli 1946 datang juga Kepala Intel AD, Bagdja Nitidiwirya yang diutus dari Mabes AD di Yogyakarta untuk meninjau misi2 yang beroperasi di luar negeri. Mereka bertiga kemudian bergabung untuk melaksanakan misi bersama2.
Tim kemudian berkenalan dengan seorang dokter yang mulanya dipercaya sebagai dokter keluarga tim, namanya dr. Samad. Karena sering bertemu dan bercerita mengenai sikon yang dialami di Indonesia terjalinlah hubungan persahabatan. Karena perasaan serumpun dan bersimpat atas perjuangan rakyat Indonesia, dr. Samad kemudian mengenalkan tim dengan seorang warga Cina-Singapura, Joe Loh, yang diketahui belakangan sebagai mantan pejuang bawah tanah pasukan rahasia Inggris, “Force 136”. Setelah terbangun saling pengertian dan kepercayaan, Joe Loh bersedia bergabung dengan misi Tim.
Dengan memanfaatkan jaringan internasionalnya selama PD2, Joe Loh membeberkan rencana Tim kepada orang2 pemegang kunci di Changi Naval Base yang berhasl diyakinkan untuk membantunya. Izak Mahdi ditugaskan mendampingi Joe Loh dan kerja sama keduanya menghasilkan permulaan usaha yang baik, yaitu deal pembelian senjata tanpa pembayaran uang muka.
Tahap berikutnya adalah mengirimkan senjata ke Tegal dan disini lagi peranan Joe Loh dengan cara meyakinkan seorang nahkoda kapal warga negara asing untuk membawa senjata ke wilayah RI namun dengan imbalan yang sangat tinggi, SGD 30 ribu. Karena keterbatasan dana yang didapat, Joe Loh lagi-lagi mau membantu dengan menggunakan sebagian besar dana pribadinya sebesar SGD 20 ribu, sedangkan sisanya SGD 10 ribu adalah hasil penjualan barang pribadi keluarga Tim.
Misi ini berasal dari nama kapal yang digunakan “MERIAM BEE” berbendera Singapura yang dinahkodai oleh Frazer, warga negara Skotlandia. Adapun Kepala Kamar Mesin warga Polandia, Kovalksi.
Pemuatan senjata dilakukan oleh tawanan2 eks tentara Jepang pada akhir bulan September 1946 dan berlangsung hingga 10 jam. Keberangkatan “MERIAM BEE” dari Naval Base telah diatur oleh orang2 yang tidak dikenal Tim, dengan muatan 1.800 pucuk senapan Lee Enfield, 6 buah meriam anti-aircraft Oerlikon, seragam militer, obat2an, dsb, yang diperkirakan cukup untuk melengkapi satu resimen tentara. Yang ditugaskan untuk ikut mengawal adalah Bagdja Nitidiwiria, Joe Loh dan Suryono Darusman, sementara Izak Mahdi tetap tinggal di Singapura.
Dikisahkan, kapal “MERIAM BEE” berlayar melintasi Bangka-Belitung, kemudian menyusuri perairan Kalimantan. Beberapa kali memang terlihat kapal patroli Belanda tapi tidak sampai terjadi insiden hingga akhirnya kapal berhasil mencapai perairan Tegal pada 5 Oktober 1946. Tim dijemput oleh Mayor (L) Soenar Soerapoetera, didampingi Kapten Langkay dan perwira KKO Ali Sadikin. Malamnya, Suryono diperintahkan mendampingi Joe Loh ke Yogyakarta untuk menghadap Presiden Soekarno, sementara Bagdja melapor ke atasannya, perwira AD di Mabes.
Di Yogyakarta, Suryono dan Joe Loh diantar Kolonel Darwis Djamin menghadap Presiden Soekarno, yang memberikan ucapan selamat atas keberhasilan misi yang dinilai sebagai usaha penyelundupan senjata terbesar sejak revolusi dimulai.
Terhadap Joe Loh sebagai perwakilan dari pihak penjual senjata, Presiden Soekarno menawarkan 3 alternatif pembayarannya: barter dengan gula pasir (ini yang dipilih), barter dengan perhiasan hasil rampasan dari tentara Jepang atau dengan candu yang berasal dari pemerintah Hindia-Belanda.
Namun ternyata buntut perjalanan misi tidak sempurna. Pada masa itu suplai gula ke Singapura sedang masif sehingga stok banyak menumpuk yang menyebabkan harga turun drastis. Penjualan 500 ton yang diharapkan bisa mendapatkan USD 350 ribu terjual jauh di bawah harga. Berbagai upaya dilakukan oleh anggota tim tapi tidak berhasil sementara penjual senjata yang menagih pembayaran sudah mulai hilang kepercayaan. Dalam hal ini reputasi Joe Loh dipertaruhkan. Sikon revolusi memang membuat roda pemerintahan tidak berjalan normal sehingga penanganan ekses misi “MERIAM BEE” tidak cukup jelas. Hal ini membuat kesuksesan yang sempat diraih misi ini lenyap dari ingatan orang.
Adapun Joe Loh mengalami nasib yang memprihatinkan demi mempertaruhkan reputasi pribadinya terhadap rekan2nya yang memasok persenjataan tapi usahanya gagal total. Suryono terakhir kali bertemu Joe Loh pada tahun 1952 dengan lirih ia bilang “Rupanya alam pun ikut memusuhi saya...”. Tak lama kemudian Joe Loh meninggal dunia dalam kondisi yang mengenaskan.
Buntut misi “MERIAM BEE” belum selesai, entah apa penyebab pastinya, sebagian salinan dokumen2 rahasia jatuh ke tangan Belanda termasuk kegiatan2 warga Indonesia yang ada di Singapura. Hal ini menyebabkan Suryono dan Bagdja dipanggil Criminal Investigation Department Singapura. Pada saat pemeriksaan, kepada keduanya diperlihatkan salinan dokumen yang berisi laporan aktivitas Tim selama di Singapura sejak tahun 1946. Atas upaya dari Mr. Utoyo Ramelan, Kepala Indonesian Office di Singapura, Suryono dan Bagdja akhirnya berhasil meninggalkan Singapura.
Sumber:
"Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar Jaman Singapura 1945-1950"
John Lie: The Smuggler With The Bible
Kisah heroik John Lie pernah diulas secara khusus di majalah Life
edisi bulan September 1949 dengan judul “Guns-Bibles are Smuggled to
Indonesia” yang ditulis oleh wartawan Roy Rowan dengan foto artikel
kapten John Lie di ruang kemudi kapal sedang memegang Alkitab. Menurut
Rowan, ada 2 Alkitab di dalam ruang kemudi dalam bahasa Inggris dan
Belanda. Sedangkan biografi mengenai Laksaman John Lie sudah diterbitkan
dalam sebuah buku berjudul “Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi” pada tahun
2008.
Terlahir dengan nama John Lie Tjeng Tjoan pada 9 Maret 1911, anak ke 2 dari seorang ayah bernama Lie Kae Tae dan ibu bernama Maryam Oei Tseng Nie ini memiliki 4 saudara laki2 dan 3 saudari perempuan. Jika dirunut ke atas, kakek John Lie dari ayahnya, Lie Eng Goan, masih keturunan dari keluarga Kyai Mojo, salah satu tokoh terkemuka dalam Babad Diponegoro.
Meski ayah John Lie seorang pengusaha, seperti pada umumnya warga Tionghoa ketika itu, tapi tak satu pun yang mengikuti jejak ayahnya, bahkan 7 anaknya menjadi PNS.
Saat usia 7 tahun, John Lie masuk sekolah dasar di Holland Chinese School (HCS) yang diperuntukkan bagi warga Tionghoa dengan kedudukan sosial tertentu. Sudah sejak kecil John Lie memang menyukai hal2 yang berhubungan dengan air sehingga bisa disebut masa itu adalah “dunia air”. Suatu ketika, di pelabuhan Manado ada kapal eskader milik tentara AL Kerajaan Belanda. John Lie nekad berenang ke kapal dan menaikinya seraya bilang “Nanti saya mau jadi kapten…suatu saat akan pimpin kapal begini…”
Ketika menginjak usia 17 tahun (catatan: ada juga yang menyebut usianya 15 tahun) di akhir tahun 1927, John Lie meninggalkan Manado atas kemauannya sendiri dan dengan modal bekal uang yang ia kumpulkan. Ia menumpang kapal milik KPM dan tiba di Batavia pada awal tahun 1928. Pada bulan Juli 1928, John Lie bekerja sempat bekerja sebagai buruh Pelabuhan sampai Oktober 1929.
Setelah mengikuti kursus navigasi selama 3 bulan di Batavia, pada bulan Nopember 1929, John Lie mulai bekerja di KPM sebagai Stuurman Vaart di kapal KM “SINGKARAK”, setelah itu bertugas di KM “VAN NORD”, dst (Catatan: di dalam buku “Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran” disebut sebagai Stuurman Vaart tapi di buku biografinya sebagai Klerk Muallim III). Pada bulan Pebruari 1942 ia bertugas di KM “TOSARI” dan sedang berada di pelabuhan Cilacap. Saat itu perang Jepang sudah terjadi, kapal membawa 400 ton karet semula hendak berlayar ke Australia tetapi berubah haluan menuju Colombo.
Ketika Jepang mendarat di Jawa, KM “TOSARI” sedang menuju Teluk Persia dan lego jangkar di pelabuhan milik Royal Navy dimana John Lie bergabung dalam Logistic Task Force Royal Navy yang melayani pasokan kapal2 sekutu yang tiba dari Australia. Semasa inilah John Lie banyak belajar meningkatkan keahlian militernya.
Tahun 1945 ketika bom atom dijatuhkan di 2 kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, para pelaut Indonesia ingin segera pulang ke Indonesia, tapi John Lie baru bisa pulang pada bulan Pebruari 1946. Saat singgah di Singapura, John Lie sempat mempelajari tehnik membersihkan ranjau laut oleh Royal Navy dan strategi gerilya laut di Selat Malaka.
Pada bulan April 1946 John Lie tiba di Tanjung Priok. Setelah mengumpulkan informasi, pada bulan Mei 1946 John Lie menemui pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) Hans Pandelaki dan Mohede di Jalan Cilacap, Menteng. John Lie diterima sebagai anggota KRIS Barisan Lautan & diberi surat pengantar untuk menghadap Mr. A.A. Maramis. Oleh Maramis, ia diberikan referensi untuk menghadap Kepala Staf ALRI Laksamana M. Pardi di Yogyakarta dengan menumpang kereta api. Di Karawang, ia justru sempat ditahan pejuang2 KRIS karena dianggap mata2 Belanda namun 2 hari kemudian dibebaskan dan selamat tiba di Yogyakarta.
Di Yogya, John Lie sempat bertemu sahabatnya, Willy Sumantri, yang bertugas di ALRI dan membantu mengatur pertemuan dengan Kasal. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh perwira intelijen saat itu, Mayor Martadinata, Mayor Singataruna dan Mayor Mangastowo, John Lie menjelaskan maksudnya. Setelah itu ia dihadapkan ke Kasal yang didampingi oleh Laksamana Nazir. Setelah menceritakan pengalamannya, Kasal bingung menawarkan pangkat apa ke John Lie mengingat pengalamannya sudah banyak. Tapi dijawab oleh John Lie bahwa ia datang bukan untuk mencari pangkat melainkan untuk berjuang di laut karena hanya itulah modal yang bisa ia berikan.
Setelah itu John Lie menerima surat dari Kapten Saheran berupa keputusan Kasal mengangkat John Lie sebagai Kelasi III. Saat itu banyak perwira yang meragukan ihwal pengetahuan kelautannya. Padahal John Lie pernah memperbaiki kekeliruan Mayor Martadinata saat memasang susunan warna dan bentuk bendera kelautan internasional.
Bulan Agustus 1946 pimpinan staf ALRI mengadakan pertemuan membahas sikon terakhir di Republik yang dipimpin oleh Kasal Laksamana M. Pardi, dan dihadiri oleh Laksamana Nazir, Kolonel Sumarno, Mayor Martadinata, Mayor Mangastowo, Mayor Singotaruno dan John Lie yang masih berpangkat Kelasi III.
Pimpinan ALRI menawarkan John Lie untuk bertugas di pangkalan besar di pantai utara Pulau Jawa tapi John Lie meminta ditempatkan di Cilacap karena dinilai strategis sebagai “pintu belakang” untuk keluar masuk gerilya laut dan alternatif jalur keluar komoditas ekspor gula dan karet untuk membiayai perjuangan RI.
John Lie akhirnya ditempatkan di Cilacap dengan tugas cukup berat, yaitu menjadi petugas nautika, membersihkan perairan dan pantai Segara Anakan dari rintangan pelayaran, menjadikan Segara Anakan tempat berlatih dan melatih personil ALRI.
Setibanya di Cilacap, John Lie melapor kepada perwira senior setempat dan memulai kerja sesuai penugasannya. Sejak Agustus 1946 sampai Nopember 1946 dengan metode yang ia diterapkan, John Lie berhasil membersihkan 5 ranjau laut, bangkai tongkang dan potongan2 kayu yang mengganggu alur pelayaran.
Bersambung...
Sumber:
1. "Biografi Laksamana Muda John Lie - Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi", M. Nursam
2."Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara Sampai Indonesia", Iwan Santosa
Terlahir dengan nama John Lie Tjeng Tjoan pada 9 Maret 1911, anak ke 2 dari seorang ayah bernama Lie Kae Tae dan ibu bernama Maryam Oei Tseng Nie ini memiliki 4 saudara laki2 dan 3 saudari perempuan. Jika dirunut ke atas, kakek John Lie dari ayahnya, Lie Eng Goan, masih keturunan dari keluarga Kyai Mojo, salah satu tokoh terkemuka dalam Babad Diponegoro.
Meski ayah John Lie seorang pengusaha, seperti pada umumnya warga Tionghoa ketika itu, tapi tak satu pun yang mengikuti jejak ayahnya, bahkan 7 anaknya menjadi PNS.
Saat usia 7 tahun, John Lie masuk sekolah dasar di Holland Chinese School (HCS) yang diperuntukkan bagi warga Tionghoa dengan kedudukan sosial tertentu. Sudah sejak kecil John Lie memang menyukai hal2 yang berhubungan dengan air sehingga bisa disebut masa itu adalah “dunia air”. Suatu ketika, di pelabuhan Manado ada kapal eskader milik tentara AL Kerajaan Belanda. John Lie nekad berenang ke kapal dan menaikinya seraya bilang “Nanti saya mau jadi kapten…suatu saat akan pimpin kapal begini…”
Ketika menginjak usia 17 tahun (catatan: ada juga yang menyebut usianya 15 tahun) di akhir tahun 1927, John Lie meninggalkan Manado atas kemauannya sendiri dan dengan modal bekal uang yang ia kumpulkan. Ia menumpang kapal milik KPM dan tiba di Batavia pada awal tahun 1928. Pada bulan Juli 1928, John Lie bekerja sempat bekerja sebagai buruh Pelabuhan sampai Oktober 1929.
Setelah mengikuti kursus navigasi selama 3 bulan di Batavia, pada bulan Nopember 1929, John Lie mulai bekerja di KPM sebagai Stuurman Vaart di kapal KM “SINGKARAK”, setelah itu bertugas di KM “VAN NORD”, dst (Catatan: di dalam buku “Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran” disebut sebagai Stuurman Vaart tapi di buku biografinya sebagai Klerk Muallim III). Pada bulan Pebruari 1942 ia bertugas di KM “TOSARI” dan sedang berada di pelabuhan Cilacap. Saat itu perang Jepang sudah terjadi, kapal membawa 400 ton karet semula hendak berlayar ke Australia tetapi berubah haluan menuju Colombo.
Ketika Jepang mendarat di Jawa, KM “TOSARI” sedang menuju Teluk Persia dan lego jangkar di pelabuhan milik Royal Navy dimana John Lie bergabung dalam Logistic Task Force Royal Navy yang melayani pasokan kapal2 sekutu yang tiba dari Australia. Semasa inilah John Lie banyak belajar meningkatkan keahlian militernya.
Tahun 1945 ketika bom atom dijatuhkan di 2 kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, para pelaut Indonesia ingin segera pulang ke Indonesia, tapi John Lie baru bisa pulang pada bulan Pebruari 1946. Saat singgah di Singapura, John Lie sempat mempelajari tehnik membersihkan ranjau laut oleh Royal Navy dan strategi gerilya laut di Selat Malaka.
Pada bulan April 1946 John Lie tiba di Tanjung Priok. Setelah mengumpulkan informasi, pada bulan Mei 1946 John Lie menemui pimpinan Laskar Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) Hans Pandelaki dan Mohede di Jalan Cilacap, Menteng. John Lie diterima sebagai anggota KRIS Barisan Lautan & diberi surat pengantar untuk menghadap Mr. A.A. Maramis. Oleh Maramis, ia diberikan referensi untuk menghadap Kepala Staf ALRI Laksamana M. Pardi di Yogyakarta dengan menumpang kereta api. Di Karawang, ia justru sempat ditahan pejuang2 KRIS karena dianggap mata2 Belanda namun 2 hari kemudian dibebaskan dan selamat tiba di Yogyakarta.
Di Yogya, John Lie sempat bertemu sahabatnya, Willy Sumantri, yang bertugas di ALRI dan membantu mengatur pertemuan dengan Kasal. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh perwira intelijen saat itu, Mayor Martadinata, Mayor Singataruna dan Mayor Mangastowo, John Lie menjelaskan maksudnya. Setelah itu ia dihadapkan ke Kasal yang didampingi oleh Laksamana Nazir. Setelah menceritakan pengalamannya, Kasal bingung menawarkan pangkat apa ke John Lie mengingat pengalamannya sudah banyak. Tapi dijawab oleh John Lie bahwa ia datang bukan untuk mencari pangkat melainkan untuk berjuang di laut karena hanya itulah modal yang bisa ia berikan.
Setelah itu John Lie menerima surat dari Kapten Saheran berupa keputusan Kasal mengangkat John Lie sebagai Kelasi III. Saat itu banyak perwira yang meragukan ihwal pengetahuan kelautannya. Padahal John Lie pernah memperbaiki kekeliruan Mayor Martadinata saat memasang susunan warna dan bentuk bendera kelautan internasional.
Bulan Agustus 1946 pimpinan staf ALRI mengadakan pertemuan membahas sikon terakhir di Republik yang dipimpin oleh Kasal Laksamana M. Pardi, dan dihadiri oleh Laksamana Nazir, Kolonel Sumarno, Mayor Martadinata, Mayor Mangastowo, Mayor Singotaruno dan John Lie yang masih berpangkat Kelasi III.
Pimpinan ALRI menawarkan John Lie untuk bertugas di pangkalan besar di pantai utara Pulau Jawa tapi John Lie meminta ditempatkan di Cilacap karena dinilai strategis sebagai “pintu belakang” untuk keluar masuk gerilya laut dan alternatif jalur keluar komoditas ekspor gula dan karet untuk membiayai perjuangan RI.
John Lie akhirnya ditempatkan di Cilacap dengan tugas cukup berat, yaitu menjadi petugas nautika, membersihkan perairan dan pantai Segara Anakan dari rintangan pelayaran, menjadikan Segara Anakan tempat berlatih dan melatih personil ALRI.
Setibanya di Cilacap, John Lie melapor kepada perwira senior setempat dan memulai kerja sesuai penugasannya. Sejak Agustus 1946 sampai Nopember 1946 dengan metode yang ia diterapkan, John Lie berhasil membersihkan 5 ranjau laut, bangkai tongkang dan potongan2 kayu yang mengganggu alur pelayaran.
Bersambung...
Sumber:
1. "Biografi Laksamana Muda John Lie - Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi", M. Nursam
2."Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara Sampai Indonesia", Iwan Santosa
Dinas Intelijen Politik Hindia-Belanda (PID atau ARD)
Sejak diberlakukannya kebijakan baru terhadap negeri jajahan
Hindia-Belanda yang dikenal dengan Politik Etis (Ethische Politiek),
pergerakan sosial politik dalam masyarakat pribumi yang mengkristal
dalam gerakan yang radikal tampak semakin nyata sebagai sebuah ancaman
di mata pemerintah kolonial. Oleh karenanya, muncul gagasan untuk
mengawasi setiap gerakan dengan ketat guna menjaga keamanan dan
stabilitas Hindia-Belanda.
Untuk melaksanakan gagasan tersebut dibentuklah Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau Dinas Intelijen Politik Hindia-Belanda pada 6 Mei 1916 oleh Gubernur Jenderal Graaf J.P. van Limburg Stirum (1916-1921). Dinas ini bertugas mengumpulkan setiap informasi tentang kondisi pergerakan nasional di Hindia-Belanda sebagai dasar tindakan terhadap tokoh2 pergerakan, jika diperlukan.
Padahal, tumbuhnya sikap radikal semata-mata sebagai reaksi kepada sikap dan tindakan pemerintah kolonial yang bertentangan dengan Politik Etis yang dicanangkan sesuai Pidato Kenegaraan Ratu Belanda pada September 1901 tentang “kewajiban yang luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat di Hindia-Belanda”.
Pada masa Gubernur Jenderal sebelumnya, Idenburg pernah dibuat kebijakan yang mengawasi ketat organsisasi2 atau badan2 pergerakan atau partai2 di Hindia-Belanda agar tidak berkembang menjadi gerakan politik subversif. Sementara Gubernur Jenderal van Limburg Stirum pandai mengambil hati kaum terpelajar karena pandangannya yang progresif dan memberikan kesempatan kepada organisasi kebangsaan untuk berkembang. Naiknya van Limburg Stirum yang liberal sebagai Gubernur Jenderal menggantikan Idenburg yang konservatif, membuat ruang gerak radikalisasi semakin meluas.
Kedatangan Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet yang kemudian membentuk Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) pada 9 Mei 1914 di Surabaya turut berkontribusi perkembangan radikalisme. Terlepas dari sikap liberal van Limburg Stirum, tapi radikalisme yang semakin berkembang tetap membuat pemerintah kolonial cemas sehingga mencari cara untuk menjaga stabilitas keamanan di Hindia-Belanda, sehingga dibentuklan PID.
Ide pembentukan organisasi ini sebenarnya telah ada sejak tahun 1914 dengan nama Kantoor Inlichtingen yang saat itu berada di bawah komando tentara Hindia-Belanda. Tujuan organisasi ini untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi tentang aktivitas agen Jepang di Hindia-Belanda.
PID ditempatkan di bawah Jaksa Agung (Procureur-General) dan sebagai pimpinannya, Gubernur Jenderal mengangkat W. Muurling, mantan kapten staf umum KNIL. Mekanisme kerja PID berhubungan erat dengan beberapa dinas penting Hindia-Belanda seperti Adviseur voor Inlandsche Zaken en Arabische Zaken (Penasehat Urusan2 Pribumi dan Arab) dan Kantoor voor Chineesche Zaken (Kantor Urusan2 Cina).
Kantor PID tersebar di beberapa kota besar saat itu, Batavia, Bandung, Semarang dan Surabaya. PID membuat laporan berkala setiap bulan atau triwulan yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal atau pejabat tinggi Hindia-Belanda.
Mengenai tugas PID, digambarkan oleh P.J.A. Idenburg, sebagai berikut:
“PID bukan saja bertugas untuk mengumpulkan bahan2 informasi politik yang penting mengenai perorangan, perkumpulan, gerakan dsb, tetapi juga memelihara tugas harian pengamatan terhadap kelakuan tokoh2 dan organisasi2 politik aktif dan juga mengawasi ucapan2 di depan umum dalam rapat2. Apabila batas2 yang secara hukum diijinkan terlampaui, maka dinas kepolisian ini harus bertindak, seringkali dengan peringatan, tetapi jika perlu dengan tindakan yang lebih jauh”
PID ini akhirnya juga menjadi saluran baru bagi pemerintahan kolonial untuk mendapatkan informasi mengenai sikon politik masyarakat pribumi dan tidak lagi mengandalkan sumber informasi dari Pangreh Praja.
Ternyata umur PID ini tidak berusia lama, seiring dengan berakhirnya Perang Dunia 1, Muurling merekomendasikan pembubaran dinas tersebut pada Nopember 1918. PID secara resmi dibubarkan pada 2 April 1919 dan fungsinya dialihkan ke intelijen militer. Yang menarik adalah bahwa setelah pembubaran PID, nama dinas ini justru semakin popular dan angker.
Pasca pembubaran PID kondisi di Hindia-Belanda justru semakin memburuk ditandai denan banyak terjadinya kerusuhan atau pergolakan. Pada masa ini tercatat pernah terjadi kerusuhan anti-Cina di Kudus, pemogokan petani di daerah Surakarta yang dipimpin oleh Haji Misbach, pemogokan buruh pabrik gula yang tergabung dalam Personeel Fabriek Bond (PFB), dsb.
Pada 25 Juli 1919, Wakil Jaksa Agung H.V. Monsanto memberikan masukan kepada van Limburg Stirum mengenai pentingnya pembentukan sebuah dinas intelijen.
Dalam pembukaan rapat Volksraad pada 1 September 1919, van Limburg Stirum mengumumkan akan menindak tegas gerakan yang melampaui batas, dan pada 24 September 1919 mendirikan sebuah dinas intelijen yang diberi nama Algemenee Recherche Dienst (ARD) atau Dinas Penyelidikan Umum. Dalam perjalanannya ARD ini terbukti sebagai kelanjutan dari PID dan memiliki cerita panjang.
Sebagai ketua ARD, ditunjuk seorang mantan Kepala Komisaris Kelas 1 Batavia, yaitu A.E. van der Lely. Pada Mei 1920 van der Lely dibantu oleh 2 pejabat khusus, yaitu seorang wakil kepala Eropa, B.R. van der Most mantan Komisaris Polisi Kelas 2 Semarang, dan seorang Wedana pribumi, Mohammad Jatim, yang sebelumnya adalah seksi Intelijen Politik Kepolisian kota Batavia. Dalam catatan sejarah, van der Lely memimpin ARD sejak 1919 s/d 1929 dengan deputi B.R. van der Most (1920-1929).
Oleh tokoh2 pergerakan nasional dan jika kita membaca buku2 yang membahas pergerakan nasional sebelum kemerdekaan, nama ARD ini tidak “ada” karena yang dikenali & ditulis adalah PID, padahal PID usianya tidak lama & sudah resmi dibubarkan sejak 1919. Diduga, pembubaran PID dan pendirian ARD sebagai gantinya memang sengaja dirahasiakan oleh pemerintah Hindia-Belanda saat itu.
Setelah van Limburg Stirum mengakhiri jabatannya pada 21 Maret 1921, posisi Gubernur Jenderal diisi oleh Dirk Fock (1921-1926), seorang yang reaksioner dan sering mengecam kebijakan van Limburg Stirum. Di tengah kelesuan perekonomian, Fock memberikan jaminan kepada investor yang ingin menanamkan modalnya di Jawa dengan menindak keras pergerakan nasional, terutama di bidang perburuhan. Dalam posisi inilah ARD digunakan sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial bertugas, salah satunya, mengawasi setiap aktivitas yang terjadi dalam arena Pergerakan Nasional. Sarekat Islam (SI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah musuh utama ARD karena kekuatan massanya & dinilai berpotensi mengganggu stabilitas keamanan negara.
Untuk menekan perkembangan organisasi atau tokoh yang dianggap radikal, pemerintah menggunakan Hak Luar Biasa dari Gubernur Jenderal (Exorbinante Rechten) yang oleh Tan Malaka digambarkan sebagai sebilah “golok” yang dapat ditusukkan kapan saja kepada seseorang yang dianggap musuh.
Salah satu strategi yang dijalani oleh ARD adalah mengeluarkan larangan mengadakan rapat umum (vergadering), kecuali dengan syarat2 ketat yang harus diajukan sebelumnya. Apabila masih ada organisasi melakukan rapat umum maka personil ARD dapat leluasa membubarkan pertemuan tersebut. Meski demikian rapat2 umum yang telah mendapatkan ijin pun tetap odengan ketat mulai dengan mencatat semua nama tamu yang datang dan mengecek kartu keanggotannya. Biasanya, para anggota SI menyiasati pertemuan tersebut dengan acara “selametan”.
Selain pengawasan terhadap organisasi2 dan tokoh2nya, ARD juga mengawasi penerbitan, media cetak atau media informasi lainnya, termasuk melakukan sensor atas koran2 yang terbit masa itu.
Beberapa tokoh2 pergerakan yang dipandang radikal oleh pemerintah Hindia-Belanda dan ditangkap ARD misalnya H. Misbach. Adapun Alimin dan Musso berhasil ditangkap oleh M. Visbeen, Asisten Komisaris Polisi Kota Batavia yang juga personel ARD.
Salah satu tokoh pergerakan yang mengkritisi ARD adalah M. Husni Thamrin, yang menurutnya tindakan ARD sudah melanggar hak-hak seseorang untuk berkumpul dan berorganisasi sebagaimana dijamin oleh undang-undang. Soekarno juga menceritakan pengalamannya diawasi secara ketat oleh ARD sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams di dalam buku “Penyambung Lidah Rakyat”, bahkan personil ARD sempat dikerjai oleh Soekarno. Dalam biografinya “Memoirs”, Hatta juga menuliskan pengalamannya diawasi ketat oleh personil ARD setelah kepulangannya ke Hindia-Belanda.
(Catatan: setahu saya, buku ini satu2nya sumber berbahasa Indonesia yang membahas PID/ARD tapi sayang buku yang saya baca ini tidak menjelaskan detil aktivitas dan riwayat akhir dari ARD & secara umum isinya lebih banyak bercerita tentang kiprah pergerakan nasional. Bisa dimaklumi karena mungkin keterbatasan informasi yang bisa diperoleh atau diakses seperti wanti2 dari Harry A. Poeze dalam Kata Pengantarnya)
Sumber:
"Memata-matai Kaum Pergerakan – Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916 – 1934”, Allan Akbar
Untuk melaksanakan gagasan tersebut dibentuklah Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau Dinas Intelijen Politik Hindia-Belanda pada 6 Mei 1916 oleh Gubernur Jenderal Graaf J.P. van Limburg Stirum (1916-1921). Dinas ini bertugas mengumpulkan setiap informasi tentang kondisi pergerakan nasional di Hindia-Belanda sebagai dasar tindakan terhadap tokoh2 pergerakan, jika diperlukan.
Padahal, tumbuhnya sikap radikal semata-mata sebagai reaksi kepada sikap dan tindakan pemerintah kolonial yang bertentangan dengan Politik Etis yang dicanangkan sesuai Pidato Kenegaraan Ratu Belanda pada September 1901 tentang “kewajiban yang luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat di Hindia-Belanda”.
Pada masa Gubernur Jenderal sebelumnya, Idenburg pernah dibuat kebijakan yang mengawasi ketat organsisasi2 atau badan2 pergerakan atau partai2 di Hindia-Belanda agar tidak berkembang menjadi gerakan politik subversif. Sementara Gubernur Jenderal van Limburg Stirum pandai mengambil hati kaum terpelajar karena pandangannya yang progresif dan memberikan kesempatan kepada organisasi kebangsaan untuk berkembang. Naiknya van Limburg Stirum yang liberal sebagai Gubernur Jenderal menggantikan Idenburg yang konservatif, membuat ruang gerak radikalisasi semakin meluas.
Kedatangan Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet yang kemudian membentuk Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) pada 9 Mei 1914 di Surabaya turut berkontribusi perkembangan radikalisme. Terlepas dari sikap liberal van Limburg Stirum, tapi radikalisme yang semakin berkembang tetap membuat pemerintah kolonial cemas sehingga mencari cara untuk menjaga stabilitas keamanan di Hindia-Belanda, sehingga dibentuklan PID.
Ide pembentukan organisasi ini sebenarnya telah ada sejak tahun 1914 dengan nama Kantoor Inlichtingen yang saat itu berada di bawah komando tentara Hindia-Belanda. Tujuan organisasi ini untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi tentang aktivitas agen Jepang di Hindia-Belanda.
PID ditempatkan di bawah Jaksa Agung (Procureur-General) dan sebagai pimpinannya, Gubernur Jenderal mengangkat W. Muurling, mantan kapten staf umum KNIL. Mekanisme kerja PID berhubungan erat dengan beberapa dinas penting Hindia-Belanda seperti Adviseur voor Inlandsche Zaken en Arabische Zaken (Penasehat Urusan2 Pribumi dan Arab) dan Kantoor voor Chineesche Zaken (Kantor Urusan2 Cina).
Kantor PID tersebar di beberapa kota besar saat itu, Batavia, Bandung, Semarang dan Surabaya. PID membuat laporan berkala setiap bulan atau triwulan yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal atau pejabat tinggi Hindia-Belanda.
Mengenai tugas PID, digambarkan oleh P.J.A. Idenburg, sebagai berikut:
“PID bukan saja bertugas untuk mengumpulkan bahan2 informasi politik yang penting mengenai perorangan, perkumpulan, gerakan dsb, tetapi juga memelihara tugas harian pengamatan terhadap kelakuan tokoh2 dan organisasi2 politik aktif dan juga mengawasi ucapan2 di depan umum dalam rapat2. Apabila batas2 yang secara hukum diijinkan terlampaui, maka dinas kepolisian ini harus bertindak, seringkali dengan peringatan, tetapi jika perlu dengan tindakan yang lebih jauh”
PID ini akhirnya juga menjadi saluran baru bagi pemerintahan kolonial untuk mendapatkan informasi mengenai sikon politik masyarakat pribumi dan tidak lagi mengandalkan sumber informasi dari Pangreh Praja.
Ternyata umur PID ini tidak berusia lama, seiring dengan berakhirnya Perang Dunia 1, Muurling merekomendasikan pembubaran dinas tersebut pada Nopember 1918. PID secara resmi dibubarkan pada 2 April 1919 dan fungsinya dialihkan ke intelijen militer. Yang menarik adalah bahwa setelah pembubaran PID, nama dinas ini justru semakin popular dan angker.
Pasca pembubaran PID kondisi di Hindia-Belanda justru semakin memburuk ditandai denan banyak terjadinya kerusuhan atau pergolakan. Pada masa ini tercatat pernah terjadi kerusuhan anti-Cina di Kudus, pemogokan petani di daerah Surakarta yang dipimpin oleh Haji Misbach, pemogokan buruh pabrik gula yang tergabung dalam Personeel Fabriek Bond (PFB), dsb.
Pada 25 Juli 1919, Wakil Jaksa Agung H.V. Monsanto memberikan masukan kepada van Limburg Stirum mengenai pentingnya pembentukan sebuah dinas intelijen.
Dalam pembukaan rapat Volksraad pada 1 September 1919, van Limburg Stirum mengumumkan akan menindak tegas gerakan yang melampaui batas, dan pada 24 September 1919 mendirikan sebuah dinas intelijen yang diberi nama Algemenee Recherche Dienst (ARD) atau Dinas Penyelidikan Umum. Dalam perjalanannya ARD ini terbukti sebagai kelanjutan dari PID dan memiliki cerita panjang.
Sebagai ketua ARD, ditunjuk seorang mantan Kepala Komisaris Kelas 1 Batavia, yaitu A.E. van der Lely. Pada Mei 1920 van der Lely dibantu oleh 2 pejabat khusus, yaitu seorang wakil kepala Eropa, B.R. van der Most mantan Komisaris Polisi Kelas 2 Semarang, dan seorang Wedana pribumi, Mohammad Jatim, yang sebelumnya adalah seksi Intelijen Politik Kepolisian kota Batavia. Dalam catatan sejarah, van der Lely memimpin ARD sejak 1919 s/d 1929 dengan deputi B.R. van der Most (1920-1929).
Oleh tokoh2 pergerakan nasional dan jika kita membaca buku2 yang membahas pergerakan nasional sebelum kemerdekaan, nama ARD ini tidak “ada” karena yang dikenali & ditulis adalah PID, padahal PID usianya tidak lama & sudah resmi dibubarkan sejak 1919. Diduga, pembubaran PID dan pendirian ARD sebagai gantinya memang sengaja dirahasiakan oleh pemerintah Hindia-Belanda saat itu.
Setelah van Limburg Stirum mengakhiri jabatannya pada 21 Maret 1921, posisi Gubernur Jenderal diisi oleh Dirk Fock (1921-1926), seorang yang reaksioner dan sering mengecam kebijakan van Limburg Stirum. Di tengah kelesuan perekonomian, Fock memberikan jaminan kepada investor yang ingin menanamkan modalnya di Jawa dengan menindak keras pergerakan nasional, terutama di bidang perburuhan. Dalam posisi inilah ARD digunakan sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial bertugas, salah satunya, mengawasi setiap aktivitas yang terjadi dalam arena Pergerakan Nasional. Sarekat Islam (SI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah musuh utama ARD karena kekuatan massanya & dinilai berpotensi mengganggu stabilitas keamanan negara.
Untuk menekan perkembangan organisasi atau tokoh yang dianggap radikal, pemerintah menggunakan Hak Luar Biasa dari Gubernur Jenderal (Exorbinante Rechten) yang oleh Tan Malaka digambarkan sebagai sebilah “golok” yang dapat ditusukkan kapan saja kepada seseorang yang dianggap musuh.
Salah satu strategi yang dijalani oleh ARD adalah mengeluarkan larangan mengadakan rapat umum (vergadering), kecuali dengan syarat2 ketat yang harus diajukan sebelumnya. Apabila masih ada organisasi melakukan rapat umum maka personil ARD dapat leluasa membubarkan pertemuan tersebut. Meski demikian rapat2 umum yang telah mendapatkan ijin pun tetap odengan ketat mulai dengan mencatat semua nama tamu yang datang dan mengecek kartu keanggotannya. Biasanya, para anggota SI menyiasati pertemuan tersebut dengan acara “selametan”.
Selain pengawasan terhadap organisasi2 dan tokoh2nya, ARD juga mengawasi penerbitan, media cetak atau media informasi lainnya, termasuk melakukan sensor atas koran2 yang terbit masa itu.
Beberapa tokoh2 pergerakan yang dipandang radikal oleh pemerintah Hindia-Belanda dan ditangkap ARD misalnya H. Misbach. Adapun Alimin dan Musso berhasil ditangkap oleh M. Visbeen, Asisten Komisaris Polisi Kota Batavia yang juga personel ARD.
Salah satu tokoh pergerakan yang mengkritisi ARD adalah M. Husni Thamrin, yang menurutnya tindakan ARD sudah melanggar hak-hak seseorang untuk berkumpul dan berorganisasi sebagaimana dijamin oleh undang-undang. Soekarno juga menceritakan pengalamannya diawasi secara ketat oleh ARD sebagaimana ditulis oleh Cindy Adams di dalam buku “Penyambung Lidah Rakyat”, bahkan personil ARD sempat dikerjai oleh Soekarno. Dalam biografinya “Memoirs”, Hatta juga menuliskan pengalamannya diawasi ketat oleh personil ARD setelah kepulangannya ke Hindia-Belanda.
(Catatan: setahu saya, buku ini satu2nya sumber berbahasa Indonesia yang membahas PID/ARD tapi sayang buku yang saya baca ini tidak menjelaskan detil aktivitas dan riwayat akhir dari ARD & secara umum isinya lebih banyak bercerita tentang kiprah pergerakan nasional. Bisa dimaklumi karena mungkin keterbatasan informasi yang bisa diperoleh atau diakses seperti wanti2 dari Harry A. Poeze dalam Kata Pengantarnya)
Sumber:
"Memata-matai Kaum Pergerakan – Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916 – 1934”, Allan Akbar
Rabu, 11 Februari 2015
Kongres Perempuan Pertama Indonesia 22 Desember 1928
Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, setiap tanggal 22
Desember di Indonesia dirayakan sebagai Hari Ibu Nasional. Perayaan ini
diresmikan oleh Presiden Soekarno berdasarkan Dekrit Presiden No. 316
Tahun 1953, pada saat acara ulang tahun ke-25 Kongres Perempuan
Indonesia 1928.
Sedikit sumber yang menceritakan Kongres Perempuan Pertama dapat disarikan di bawah ini...
Kongres Perempuan 1928 oleh tokoh2 pergerakan & nasionalis, surat kabar & bahkan pejabat kolonial dinilai sebagai suatu keberhasilan yang luar biasa sehingga dijadikan sebagai tonggak sejarah bagi pergerakan perempuan Indonesia. Hari ulang tahun kongres tersebut dirayakan sebagai Hari Ibu yang gagasannya diusulkan dan diterima pada saat Kongres tapi ditetapkan menjadi hari besar nasional baru pada tahun.
Sentimen rasa nasionalis pada tahun itu memang sedang tinggi, hal ini ditandai dengan telah dilakukannya Kongres Pemuda Indonesia Ke-2 yang mendahului Kongres Perempuan, namun sejarah organisasi perempuan Indonesia sebenarnya telah dimulai tahun 1912, karena jika ditelusuri dari berdirinya organisasi perempuan pertama adalah pada tahun 1912.
Kongres diadakan di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran, milik seorang bangsawan, R.T. Joyodipoero. Sekarang ini gedung tersebut sudah digunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.
Laporan tentang Kongres Perempuan Pertama mencatat bahwa sekitar 1.000 orang hadir pada resepsi yang diadakan tanggal 22 Desember 1928. Di antara yang hadir terdapat tokoh2 organisasi2 penting di Indonesia yang dipimpin oleh kaum lelaki, seperti Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Mohammadijah dan Jong Islamieten Bond. Para peninjau mencatat sejumlah tokoh penting yang hadir antara lain: Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Dr. Soekiman (PSI), A.D. Haani (Walfadjri). Selain resepsi, ada 3 pertemuan terbuka berikutnya selama berlangsungnya kongres.
Pers saat itu memberikan peliputan yang simpatik, misalnya surat kabar local Jawa, “Sedijo Tomo” menyatakan kekagumannya atas hasil2 kongres tapi juga mengingatkan agar gerakan perempuan yang meski terpengaruh Barat jangan sampai kehilangan ciri2 Timurnya.
Pejabat kolonial juga ikut mengomentari kongres ini seperti laporan Pejabat Penasihat Urusan Pribumi, Ch. O. van der Plas, yang melaporkan kepada Gubernur Jenderal dengan kalimat berikut:
“…laporan dari berbagai pihak memandang konferensi ini telah berhasil. Dalam kesempatan ini juga kenyataannya bahwa perempuan sering lebih realistis, lebih berimbang dan lebih beradab dalam pendekatan dibandingkan lelaki…Organisasi ini pantas mendapatkan ucapan selamat dan perhatian secukupnya…”
Bahkan van der Plas menyebutkan bahwa ia telah menugaskan istri seorang pegawai bawahannya, Patih Datoek Toemenggoeng, untuk menghadiri kongres dengan catatan harus memberikan laporan lengkap kepadanya. Nama istrinya adalah Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng, seorang Minang pemimpin gerakan perempuan yang sedang naik daun. Laporannya menyebutkan bahwa sekitar 600 perempuan hadir mewakili generasi tua dan muda, berpendidikan dan tidak berpendidikan.
Jika dinilai sebagai kekurangan yang tercatat saat penyelenggaraan kongres, masalah keterwakilan gerakan organisasi2 dari daerah2 merupakan isu yang dihadapi. Walau catatan kongres menunjukkan bahwa ada 30 organisasi mengirimkan utusan, tapi sebagian merupakan cabang dari organisasi yang sama (lihat gambar tabel). Sejumlah organisasi di Sumatera mengirimkan telegram berisi dukungannya namun kelihatannya tidak bisa hadir lebih disebabkan karena masalah jarak dan keterbatasan transportasi.
Saat mencatat kegiatan kongres, Ny. Toemenggoeng terkejut karena tidak ada organisasi2 Sunda yang menurut panitia penyelenggara kongres tidak mengenal adanya organisasi Sunda, jawaban yang menurut Ny. Toemenggoeng keliru karena Ny. Abdoerachman sudah mendirikan organisasi yang sangat terkenal di Bogor dengan nama Kemadjoean Isteri tahun 1926.
Menurut catatan si penulis buku, Susan Blackburn, beberapa tokoh feminis Eropa merasa tersinggung karena kongres tersebut hanya diperuntukkan bagi "kaum Pribumi", suatu identitas yang membedakan mereka dari perempuan2 lain.
Jika dibandingkan dengan kongres perempuan Indonesia yang diadakan pada tahun2 berikutnya, Kongres Pertama ini memang didominasi oleh etnis Jawa & acara dibuka dengan lagu penyambutan dalam bahasa Jawa yang diciptakan oleh Soekaptinah. Namun demikian, Selama kongres, hanya 1 perwakilan organisasi yang berpidato menggunakan bahasa Jawa sedangkan sisanya berbahasa Melayu (sebutan untuk bahasa Indonesia jaman Hindia-Belanda). Mengenai bahasa Melayu ini sejak Mei 1928 sudah dijadikan materi dalam kursus yang diselenggarakan oleh Poetri Indonesia Cabang Yogyakarta (semula adalah organisasi sayap perempuan dari Pemoeda Indonesia & kemudian menjadi sayap perempuan PNI).
Sumpah Pemuda yang diadakan lebih dulu pada bulan Oktober 1928 menginspirasi tokoh2 perempuan dari kelompok guru muda Jong Java yang telah membentuk cabang Poetri Indonesia di Yogyakarta, untuk membentuk Panitia Kongres Perempuan yang diketuai oleh R.A. Soekonto dengan Nyi Hajar Dewantoro sebagai wakilnya & Soejatien (Ketua Poetri Indonesia Cabang Yogya) sebagai sekretaris. Ketiga tokoh perempuan ini sebenarnya tidak asing dengan dunia pergerakan karena memiliki hubungan dengan tokoh pergerakan nasionalis Indonesia. R.A. Soekonto adalah kakak dari Ali Sastroamidjojo, dari namanya Nyi Hajar Dewantoro sudah jelas isteri dari Ki Hajar Dewantoto sedangkan Soejatien (saat Kongres masih lajang) adalah murid Soekarno & Ki Hajar Dewantoro.
Beberapa pidato yang dibacakan oleh tokoh2 perempuan pada saat Kongres:
Sumber:
"Kongres Perempuan Indonesia - Tinjauan Ulang", Susan Blackburn, (YOI & KITLV)"
Sedikit sumber yang menceritakan Kongres Perempuan Pertama dapat disarikan di bawah ini...
Kongres Perempuan 1928 oleh tokoh2 pergerakan & nasionalis, surat kabar & bahkan pejabat kolonial dinilai sebagai suatu keberhasilan yang luar biasa sehingga dijadikan sebagai tonggak sejarah bagi pergerakan perempuan Indonesia. Hari ulang tahun kongres tersebut dirayakan sebagai Hari Ibu yang gagasannya diusulkan dan diterima pada saat Kongres tapi ditetapkan menjadi hari besar nasional baru pada tahun.
Sentimen rasa nasionalis pada tahun itu memang sedang tinggi, hal ini ditandai dengan telah dilakukannya Kongres Pemuda Indonesia Ke-2 yang mendahului Kongres Perempuan, namun sejarah organisasi perempuan Indonesia sebenarnya telah dimulai tahun 1912, karena jika ditelusuri dari berdirinya organisasi perempuan pertama adalah pada tahun 1912.
Kongres diadakan di sebuah pendopo Dalem Jayadipuran, milik seorang bangsawan, R.T. Joyodipoero. Sekarang ini gedung tersebut sudah digunakan sebagai kantor Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta.
Laporan tentang Kongres Perempuan Pertama mencatat bahwa sekitar 1.000 orang hadir pada resepsi yang diadakan tanggal 22 Desember 1928. Di antara yang hadir terdapat tokoh2 organisasi2 penting di Indonesia yang dipimpin oleh kaum lelaki, seperti Boedi Oetomo, PNI, Pemuda Indonesia, PSI, Walfadjri, Jong Java, Jong Madoera, Mohammadijah dan Jong Islamieten Bond. Para peninjau mencatat sejumlah tokoh penting yang hadir antara lain: Mr. Singgih dan Dr. Soepomo dari Boedi Oetomo, Mr. Soejoedi (PNI), Dr. Soekiman (PSI), A.D. Haani (Walfadjri). Selain resepsi, ada 3 pertemuan terbuka berikutnya selama berlangsungnya kongres.
Pers saat itu memberikan peliputan yang simpatik, misalnya surat kabar local Jawa, “Sedijo Tomo” menyatakan kekagumannya atas hasil2 kongres tapi juga mengingatkan agar gerakan perempuan yang meski terpengaruh Barat jangan sampai kehilangan ciri2 Timurnya.
Pejabat kolonial juga ikut mengomentari kongres ini seperti laporan Pejabat Penasihat Urusan Pribumi, Ch. O. van der Plas, yang melaporkan kepada Gubernur Jenderal dengan kalimat berikut:
“…laporan dari berbagai pihak memandang konferensi ini telah berhasil. Dalam kesempatan ini juga kenyataannya bahwa perempuan sering lebih realistis, lebih berimbang dan lebih beradab dalam pendekatan dibandingkan lelaki…Organisasi ini pantas mendapatkan ucapan selamat dan perhatian secukupnya…”
Bahkan van der Plas menyebutkan bahwa ia telah menugaskan istri seorang pegawai bawahannya, Patih Datoek Toemenggoeng, untuk menghadiri kongres dengan catatan harus memberikan laporan lengkap kepadanya. Nama istrinya adalah Rangkajo Chairoel Sjamsoe Datoek Toemenggoeng, seorang Minang pemimpin gerakan perempuan yang sedang naik daun. Laporannya menyebutkan bahwa sekitar 600 perempuan hadir mewakili generasi tua dan muda, berpendidikan dan tidak berpendidikan.
Jika dinilai sebagai kekurangan yang tercatat saat penyelenggaraan kongres, masalah keterwakilan gerakan organisasi2 dari daerah2 merupakan isu yang dihadapi. Walau catatan kongres menunjukkan bahwa ada 30 organisasi mengirimkan utusan, tapi sebagian merupakan cabang dari organisasi yang sama (lihat gambar tabel). Sejumlah organisasi di Sumatera mengirimkan telegram berisi dukungannya namun kelihatannya tidak bisa hadir lebih disebabkan karena masalah jarak dan keterbatasan transportasi.
Saat mencatat kegiatan kongres, Ny. Toemenggoeng terkejut karena tidak ada organisasi2 Sunda yang menurut panitia penyelenggara kongres tidak mengenal adanya organisasi Sunda, jawaban yang menurut Ny. Toemenggoeng keliru karena Ny. Abdoerachman sudah mendirikan organisasi yang sangat terkenal di Bogor dengan nama Kemadjoean Isteri tahun 1926.
Menurut catatan si penulis buku, Susan Blackburn, beberapa tokoh feminis Eropa merasa tersinggung karena kongres tersebut hanya diperuntukkan bagi "kaum Pribumi", suatu identitas yang membedakan mereka dari perempuan2 lain.
Jika dibandingkan dengan kongres perempuan Indonesia yang diadakan pada tahun2 berikutnya, Kongres Pertama ini memang didominasi oleh etnis Jawa & acara dibuka dengan lagu penyambutan dalam bahasa Jawa yang diciptakan oleh Soekaptinah. Namun demikian, Selama kongres, hanya 1 perwakilan organisasi yang berpidato menggunakan bahasa Jawa sedangkan sisanya berbahasa Melayu (sebutan untuk bahasa Indonesia jaman Hindia-Belanda). Mengenai bahasa Melayu ini sejak Mei 1928 sudah dijadikan materi dalam kursus yang diselenggarakan oleh Poetri Indonesia Cabang Yogyakarta (semula adalah organisasi sayap perempuan dari Pemoeda Indonesia & kemudian menjadi sayap perempuan PNI).
Sumpah Pemuda yang diadakan lebih dulu pada bulan Oktober 1928 menginspirasi tokoh2 perempuan dari kelompok guru muda Jong Java yang telah membentuk cabang Poetri Indonesia di Yogyakarta, untuk membentuk Panitia Kongres Perempuan yang diketuai oleh R.A. Soekonto dengan Nyi Hajar Dewantoro sebagai wakilnya & Soejatien (Ketua Poetri Indonesia Cabang Yogya) sebagai sekretaris. Ketiga tokoh perempuan ini sebenarnya tidak asing dengan dunia pergerakan karena memiliki hubungan dengan tokoh pergerakan nasionalis Indonesia. R.A. Soekonto adalah kakak dari Ali Sastroamidjojo, dari namanya Nyi Hajar Dewantoro sudah jelas isteri dari Ki Hajar Dewantoto sedangkan Soejatien (saat Kongres masih lajang) adalah murid Soekarno & Ki Hajar Dewantoro.
Beberapa pidato yang dibacakan oleh tokoh2 perempuan pada saat Kongres:
- "Pergerakan Kaoem Isteri, Perkawinan & Pertjeraian", oleh Ny. R.A. Soedirman dari organisadi Poeteri Boedi Sedjati
- "Deradjat Perempoean", oleh Ny. Siti Moendjijah (Aisjijah Djokjakarta)
- "Perkawinan Anak-Anak", oleh Saudari Moegaroemah (Poeteri Indonesia)
- "Kewadjiban & Tjita-Tjita Poeteri Indonesia", oleh Saudari Sitti Soendari
- "Bagaimanakah Djalan Kaoem Perempoean Waktoe Ini & Bagaimanakah Kelak", oleh Saudari Tien Sastrowirjo
- "Kewadjiban Perempoean di Dalam Roemah Tangga", oleh Saudari R.A. Soekonto (Wanita Oetomo)
- "Hal Keadaan Isteri di Europah", oleh Ny. Ali Sastroamidjojo
- "Keadaban Isteri", oleh Nyi Hajar Dewantoro
Sumber:
"Kongres Perempuan Indonesia - Tinjauan Ulang", Susan Blackburn, (YOI & KITLV)"
Mengenal Latar Belakang Gerakan PRRI
Tulisan ini tidak menganalisa mengenai status PRRI/Permesta, apakah
suatu pemberontakan atau bukan, tapi lebih kepada hal2 yang
melatarbelakangi terjadinya gerakan PRRI/Permesta yang sudah dikompilasi
& ditulis seringkas mungkin.
(Catatan: sejauh ini baru ada 1 buku karya penulis lokal yang membahas masalah ini tapi kesimpulannya masih mengambang & belum konklusif, yaitu "PRRI: Pemberontakan atau Bukan?", Syamdani)
Beberapa Faktor Penyebab
Beberapa studi mengenai penyebab PRRI/Permesta umumnya semua bermuara pada ketidakpuasan rakyat atau pimpinan di luar Jawa (Daerah) terhadap penyelenggaraan pemerintahan (Pusat) yang dilakukan para pemimpin RI karena dirasakan terlalu sentralistis & berorientasi Jawa. Sementara sebaliknya, Pusat menganggap bahwa pendapatan Daerah diperuntukkan bagi kepentingan nasional. Pergolakan seperti ini muncul pertama kali di Sumatera pada pertengahan 1950.
Kebijakan Kabinet ketika dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo, lebih mementingkan politik luar negeri dan penggalangan massa politik lewat dropping pegawai dari pusat ke daerah2. Hal yang disebut terakhir berdampak pada terpinggirkannya putra2 daerah untuk tampil membangun daerahnya sendiri. Jenderal Nasution sebenarnya juga cukup risau dengan kenyataan bahwa di Sumatera Tengah jabatan gubernur, residen, jaksa dan kepala polisi semuanya dari Jawa, kecuali pimpinan militer yang asli daerahnya.
Kehancuran sistem perekonomian Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1929 dan berlanjut saat pecahnya revolusi. Setelah penyerahan kedaulatan, pernah diusahakan beberapa upaya perbaikan, misalnya:
- Rencana Urgensi Perekonomian, pada Kabinet Natsir (1951)
- Biro Perancang Negara, pada Kabinet Sukiman (1952)
- Garis-Garis Besar Rancangan Pembangunan Lima Tahun 1950 – 1960
Namun sejak 1953 haluan politik dinilai tidak kondusif bagi pembangunan ekonomi di daerah. Hal ini ditandai dengan penyalahgunaan wewenang pemerintah pusat dalam penggunaan sumber devisa, pemberian ijin atau fasilitias istimewa kepada anggota partai penyokongya dan birokrasi yang berbelit2. Hal ini berimbas, salah satunya, pada kesejahteraan prajurit TNI yang membuat pimpinan2 militer di daerah kecewa. Maka mereka menempuh jalan sendiri2 dalam menghimpun dana, yaitu melakukan perdagangan tanpa prosedur yang seharusnya. Oleh pemerintah pusat kegiatan para petinggi militer di daerah itu disebut “barter”.
Ketidakpuasan di daerah2 ini diperburuk dengan kondisi internal tentara, khususnya AD, yang tidak kompak & bisa dibilang terpecah belah. Malah menurut 1 studi menilai pemberontakan tidak akan terjadi jika AD tetap bersatu (lihat "Keterlibatan Australia Dalam Pemberontakan PRRI/Permesta). Perpecahan di tubuh AD ini ditandai dengan peristiwa 17 Oktober 1952 dimana, menurut 1 versi, pimpinan AD mengajukan petisi kepada Presiden Soekarno untuk membubarkan Parlemen. Tindakan ini mendapat kecaman dari internal AD yang kontra 17 Oktober 1952 yang berbuntut pada diberhentikannya Mayjen Nasution dari jabatan KSAD. Masalah ini berbuntut panjang & menjadi salah 1 sebab yang mendorong perwira2 di Daerah ikut serta dalam PRRI/Permesta.
Faktor lain adalah perkembangan politik dalam negeri dimana Pusat mengambil kebijakan "mengampuni" PKI & memberikan kesempatan berkembang biak di Indonesia. Hasilnya, PKI masuk dalam 4 besar parpol di Pemilu 1955.
Secara ringkas oleh R.Z. Leirissa ditulis dalam bukunya “PRRI/Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis”, ada 4 penyebab menjelang pergolakan, yaitu: (1) Gagalnya Sistem Politik; (2) Gagalnya Pembangunan Ekonomi; (3) Ancaman Komunisme di Indonesia; dan (4) Kesenjangan Internal Angkatan Darat.
Intervensi Asing
Konstelasi ini pastinya tidak luput dari pengamatan AS sebagai kekuatan utama dari blok Barat (kapitalis) kontra blok Timur (komunis) yang sedang berebut pengaruh dari negara2 Asia-Afrika, termasuk Indonesia. Apalagi PKI semakin menancapkan pengaruhnya. AS dan sekutunya merasa khawatir dengan masa depan Indonesia. Hal ini dipandang oleh banyak pengamat sebagai pintu masuk keterlibatan asing terhadap PRRI/Permesta.
Sikap Menlu AS saat itu, John Foster Dulles, sangat tegas & jelas, "...siapa yang tidak berpihak kepada AS adalah musuh AS!" Karenanya, AS akan mendukung bahkan memberikan bantuannya kepada mereka yang melawan komunis di Indonesia (PKI) yang mendapat angin dari Pusat. Hal inilah yang juga memberikan dorongan terjadinya peristiwa PRRI/Permesta.
Detil mengenai analisis keterlibatan AS dijelaskan oleh Audrey R. Kahin & George McT. Kahin di bukunya "Subversi Sebagai Politik Luar Negeri", mulai Bab 3, halaman 67. Misalnya dijelaskan bahwa pada bulan Oktober 1957 CIA menawarkan bantuan keuangan & senjata kepada Kolonel M. Simbolon. Bahkan pesawat amfibi Catalina tercatat pernah mendarat di Danau Singkarak untuk keperluan ini, termasuk pengangkutan personil PRRI dengan kapal selam ke luar negeri untuk memperoleh latihan di Singapura, Thailand & Malaya.
Dalam suatu seminar di Pusat Kajian Wilayah Amerika, Kampus UI Depok, tanggal 21 April 1998, dalam rangka 50 tahun hubungan Indonesia-AS, Kolonel Ventje Sumual mengakui bahwa para pimpinan Permesta telah mengadakan hubungan dengan pihak AS malah ia katakan:
"Sayalah yang mengadakan hubungan...sebagai orang yang bertekad melakukan perlawanan bersenjata melawan Pusat sesuai kesepakatan Sungai Dareh"
Jadi cukup jelas bahwa AS & Inggris mengadakan intervensi dengan membantu pemberontakan tersebut.
Peristiwa Cikini.
Pada tanggal 10 s/d 13 September 1957 sebenarnya telah diupayakan musyawarah nasional oleh PM Djuanda dengan mengundang semua stakeholders termasuk perwira2 pembangkang. Dalam acara ini sempat dibentuk Panitia Tujuh yang menilai perwira2 pembangkang. Sebulan kemudian diadakan musyawarah pembangunan nasional tapi kurang membawa hasil.
Di tengah upaya tersebut, pada tanggal 30 Nopember 1957 terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno yang terkenal dengan nama Peristiwa Cikini. Efek dari peristiwa ini semakin memperburuk hubungan antara Pusat & Daerah karena Soekarno menduga upaya tersebut didalangi oleh perwira2 pembangkang.
Akibatnya, para perwira pembangkang yang dituduh oleh Pusat mengadakan serangkain pertemuan, di antaranya yang krusial adalah Pertemuan Sungai Dareh pada 9 & 10 Desember 1957, yang mempersatukan daerah2 yang sedang bergejolak.
Hasil dari serangkaian pertemuan ini adalah saat diumumkannya Piagam Perjuangan pada tanggal 10 Pebruari 1958 jam 10.00 di Padang oleh Ketua Dewan Perjuangan, Kolonel Ahmad Hussein, yang isinya kurang lebih mengultimatum Presiden untuk mengambil kembali mandat dari Kabinet Djuanda dalam waktu 5 x 24 jam.
Pusat kemudian menindaklanjuti tuntutan Daerah dengan mengadakan sidang kabinet pada 11 Pebruari 1958 yang isinya menolak ultimatum Dewan Perjuangan.
Penolakan dari Pemerintah Pusat direspon dengan membentuk dan mengumumkan Kabinet PRRI pada 15 Pebruari 1958.
Presiden Soekarno yang baru tiba dalam lawatan ke luar negeri memerintahkan tindakan tegas terhadap penyelewengan yang diumumkan PRRI.
Sumber:
1. "PRRI: Pemberontakan atau Bukan?", Syamdani
2. "Subversi Sebagai Politik Luar Negeri", Audrey R. Kahin & George McT. Kahin
3. "PRRI/Permesta - Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis”, R.Z. Leirissa
4. "Di Bawah Bayang2 AS - Keterlibatan AS Dalam Pemberontakan PRRI/Permesta”, Boogie Wibowo
(Catatan: sejauh ini baru ada 1 buku karya penulis lokal yang membahas masalah ini tapi kesimpulannya masih mengambang & belum konklusif, yaitu "PRRI: Pemberontakan atau Bukan?", Syamdani)
Beberapa Faktor Penyebab
Beberapa studi mengenai penyebab PRRI/Permesta umumnya semua bermuara pada ketidakpuasan rakyat atau pimpinan di luar Jawa (Daerah) terhadap penyelenggaraan pemerintahan (Pusat) yang dilakukan para pemimpin RI karena dirasakan terlalu sentralistis & berorientasi Jawa. Sementara sebaliknya, Pusat menganggap bahwa pendapatan Daerah diperuntukkan bagi kepentingan nasional. Pergolakan seperti ini muncul pertama kali di Sumatera pada pertengahan 1950.
Kebijakan Kabinet ketika dipimpin oleh Ali Sastroamidjojo, lebih mementingkan politik luar negeri dan penggalangan massa politik lewat dropping pegawai dari pusat ke daerah2. Hal yang disebut terakhir berdampak pada terpinggirkannya putra2 daerah untuk tampil membangun daerahnya sendiri. Jenderal Nasution sebenarnya juga cukup risau dengan kenyataan bahwa di Sumatera Tengah jabatan gubernur, residen, jaksa dan kepala polisi semuanya dari Jawa, kecuali pimpinan militer yang asli daerahnya.
Kehancuran sistem perekonomian Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1929 dan berlanjut saat pecahnya revolusi. Setelah penyerahan kedaulatan, pernah diusahakan beberapa upaya perbaikan, misalnya:
- Rencana Urgensi Perekonomian, pada Kabinet Natsir (1951)
- Biro Perancang Negara, pada Kabinet Sukiman (1952)
- Garis-Garis Besar Rancangan Pembangunan Lima Tahun 1950 – 1960
Namun sejak 1953 haluan politik dinilai tidak kondusif bagi pembangunan ekonomi di daerah. Hal ini ditandai dengan penyalahgunaan wewenang pemerintah pusat dalam penggunaan sumber devisa, pemberian ijin atau fasilitias istimewa kepada anggota partai penyokongya dan birokrasi yang berbelit2. Hal ini berimbas, salah satunya, pada kesejahteraan prajurit TNI yang membuat pimpinan2 militer di daerah kecewa. Maka mereka menempuh jalan sendiri2 dalam menghimpun dana, yaitu melakukan perdagangan tanpa prosedur yang seharusnya. Oleh pemerintah pusat kegiatan para petinggi militer di daerah itu disebut “barter”.
Ketidakpuasan di daerah2 ini diperburuk dengan kondisi internal tentara, khususnya AD, yang tidak kompak & bisa dibilang terpecah belah. Malah menurut 1 studi menilai pemberontakan tidak akan terjadi jika AD tetap bersatu (lihat "Keterlibatan Australia Dalam Pemberontakan PRRI/Permesta). Perpecahan di tubuh AD ini ditandai dengan peristiwa 17 Oktober 1952 dimana, menurut 1 versi, pimpinan AD mengajukan petisi kepada Presiden Soekarno untuk membubarkan Parlemen. Tindakan ini mendapat kecaman dari internal AD yang kontra 17 Oktober 1952 yang berbuntut pada diberhentikannya Mayjen Nasution dari jabatan KSAD. Masalah ini berbuntut panjang & menjadi salah 1 sebab yang mendorong perwira2 di Daerah ikut serta dalam PRRI/Permesta.
Faktor lain adalah perkembangan politik dalam negeri dimana Pusat mengambil kebijakan "mengampuni" PKI & memberikan kesempatan berkembang biak di Indonesia. Hasilnya, PKI masuk dalam 4 besar parpol di Pemilu 1955.
Secara ringkas oleh R.Z. Leirissa ditulis dalam bukunya “PRRI/Permesta, Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis”, ada 4 penyebab menjelang pergolakan, yaitu: (1) Gagalnya Sistem Politik; (2) Gagalnya Pembangunan Ekonomi; (3) Ancaman Komunisme di Indonesia; dan (4) Kesenjangan Internal Angkatan Darat.
Intervensi Asing
Konstelasi ini pastinya tidak luput dari pengamatan AS sebagai kekuatan utama dari blok Barat (kapitalis) kontra blok Timur (komunis) yang sedang berebut pengaruh dari negara2 Asia-Afrika, termasuk Indonesia. Apalagi PKI semakin menancapkan pengaruhnya. AS dan sekutunya merasa khawatir dengan masa depan Indonesia. Hal ini dipandang oleh banyak pengamat sebagai pintu masuk keterlibatan asing terhadap PRRI/Permesta.
Sikap Menlu AS saat itu, John Foster Dulles, sangat tegas & jelas, "...siapa yang tidak berpihak kepada AS adalah musuh AS!" Karenanya, AS akan mendukung bahkan memberikan bantuannya kepada mereka yang melawan komunis di Indonesia (PKI) yang mendapat angin dari Pusat. Hal inilah yang juga memberikan dorongan terjadinya peristiwa PRRI/Permesta.
Detil mengenai analisis keterlibatan AS dijelaskan oleh Audrey R. Kahin & George McT. Kahin di bukunya "Subversi Sebagai Politik Luar Negeri", mulai Bab 3, halaman 67. Misalnya dijelaskan bahwa pada bulan Oktober 1957 CIA menawarkan bantuan keuangan & senjata kepada Kolonel M. Simbolon. Bahkan pesawat amfibi Catalina tercatat pernah mendarat di Danau Singkarak untuk keperluan ini, termasuk pengangkutan personil PRRI dengan kapal selam ke luar negeri untuk memperoleh latihan di Singapura, Thailand & Malaya.
Dalam suatu seminar di Pusat Kajian Wilayah Amerika, Kampus UI Depok, tanggal 21 April 1998, dalam rangka 50 tahun hubungan Indonesia-AS, Kolonel Ventje Sumual mengakui bahwa para pimpinan Permesta telah mengadakan hubungan dengan pihak AS malah ia katakan:
"Sayalah yang mengadakan hubungan...sebagai orang yang bertekad melakukan perlawanan bersenjata melawan Pusat sesuai kesepakatan Sungai Dareh"
Jadi cukup jelas bahwa AS & Inggris mengadakan intervensi dengan membantu pemberontakan tersebut.
Peristiwa Cikini.
Pada tanggal 10 s/d 13 September 1957 sebenarnya telah diupayakan musyawarah nasional oleh PM Djuanda dengan mengundang semua stakeholders termasuk perwira2 pembangkang. Dalam acara ini sempat dibentuk Panitia Tujuh yang menilai perwira2 pembangkang. Sebulan kemudian diadakan musyawarah pembangunan nasional tapi kurang membawa hasil.
Di tengah upaya tersebut, pada tanggal 30 Nopember 1957 terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno yang terkenal dengan nama Peristiwa Cikini. Efek dari peristiwa ini semakin memperburuk hubungan antara Pusat & Daerah karena Soekarno menduga upaya tersebut didalangi oleh perwira2 pembangkang.
Akibatnya, para perwira pembangkang yang dituduh oleh Pusat mengadakan serangkain pertemuan, di antaranya yang krusial adalah Pertemuan Sungai Dareh pada 9 & 10 Desember 1957, yang mempersatukan daerah2 yang sedang bergejolak.
Hasil dari serangkaian pertemuan ini adalah saat diumumkannya Piagam Perjuangan pada tanggal 10 Pebruari 1958 jam 10.00 di Padang oleh Ketua Dewan Perjuangan, Kolonel Ahmad Hussein, yang isinya kurang lebih mengultimatum Presiden untuk mengambil kembali mandat dari Kabinet Djuanda dalam waktu 5 x 24 jam.
Pusat kemudian menindaklanjuti tuntutan Daerah dengan mengadakan sidang kabinet pada 11 Pebruari 1958 yang isinya menolak ultimatum Dewan Perjuangan.
Penolakan dari Pemerintah Pusat direspon dengan membentuk dan mengumumkan Kabinet PRRI pada 15 Pebruari 1958.
Presiden Soekarno yang baru tiba dalam lawatan ke luar negeri memerintahkan tindakan tegas terhadap penyelewengan yang diumumkan PRRI.
Sumber:
1. "PRRI: Pemberontakan atau Bukan?", Syamdani
2. "Subversi Sebagai Politik Luar Negeri", Audrey R. Kahin & George McT. Kahin
3. "PRRI/Permesta - Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis”, R.Z. Leirissa
4. "Di Bawah Bayang2 AS - Keterlibatan AS Dalam Pemberontakan PRRI/Permesta”, Boogie Wibowo
Ratu Adil, Apa dan Mengapa?
Selama ini kita sering mendengar tentang berita yang menyebutkan
kedatangan "Ratu Adil". Sebagian dari kita mungkin ada yang menilai
"Ratu Adil" sebagai mitos. Apakah demikian semata adanya? Dalam arti,
apakah "Ratu Adil" tidak bisa dilihat dari aspek keilmuan lain?
Dari kata yang disematkannya, "mitos" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka berarti cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, mengandung hal-hal yang dianggap ajaib dan umumnya ditokohi oleh para dewa.
Sedangkan "Ratu Adil", seperti dikutip dari "Enslikopedi Nasional Indonesia, Jilid 14" (B. Setiawan) oleh Dwi Eriska Agustin dalam skripsi yang berjudul "Pengaruh Mitos Ratu Adil Dalam Perang Jawa" adalah sebutan untuk tokoh kharismatis, "pesuruh Tuhan" yang memimpin gerakan dalam menentang berbagai perubahan sosial sebagai akibat penetrasi pemerintahan kolonial yang semakin kuat.
Menurut Prof DR H Mohammad Rasyidi harapan akan datangnya seorang "juru selamat" merupakan gejala kemanusian yang umum, karena orang yang berada dalam penderitaan atau tekanan yang tak tertahankan, akan mengharapkan datangnya seseorang yang bisa membebaskannya dari penderitaan itu.
Harus diakui, masih banyak masyarakat kita percaya, khususnya di kalangan marginal, bahwa Ratu Adil akan datang atas nama Tuhan untuk menghukum orang-orang Jahat. Di masyarakat Jawa hal ini telah tumbuh & terpelihara setidaknya sejak abad ke 12 yang dikenal dengan "Ramalan Jayabaya" (Raja Kediri).
Namun demikian, ternyata konsep "Ratu Adil" tidak melulu urusan mitos, tapi dapat dipelajari sebagai bagian dari ilmu pengetahuan di bidang sejarah. Salah seorang pakar historiografi Indonesia yang menjadikan "Ratu Adil" sebagai salah satu karya terbesarnya adalah Prof. Sartono Kartodirdjo.
Mengutip dari buku "100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia", Sartono dikenal sebagai pelopor penulisan sejarah dari sudut pandang rakyat kecill. Jika sebelumnya, sejarah adalah milik penguasa (dari zaman kerajaan hingga zaman republik) maka Sartono membalikkan kebiasaan tersebut. Ia menulis sejarah dari persepsi wong cilik. Justru karena itulah, hasil karyanya memiliki banyak keistimewaan. Sartono mengulas secara mendalam Gerakan Ratu Adil (millenarianisme) atau sering juga disebut gerakan Juru Selamat (mesianisme) atau gerakan Pribumi (nativisme) atau Kenabian (prophetisme) atau Penghidupan Kembali (Revivalisme), sebagai gerakan keagamaan yang menantikan datangnya seorang Juru Selamat, Imam Mahdi, atau Mesias; Ratu yang akan membawa kebahagiaan dan kemakmuran seperti pada masa lampau. Disebut gerakan keagamaan karena banyak gerakan sosial (termasuk kerusuhan, pemberontakan & sektarianisme) cenderung berhubungan dengan gerakan2 yang diilhami oleh agama atau menggunakan cara2 agama untuk mewujudkan tujuan2 gaib mereka. Pada umumnya gerakan sosial tersebut mempunyai segi2 yang bercorak keagamaan.
Oleh Sartono, Pralambang Jayabaya (untuk menyebut Ramalan Jayabaya), sebagai suatu mesianisme tampak dengan jelas dalam fakta2 historis, yang disebut sebagai huru-hara atau kerusuhan. Sebagai sebuah gerakan, fakta2 itu bermotifkan kepercayaan kepada kedatangan Ratu Adil.
Contoh2 peristiwa berdasarkan kajian sejarah Sartono yang tercatat di dalam bukunya antara lain:
- Peristiwa Mangkuwijaya di Klaten pada1865
- Peristiwa Nyi Aciah, di Malangbong (1870)
- Peristiwa Nurhakim (1870)
- Gerakan Amat Ngaisa dan/atau Gerakan Kobra (1871)
- Gerakan Mas Malangyuda dari Rajawana Kidul (1877)
- Kasus Nanggulan oleh Sukradana (1878)
- Peristiwa Imam Sujana (1886)
- Pemberontakan Srikaton di Cilegon (1888)
- Peristiwa Jasmani (1888)
- Peristiwa Tegalreja oleh Dulmadjid (1889)
- Kasus Pulung, Srikaton & Jalegong (1904)
- Gerakan Imam Buntaran (1907)
- Peristiwa Tangerang (1924)
- Peristiwa Srandakan oleh Kramaseja (1924)
- Peristiwa Tambakmerang oleh Wirasenjaya (1935)
Oleh Sartono, ditarik kesimpulan dari peristiwa2 di atas yaitu terdapat beberapa ciri umum yang dapat dikemukakan, yaitu: messianistic, millenaristic, nativistic, segi2 ramalan, ide tentang perang suci, kebencian terhadap apa saja yang berbau asing, magico-mysticism & pujaan terhadap nenek moyang.
Sebagai ideologi dari gerakan sosial, Ratu Adil atau mesianisme secara inheren memuat sifat radikal dan revolusioner. Kepercayaan mesianistis membangkitkan bahwa masyarakat adil dan makmur dapat dipastikan akan datang, maka wajar bila rakyat yang penuh keyakinan itu bersedia merealisasikan ramalan itu secara radikal dan revolusioner. Rakyat tidak segan menempuh jalan apapun, apalagi rakyat sudah menaruh loyalitas total pada sang Ratu Adil, sehingga jika perlu mengadakan perjuangan dengan mempertaruhkan hidupnya.
Sartono juga menyebut Perang Diponegoro (1825-1830) adalah salah satu gerakan mesianistis yang tertua yang pernah terjadi di Jawa.
Dalam sejarahnya, gerakan Ratu Adil ini tidak lepas juga dari propaganda politik dari pihak2 yang berkepentingan.
Kita tentu masih ingat Peristiwa APRA yang diotaki & digerakkan oleh Westerling. Seorang Westerling pun memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya, oleh karenanya ia menggunakan nama "Ratu Adil" sebagai embel2 gerakannya untuk menarik minat massa.
Adanya berbagai ciri mengenai Ratu Adil tidak mudah menunjuk sosok manusia untuk dijadikan atau dianggap sebagai Ratu Adil, sehingga muncul dugaan & anggapan terhadap berbagai macam sosok manusia yang diklaim sebagai Ratu Adil oleh golongan tertentu apabila yang bersangkutan merupakan sosok yang memiliki kharisma tinggi.
Munculnya H.O.S Cokro Aminoto, Ir. Sukarno, Soeharto, Gus Dur dan Megawati dalam sejarah Indonesia juga dipandang sebagai bukti rakyat mempercayai tokoh tersebut hadir sebagai sang Ratu Adil sehingga dalam ruang geraknya mendapatkan dukungan yang luar biasa dari rakyat.
Dalam konteks politik kekinian, isu Ratu Adil biasanya selalu muncul menjelang pemilihan umum, baca misalnya:
http://m.tribunnews.com/…/petani-jember-sebut-jokowi-ratu-a…
Untuk masalah ini menurut Sartono, memberikan watak politik atau watak revolusioner pada setiap gerakan keagamaan adalah kekeliruan.
Menurut saya (TS), mungkin jika diskursus mengenai Ratu Adil bermuatan politis atau dibatasi hanya pada urusan politik, maka itulah mitos Ratu Adil yang sebenarnya.
Mendiang Budayawan W.S. Rendra dalam banyak forum perbincangan pernah menyinggung hal ini:
"Sudahlah Ratu Adil tak ada. Dia tak akan datang. Lagipula kita tidak butuh Ratu Adil, kita hanya butuh hukum yang adil!"
Impian akan datangnya Ratu Adil, kata dia, merupakan impian yang muncul akibat kuatnya represi sehingga keadilan dan kesejahteraan di masyarakat yang menghilang. Suasana terasa sumpek karena hanya berisi keculasan. Budaya dan sistem sosial terasa tak berguna karena hanya menyajian kerendahan selera.
Jadi, masih percaya Ratu Adil itu hanya mitos belaka?
Sumber:
1. "Ratu Adil", Sartono Kartodirdjo
2. "Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia", Sartono Kartodirdjo
3. "Pengaruh Mitos Ratu Adil Dalam Perang Jawa", Dwi Eriska Agustin
4. http://m.republika.co.id/…/n6j7k319-di-bawah-bayang-ratu-ad…
5. http://www.filsafat-uin-suka.com/…/sosok-ratu-adil-dalam-ra…
Dari kata yang disematkannya, "mitos" menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka berarti cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, mengandung hal-hal yang dianggap ajaib dan umumnya ditokohi oleh para dewa.
Sedangkan "Ratu Adil", seperti dikutip dari "Enslikopedi Nasional Indonesia, Jilid 14" (B. Setiawan) oleh Dwi Eriska Agustin dalam skripsi yang berjudul "Pengaruh Mitos Ratu Adil Dalam Perang Jawa" adalah sebutan untuk tokoh kharismatis, "pesuruh Tuhan" yang memimpin gerakan dalam menentang berbagai perubahan sosial sebagai akibat penetrasi pemerintahan kolonial yang semakin kuat.
Menurut Prof DR H Mohammad Rasyidi harapan akan datangnya seorang "juru selamat" merupakan gejala kemanusian yang umum, karena orang yang berada dalam penderitaan atau tekanan yang tak tertahankan, akan mengharapkan datangnya seseorang yang bisa membebaskannya dari penderitaan itu.
Harus diakui, masih banyak masyarakat kita percaya, khususnya di kalangan marginal, bahwa Ratu Adil akan datang atas nama Tuhan untuk menghukum orang-orang Jahat. Di masyarakat Jawa hal ini telah tumbuh & terpelihara setidaknya sejak abad ke 12 yang dikenal dengan "Ramalan Jayabaya" (Raja Kediri).
Namun demikian, ternyata konsep "Ratu Adil" tidak melulu urusan mitos, tapi dapat dipelajari sebagai bagian dari ilmu pengetahuan di bidang sejarah. Salah seorang pakar historiografi Indonesia yang menjadikan "Ratu Adil" sebagai salah satu karya terbesarnya adalah Prof. Sartono Kartodirdjo.
Mengutip dari buku "100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia", Sartono dikenal sebagai pelopor penulisan sejarah dari sudut pandang rakyat kecill. Jika sebelumnya, sejarah adalah milik penguasa (dari zaman kerajaan hingga zaman republik) maka Sartono membalikkan kebiasaan tersebut. Ia menulis sejarah dari persepsi wong cilik. Justru karena itulah, hasil karyanya memiliki banyak keistimewaan. Sartono mengulas secara mendalam Gerakan Ratu Adil (millenarianisme) atau sering juga disebut gerakan Juru Selamat (mesianisme) atau gerakan Pribumi (nativisme) atau Kenabian (prophetisme) atau Penghidupan Kembali (Revivalisme), sebagai gerakan keagamaan yang menantikan datangnya seorang Juru Selamat, Imam Mahdi, atau Mesias; Ratu yang akan membawa kebahagiaan dan kemakmuran seperti pada masa lampau. Disebut gerakan keagamaan karena banyak gerakan sosial (termasuk kerusuhan, pemberontakan & sektarianisme) cenderung berhubungan dengan gerakan2 yang diilhami oleh agama atau menggunakan cara2 agama untuk mewujudkan tujuan2 gaib mereka. Pada umumnya gerakan sosial tersebut mempunyai segi2 yang bercorak keagamaan.
Oleh Sartono, Pralambang Jayabaya (untuk menyebut Ramalan Jayabaya), sebagai suatu mesianisme tampak dengan jelas dalam fakta2 historis, yang disebut sebagai huru-hara atau kerusuhan. Sebagai sebuah gerakan, fakta2 itu bermotifkan kepercayaan kepada kedatangan Ratu Adil.
Contoh2 peristiwa berdasarkan kajian sejarah Sartono yang tercatat di dalam bukunya antara lain:
- Peristiwa Mangkuwijaya di Klaten pada1865
- Peristiwa Nyi Aciah, di Malangbong (1870)
- Peristiwa Nurhakim (1870)
- Gerakan Amat Ngaisa dan/atau Gerakan Kobra (1871)
- Gerakan Mas Malangyuda dari Rajawana Kidul (1877)
- Kasus Nanggulan oleh Sukradana (1878)
- Peristiwa Imam Sujana (1886)
- Pemberontakan Srikaton di Cilegon (1888)
- Peristiwa Jasmani (1888)
- Peristiwa Tegalreja oleh Dulmadjid (1889)
- Kasus Pulung, Srikaton & Jalegong (1904)
- Gerakan Imam Buntaran (1907)
- Peristiwa Tangerang (1924)
- Peristiwa Srandakan oleh Kramaseja (1924)
- Peristiwa Tambakmerang oleh Wirasenjaya (1935)
Oleh Sartono, ditarik kesimpulan dari peristiwa2 di atas yaitu terdapat beberapa ciri umum yang dapat dikemukakan, yaitu: messianistic, millenaristic, nativistic, segi2 ramalan, ide tentang perang suci, kebencian terhadap apa saja yang berbau asing, magico-mysticism & pujaan terhadap nenek moyang.
Sebagai ideologi dari gerakan sosial, Ratu Adil atau mesianisme secara inheren memuat sifat radikal dan revolusioner. Kepercayaan mesianistis membangkitkan bahwa masyarakat adil dan makmur dapat dipastikan akan datang, maka wajar bila rakyat yang penuh keyakinan itu bersedia merealisasikan ramalan itu secara radikal dan revolusioner. Rakyat tidak segan menempuh jalan apapun, apalagi rakyat sudah menaruh loyalitas total pada sang Ratu Adil, sehingga jika perlu mengadakan perjuangan dengan mempertaruhkan hidupnya.
Sartono juga menyebut Perang Diponegoro (1825-1830) adalah salah satu gerakan mesianistis yang tertua yang pernah terjadi di Jawa.
Dalam sejarahnya, gerakan Ratu Adil ini tidak lepas juga dari propaganda politik dari pihak2 yang berkepentingan.
Kita tentu masih ingat Peristiwa APRA yang diotaki & digerakkan oleh Westerling. Seorang Westerling pun memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya, oleh karenanya ia menggunakan nama "Ratu Adil" sebagai embel2 gerakannya untuk menarik minat massa.
Adanya berbagai ciri mengenai Ratu Adil tidak mudah menunjuk sosok manusia untuk dijadikan atau dianggap sebagai Ratu Adil, sehingga muncul dugaan & anggapan terhadap berbagai macam sosok manusia yang diklaim sebagai Ratu Adil oleh golongan tertentu apabila yang bersangkutan merupakan sosok yang memiliki kharisma tinggi.
Munculnya H.O.S Cokro Aminoto, Ir. Sukarno, Soeharto, Gus Dur dan Megawati dalam sejarah Indonesia juga dipandang sebagai bukti rakyat mempercayai tokoh tersebut hadir sebagai sang Ratu Adil sehingga dalam ruang geraknya mendapatkan dukungan yang luar biasa dari rakyat.
Dalam konteks politik kekinian, isu Ratu Adil biasanya selalu muncul menjelang pemilihan umum, baca misalnya:
http://m.tribunnews.com/…/petani-jember-sebut-jokowi-ratu-a…
Untuk masalah ini menurut Sartono, memberikan watak politik atau watak revolusioner pada setiap gerakan keagamaan adalah kekeliruan.
Menurut saya (TS), mungkin jika diskursus mengenai Ratu Adil bermuatan politis atau dibatasi hanya pada urusan politik, maka itulah mitos Ratu Adil yang sebenarnya.
Mendiang Budayawan W.S. Rendra dalam banyak forum perbincangan pernah menyinggung hal ini:
"Sudahlah Ratu Adil tak ada. Dia tak akan datang. Lagipula kita tidak butuh Ratu Adil, kita hanya butuh hukum yang adil!"
Impian akan datangnya Ratu Adil, kata dia, merupakan impian yang muncul akibat kuatnya represi sehingga keadilan dan kesejahteraan di masyarakat yang menghilang. Suasana terasa sumpek karena hanya berisi keculasan. Budaya dan sistem sosial terasa tak berguna karena hanya menyajian kerendahan selera.
Jadi, masih percaya Ratu Adil itu hanya mitos belaka?
Sumber:
1. "Ratu Adil", Sartono Kartodirdjo
2. "Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia", Sartono Kartodirdjo
3. "Pengaruh Mitos Ratu Adil Dalam Perang Jawa", Dwi Eriska Agustin
4. http://m.republika.co.id/…/n6j7k319-di-bawah-bayang-ratu-ad…
5. http://www.filsafat-uin-suka.com/…/sosok-ratu-adil-dalam-ra…
Toko Merah dan Akademi Maritim Tertua di Asia
Banyak di antara kita sudah mengetahui tentang Toko Merah di Jalan
Kalibesar Barat, yang keberadaannya sudah dijadikan salah satu destinasi
wisata kota tua di Jakarta. Meski sudah berusia 3 abad lebih tapi
bangunan berlantai 2 ini masih berdiri kokoh & pernah didiami oleh
sejumlah gubernur jenderal Hindia-Belanda di masa penjajahan dulu.
Menurut catatan Alwi Shahab, gedung yang hampir seluruh bagian depannya berwarna merah ini dibangun
pada 1730 oleh Gustaff Baron van Imhoff, seorang kelahiran Jerman, jauh
sebelum ia diangkat menjadi gubernur jenderal. Van Imhoff diangkat
menjadi gubernur jenderal pada 1743 pasca peristiwa pembantaian berdarah
warga Tionghoa 1740 & menjabat hingga 1750.
Tahukah kita bahwa salah satu okupasi gedung ini dulu adalah sebagai "Academie de Marine", tempat mendidik & melatih calon perwira di bidang pelayaran atau akademi maritim. Menurut situs resmi pemprov DKI, akademi ini adalah yang tertua di Asia.
Sebagai syarat penerimaannya saat itu adalah diperuntukkan bagi seorang yang berusia 12 s/d 14 tahun & beragama Kristen-Protestan. Lama pendidikan 6 tahun (kalo merujuk ke situs pemprov DKI cuma 4 tahun) & selama itu pula para taruna tidak diperbolehkan menggunakan bahasa Melayu. Waktu belajar adalah 4 hari, dengan pelajaran berkuda & dansa pada hari Sabtu.
Sedemikian ketatnya aturan yang diterapkan, bagi taruna yang melanggar disiplin akan dihukum di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Bila kadet yang meninggalkan tugasnya, akan ditawan di Pulau Onrust atau Pulau Edam & untuk memperoleh makanan, mereka harus bisa bekerja pada salah satu galangan kapal yang ada di sana, sementara uang saku selama mereka menjalani hukuman diambil oleh akademi. Sedangkan bagi taruna yang kedapatan membaca buku2 terlarang (porno) atau bermain kartu, akan dikurung selama 4 hari dengan kaki terendam dalam air & hanya diberikan makanan nasi tanpa sayur & lauk pauk.
Berdasarkan catatan Depdikbud, usia akademi ini tidak panjang karena oleh pengganti Gubernur Jenderal van Imhoff, Gubernur Jenderal Mossel, lembaga ini ditutup pada 1755 dengan alasan jumlah lulusannya yang minim sementara biaya operasionalnya tinggi.
Sumber:
1. "Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman", Depdikbud
2. "Maria van Engels, Menantu Habib Kwitang", Alwi Shahab
3. http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/32
4. https://alwishahab.wordpress.com/…/toko-merah-saksi-sejara…/
5. Foto Toko Merah courtesy to http://www.fotografer.net/forum/view.php?id=3194074328
6. Gambar van Imhoff courtesy to http://www.swaen.com/antique-map-of.php?id=16771
Tahukah kita bahwa salah satu okupasi gedung ini dulu adalah sebagai "Academie de Marine", tempat mendidik & melatih calon perwira di bidang pelayaran atau akademi maritim. Menurut situs resmi pemprov DKI, akademi ini adalah yang tertua di Asia.
Sebagai syarat penerimaannya saat itu adalah diperuntukkan bagi seorang yang berusia 12 s/d 14 tahun & beragama Kristen-Protestan. Lama pendidikan 6 tahun (kalo merujuk ke situs pemprov DKI cuma 4 tahun) & selama itu pula para taruna tidak diperbolehkan menggunakan bahasa Melayu. Waktu belajar adalah 4 hari, dengan pelajaran berkuda & dansa pada hari Sabtu.
Sedemikian ketatnya aturan yang diterapkan, bagi taruna yang melanggar disiplin akan dihukum di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu. Bila kadet yang meninggalkan tugasnya, akan ditawan di Pulau Onrust atau Pulau Edam & untuk memperoleh makanan, mereka harus bisa bekerja pada salah satu galangan kapal yang ada di sana, sementara uang saku selama mereka menjalani hukuman diambil oleh akademi. Sedangkan bagi taruna yang kedapatan membaca buku2 terlarang (porno) atau bermain kartu, akan dikurung selama 4 hari dengan kaki terendam dalam air & hanya diberikan makanan nasi tanpa sayur & lauk pauk.
Berdasarkan catatan Depdikbud, usia akademi ini tidak panjang karena oleh pengganti Gubernur Jenderal van Imhoff, Gubernur Jenderal Mossel, lembaga ini ditutup pada 1755 dengan alasan jumlah lulusannya yang minim sementara biaya operasionalnya tinggi.
Sumber:
1. "Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman", Depdikbud
2. "Maria van Engels, Menantu Habib Kwitang", Alwi Shahab
3. http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/32
4. https://alwishahab.wordpress.com/…/toko-merah-saksi-sejara…/
5. Foto Toko Merah courtesy to http://www.fotografer.net/forum/view.php?id=3194074328
6. Gambar van Imhoff courtesy to http://www.swaen.com/antique-map-of.php?id=16771
Konflik Internal AURI - Insiden Cililitan
Selama ini publik sudah mahfum dengan konflik2 internal yang pernah
terjadi di lingkungan korps TNI AD, yang tercatat di antaranya yang
terkenal adalah Peristiwa 17 Oktober 1952 saat moncong meriam diarahkan
ke Istana. Bung Karno dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams
menyebut peristiwa ini sebagai "half a coup" atau "setengah kudeta" atau
"percobaan kudeta".
Sebenarnya, konflik internal bukan hanya terjadi di TNI AD tetapi pernah terjadi juga di korps AURI.
Jika di dalam konflik TNI AD kebijakan KSAD dikritik karena lebih condong kepada prajurit2 bekas didikan Belanda daripada mereka yang bekas didikan Jepang, di dalam konflik internal AURI yang terjadi justru sebaliknya, kebijakan KSAU dinilai lebih condong terhadap perwira bekas didikan Jepang daripada mereka yang bekas didikan Belanda.
Menurut Mayjen (Purn) Kivlan Zein yang menulis buku "Konflik dan Integrasi TNI AD", sejak 28/29 Januari 1952 para komodor udara seperti Suyono melakukan rapat di Halim & selanjutnya membawa masalah ini ke Parlemen seperti yang dilakukan Bambang Supeno jelang Peristiwa 17 Oktober 1952.
Rapat serupa kembali digelar pada 2/12 Juli 1952, yang dikoordinir Suyono dan Wiweko untuk membahas pendidikan dan penerbangan AURI. Rapat ini berujung kepada kecaman terhadap kepemimpinan KSAU Suryadarma.
Akibat tindakan itu, Suyono dipanggil ke Mabes AU & diperintahkan belajar ke luar negeri yang menurut Suyono sebagai hukuman. Ia lalu membuat pengaduan kepada Menteri Pertahanan & seksi pertahanan DPR tapi Presiden Sukarno tetap mempertahankan Suryadarma sebagai KSAU. Suyono kemudian dikenakan tahanan rumah & pada bulan Juli 1955 statusnya diubah menjadi tahanan kota.
Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap, Suyono direhabilitasi & diangkat sebagai Wakil KSAU, jabatan yang belum pernah ada sebelumnya.
Pada saat pelantikan Suyono pada 14 Desember 1955, terjadilah peristiwa yang dikenal dengan "Insiden Cililitan", yaitu saat Perdana Menteri Burhanuddin Harahap menyampaikan pidatonya, beberapa perwira AURI & prajurit yang pembawa panji2 kehormatan AURI tiba2 merangsek maju & berteriak "tidak setuju" lalu meninggalkan lapangan upacara. Sempat terjadi juga penyerangan oleh Sersan Udara Kalebos terhadap Komodor Muda Udara Wiweko Supono yang hadir pada upacara tersebut.
Insiden yang sama juga disinggung di dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI.
Oleh Kivlain Zein bahkan digambarkan sempat terjadi penodongan senjata kepada para tamu undangan.
Upacara pelantikan pun dibatalkan karena PM Burhanuddin menolak pelantikan tanpa panji2 kehormatan AURI.
Setelah insiden tersebut, Suryadarma mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai KSAU tapi ditolak oleh Presiden Soekarno.
Masalah ini kemudian diselesaikan dalam pertemuan Gabungan Kepala Staf (GKS) yang memutuskan bahwa jabatan wakil KSAU dibatalkan. GKS juga mengecam kabinet karena dalam pengangkatan Wakil KSAU tidak mempertimbangkan kondisi psikologis para perwira yang tidak setuju serta tidak meminta pertimbangan dari KSAU.
Sumber:
1. "Konflik dan Integrasi TNI AD", Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein, MSi
2. "Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia", Nugroho Notosusanto, et.al.
3. "Politik Militer Angkatan Udara Republik Indonesia Dalam Pemerintahan Sukarno 1962-1966", Humaidi, UI Depok
Sebenarnya, konflik internal bukan hanya terjadi di TNI AD tetapi pernah terjadi juga di korps AURI.
Jika di dalam konflik TNI AD kebijakan KSAD dikritik karena lebih condong kepada prajurit2 bekas didikan Belanda daripada mereka yang bekas didikan Jepang, di dalam konflik internal AURI yang terjadi justru sebaliknya, kebijakan KSAU dinilai lebih condong terhadap perwira bekas didikan Jepang daripada mereka yang bekas didikan Belanda.
Menurut Mayjen (Purn) Kivlan Zein yang menulis buku "Konflik dan Integrasi TNI AD", sejak 28/29 Januari 1952 para komodor udara seperti Suyono melakukan rapat di Halim & selanjutnya membawa masalah ini ke Parlemen seperti yang dilakukan Bambang Supeno jelang Peristiwa 17 Oktober 1952.
Rapat serupa kembali digelar pada 2/12 Juli 1952, yang dikoordinir Suyono dan Wiweko untuk membahas pendidikan dan penerbangan AURI. Rapat ini berujung kepada kecaman terhadap kepemimpinan KSAU Suryadarma.
Akibat tindakan itu, Suyono dipanggil ke Mabes AU & diperintahkan belajar ke luar negeri yang menurut Suyono sebagai hukuman. Ia lalu membuat pengaduan kepada Menteri Pertahanan & seksi pertahanan DPR tapi Presiden Sukarno tetap mempertahankan Suryadarma sebagai KSAU. Suyono kemudian dikenakan tahanan rumah & pada bulan Juli 1955 statusnya diubah menjadi tahanan kota.
Setelah Kabinet Ali Sastroamidjojo jatuh digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap, Suyono direhabilitasi & diangkat sebagai Wakil KSAU, jabatan yang belum pernah ada sebelumnya.
Pada saat pelantikan Suyono pada 14 Desember 1955, terjadilah peristiwa yang dikenal dengan "Insiden Cililitan", yaitu saat Perdana Menteri Burhanuddin Harahap menyampaikan pidatonya, beberapa perwira AURI & prajurit yang pembawa panji2 kehormatan AURI tiba2 merangsek maju & berteriak "tidak setuju" lalu meninggalkan lapangan upacara. Sempat terjadi juga penyerangan oleh Sersan Udara Kalebos terhadap Komodor Muda Udara Wiweko Supono yang hadir pada upacara tersebut.
Insiden yang sama juga disinggung di dalam buku Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI.
Oleh Kivlain Zein bahkan digambarkan sempat terjadi penodongan senjata kepada para tamu undangan.
Upacara pelantikan pun dibatalkan karena PM Burhanuddin menolak pelantikan tanpa panji2 kehormatan AURI.
Setelah insiden tersebut, Suryadarma mengajukan permohonan pengunduran diri sebagai KSAU tapi ditolak oleh Presiden Soekarno.
Masalah ini kemudian diselesaikan dalam pertemuan Gabungan Kepala Staf (GKS) yang memutuskan bahwa jabatan wakil KSAU dibatalkan. GKS juga mengecam kabinet karena dalam pengangkatan Wakil KSAU tidak mempertimbangkan kondisi psikologis para perwira yang tidak setuju serta tidak meminta pertimbangan dari KSAU.
Sumber:
1. "Konflik dan Integrasi TNI AD", Mayjen TNI (Purn) Kivlan Zein, MSi
2. "Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia", Nugroho Notosusanto, et.al.
3. "Politik Militer Angkatan Udara Republik Indonesia Dalam Pemerintahan Sukarno 1962-1966", Humaidi, UI Depok
Sejarah Awal Hubungan Indonesia-Malaysia
Menurut Dr. Linda Sunarti dalam disertasi yang diterbitkan menjadi
buku dengan judul “Persaudaraan Sepanjang Hayat Mencari Penyelesaian
Damai Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1963 - 1966”, secara resmi hubungan
Indonesia sebagai sesama bangsa yang merdeka baru terjalin setelah
Malaysia memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 31 Agustus 1957. Namun
demikian, sebenarnya hubungan kedua bangsa ini sudah berjalan secara
informal jauh sebelumnya karena sejarah persamaan ras rumpun Melayu.
Sebelum masuknya kolonialisme Inggris & Belanda, masyarakat kedua bangsa dihubungkan secara politis oleh kerajaan2 yang secara bergantian saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Penduduk Malaysia tidak mengganggap orang2 Bugis & Minangkabau sebagai orang asing. Hal ini terbukti dari penerimaan penduduk Selangor terhadap Raja Lumu, anak dari pembesar Bugis Daeng Chelak, sebagai sultan mereka pada 1742. Menurut catatan Trenggoning dalam "Papers on Malayan History" yang dikutip oleh Linda Sunarti, Orang2 Bugis datang ke tanah Melayu & pulau2 lain setelah Belanda menaklukkan Makassar pada 1667. Demikian juga Kesultanan Malaka yang didirikan oleh Parameswara, seorang pangeran dari Sriwijaya (Palembang), yang melarikan diri dari serangan Majapahit ke Tumasik/Singapura. Parameswara kemudian mendirikan Kesultanan Malaka pada tahun 1400an yang kemudian berkembang sebagai kota dagang besar di jamannya menggantikan kedudukan Kerajaan Sriwijaya.
Hubungan politik & budaya yang sangat dekat ini kemudian berubah sejak kedatangan bangsa2 Barat, terutama Inggris & Belanda, yang kemudian menguasai Indonesia & Malaysia. Hal ini sebagai tindak lanjut dari Perjanjian London tahun 1824 yang dikenal dengan Treaty of Commerce and Exchange Between Great Britain and Netherlands. Dapat dikatakan bahwa inilah titik perpisahan antara Indonesia dan Malaysia secara politik karena membagi dunia Melayu menjadi 2 kawasan yang berlainan dari segi politik.
Berdasarkan Pasal 9 dan 10 Perjanjian London 1824, pihak Inggris setuju menyerahkan semua pusat perdagangannya di Sumatera kepada pihak Belanda dan tidak akan membuat sembarang perjanjian dengan pemimpin lokal di pulau Sumatera. Sebaliknya, Belanda menyerahkan kota Malaka dan kawasan2 di Semenanjung Malaysia kepada pihak Inggris dan tidak akan membuat sembarang perjanjian dengan pemimpin lokal di Semenanjung Malaysia.
Bahkan peneliti Malaysia pun menilai bahwa Perjanjian ini merupakan sebagian dari agenda “pecah belah” (divide at empera) pihak Barat terhadap rumpun bangsa Melayu. Meskipun perjanjian ini secara politik telah membelah Kerajaan Melayu ke dalam 2 wilayah politik yang berbeda, yaitu Singapura (Temasek) dan Johor berada di bawah kekuasaan Inggris sedangkan Riau & Lingga berada di bawah kekuasaan Belanda, hubungan sosio-kultural masyarakat di wilayah semenanjung itu tetap berlangsung baik & sama sekali tidak terganggu oleh keputusan politik kedua pemerintah kolonial itu. Bahkan, ketika terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia, masyarakat di wilayah itu tetap mondar-mandir melakukan hubungan sosial, budaya, & perdagangan. Ketika Jepang memasuki Semenanjung Melayu menggantikan kekuasaan kolonial Inggris, 15 Februari 1942, dan menduduki Jawa menggantikan kekuasaan Belanda, 8 Maret 1942, makin mempererat hubungan sosio-kultural kedua masyarakat di Semenanjung ini.
(Catatan: Kedatangan Jepang ke Tanah Melayu terjadi 8 Desember 1941, sehari setelah kapal perang Inggris “PRINCE OF WALES” dan “REPULSE” di luar pantai Kuantan, negeri bagian Pahang, ditenggelamkan oleh Angkatan Laut Jepang. Pihak Inggris berusaha melakukan perlawanan namun akhirnya menyerah pada 15 Februari 1942)
Ketika Malaysia memperoleh kemerdekaan pada 1957, situasi politik internasional saat itu dipengaruhi suasana Perang Dingin antara Blok Barat, dibawah pimpinan Amerika Serikat, dan Blok Timur, dibawah pimpinan Uni Soviet. Pertentangan antara kedua Blok ini juga mempengaruhi pembentukan kebijakan luar negeri Malaysia. Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, Malaysia sangat mengkhawatirkan keselamatan dan keamanan negaranya. Pada saat itu tidak ada pilihan bagi Malaysia, selain bersikap pro-Barat, karena pertahanan Malaysia pada masa itu sangat bergantung pada Inggris sebagai anggota Blok Barat. Karena alasan inilah, Tunku Abdul Rahman menandatangani perjanjian dengan Inggris yang berisi Perjanjian Pertahanan Inggris-Tanah Melayu, ataupun sering disebut sebagai AMDA (Anglo-Malaya Defence Agreement) pada tahun 1957, yang menyerahkan tanggung jawab pertahanan Tanah Melayu kepada Inggris, sekiranya Malaya diserang dari luar.
Bahkan Tunku Abdul Rahman pernah secara terang-terangan menyatakan prinsip kebijakan luar negeri yang dijalankannya dengan kalimat “Tanah Melayu bukanlah sebuah negara berkecuali. Kita anti Komunis dan menyokong pihak Barat”. Ini berbeda dengan penerusnya kemudian, yaitu Tun Abdul Razak yang lebih menyadari akan realitas bahwa Malaysia adalah bagian dari Asia Tenggara, sementara Tunku Abdul Rahman yang lebih berorientasi ke Barat.
Sementara itu banyak pemimpin Indonesia mengganggap bahwa Malaya tidak pernah benar2 merdeka karena tidak pernah terjadi revolusi di sana dan mencurigai kehadiran Inggris yang tetap mempertahankan pangkalan militernya. Indonesia yang baru terbebas dari praktek kolonialisme & imperialisme, mencurigai terbentuknya negara Malaysia sebagai bentuk Neo-Kolonialisme baru. Selain itu, Indonesia sebagai negara besar yang baru merdeka, memiliki kecenderungan untuk bertindak dan dianggap sebagai “Saudara Tua”.
Di dalam Malaysia sendiri ada kelompok2 yang tidak menyetujui kebijakan politik Malaysia yang pro-Barat. Mereka adalah kaum nasionalis Melayu yang berhaluan kiri seperti Ibrahim Yaakub, Ahmad Bustaman, dan anggota PKM (Partai Kebangsaan Melayu atau Malay Nationalist Party) dan mempunyai hubungan dengan pemimpin Komunis di Indonesia seperti Tan Malaka dan Alimin pada tahun 1940-an. Kelompok ini, menurut ukuran Melayu saat itu, dinilai memiliki faham yang radikal. Sebagian besar dari mereka memiliki cita-cita menyatukan Indonesia dan Tanah Melayu dalam sebuah negara, yaitu negara “Melayu Raya” atau “Indonesia Raya”.
Namun, di kalangan lapisan elite Melayu, terutama elite Melayu atas, yang kebanyakan merupakan tokoh inti dalam UMNO (United Malays National Organization), suatu organisasi politik orang Melayu yang didirikan pada tahun 1946, faham nasionalisme dari Indonesia itu tidak mendapat tempat di kalangan kelompok lapisan atas. Kelompok ini menganggap faham2 dari Indonesia, terutama Sosialisme dan Komunisme, dapat membahayakan hak-hak istimewa sebagai pemimpin tradisional Melayu. Apalagi faham nasionalisme yang dibawa oleh tokoh radikal dari Indonesia bertujuan menghapus sistem feodalisme Melayu yang dikhawatirkan akan membahayakan kedudukan mereka yang berasal dari kalangan kerajaan. Di Malaysia, paham ini ditolak oleh kaum elit melayu yaitu kelompok inti di partai UMNO dan pemerintah kolonial Inggris karena bertujuan juga mengusir bangsa penjajah Inggris dari Malaysia.
Konflik hubungan awal antara Indonesia dan Malaysia juga dipengaruhi oleh perkembangan politik di Indonesia pada saat terjadi gerakan PRRI/Permesta. Oleh pemerintah Indonesia, Malaysia (dan Singapura) ketika itu menjadi proksi bagi Barat untuk menjatuhkan pemerintahan Soekarno dengan mengijinkan pelabuhannya digunakan pihak Barat untuk menyalurkan bantuan kepada PRRI.
Puncak dari awal konflik hubungan Indonesia dan Malaysia adalah meletusnya konfrontasi pada 1963, yaitu pembentukan Federasi Malaysia pada 16 September 1963 yang dianggap sebagai titik tolak penting yang dipandang sebagai agenda Barat untuk mengepung Indonesia.
Sumber:
1. “Persaudaraan Sepanjang Masa, Mencari Jalan Penyelesaian Damai Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1963-1966”, Linda Sunarti
2. “Politik Luar Negeri Malaysia Terhadap Indonesia 1957 – 1976: Dari Konfrontasi Menuju Kerjasama”, Linda Sunarti, bisa dibaca disini http://susurgalur-jksps.com/…/2014/03/06.linda_.ui_.3.14.pdf
3. “Gerakan Budaya Menjelang Kemerdekaan Indonesia-Malaysia”, Maman S. Mahayana, bisa dibaca disini http://journal.ui.ac.id/…/humaniti…/article/download/110/106
4. “Malaysia-Indonesia: Pengalaman Dua Negara Serumpun”, Rohani Hj. Ab. Gani & Zulhilmi Paidi, bisa dibaca disini http://repo.uum.edu.my/3175/1/S11.pdf
Sebelum masuknya kolonialisme Inggris & Belanda, masyarakat kedua bangsa dihubungkan secara politis oleh kerajaan2 yang secara bergantian saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Penduduk Malaysia tidak mengganggap orang2 Bugis & Minangkabau sebagai orang asing. Hal ini terbukti dari penerimaan penduduk Selangor terhadap Raja Lumu, anak dari pembesar Bugis Daeng Chelak, sebagai sultan mereka pada 1742. Menurut catatan Trenggoning dalam "Papers on Malayan History" yang dikutip oleh Linda Sunarti, Orang2 Bugis datang ke tanah Melayu & pulau2 lain setelah Belanda menaklukkan Makassar pada 1667. Demikian juga Kesultanan Malaka yang didirikan oleh Parameswara, seorang pangeran dari Sriwijaya (Palembang), yang melarikan diri dari serangan Majapahit ke Tumasik/Singapura. Parameswara kemudian mendirikan Kesultanan Malaka pada tahun 1400an yang kemudian berkembang sebagai kota dagang besar di jamannya menggantikan kedudukan Kerajaan Sriwijaya.
Hubungan politik & budaya yang sangat dekat ini kemudian berubah sejak kedatangan bangsa2 Barat, terutama Inggris & Belanda, yang kemudian menguasai Indonesia & Malaysia. Hal ini sebagai tindak lanjut dari Perjanjian London tahun 1824 yang dikenal dengan Treaty of Commerce and Exchange Between Great Britain and Netherlands. Dapat dikatakan bahwa inilah titik perpisahan antara Indonesia dan Malaysia secara politik karena membagi dunia Melayu menjadi 2 kawasan yang berlainan dari segi politik.
Berdasarkan Pasal 9 dan 10 Perjanjian London 1824, pihak Inggris setuju menyerahkan semua pusat perdagangannya di Sumatera kepada pihak Belanda dan tidak akan membuat sembarang perjanjian dengan pemimpin lokal di pulau Sumatera. Sebaliknya, Belanda menyerahkan kota Malaka dan kawasan2 di Semenanjung Malaysia kepada pihak Inggris dan tidak akan membuat sembarang perjanjian dengan pemimpin lokal di Semenanjung Malaysia.
Bahkan peneliti Malaysia pun menilai bahwa Perjanjian ini merupakan sebagian dari agenda “pecah belah” (divide at empera) pihak Barat terhadap rumpun bangsa Melayu. Meskipun perjanjian ini secara politik telah membelah Kerajaan Melayu ke dalam 2 wilayah politik yang berbeda, yaitu Singapura (Temasek) dan Johor berada di bawah kekuasaan Inggris sedangkan Riau & Lingga berada di bawah kekuasaan Belanda, hubungan sosio-kultural masyarakat di wilayah semenanjung itu tetap berlangsung baik & sama sekali tidak terganggu oleh keputusan politik kedua pemerintah kolonial itu. Bahkan, ketika terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia, masyarakat di wilayah itu tetap mondar-mandir melakukan hubungan sosial, budaya, & perdagangan. Ketika Jepang memasuki Semenanjung Melayu menggantikan kekuasaan kolonial Inggris, 15 Februari 1942, dan menduduki Jawa menggantikan kekuasaan Belanda, 8 Maret 1942, makin mempererat hubungan sosio-kultural kedua masyarakat di Semenanjung ini.
(Catatan: Kedatangan Jepang ke Tanah Melayu terjadi 8 Desember 1941, sehari setelah kapal perang Inggris “PRINCE OF WALES” dan “REPULSE” di luar pantai Kuantan, negeri bagian Pahang, ditenggelamkan oleh Angkatan Laut Jepang. Pihak Inggris berusaha melakukan perlawanan namun akhirnya menyerah pada 15 Februari 1942)
Ketika Malaysia memperoleh kemerdekaan pada 1957, situasi politik internasional saat itu dipengaruhi suasana Perang Dingin antara Blok Barat, dibawah pimpinan Amerika Serikat, dan Blok Timur, dibawah pimpinan Uni Soviet. Pertentangan antara kedua Blok ini juga mempengaruhi pembentukan kebijakan luar negeri Malaysia. Sebagai sebuah negara yang baru merdeka, Malaysia sangat mengkhawatirkan keselamatan dan keamanan negaranya. Pada saat itu tidak ada pilihan bagi Malaysia, selain bersikap pro-Barat, karena pertahanan Malaysia pada masa itu sangat bergantung pada Inggris sebagai anggota Blok Barat. Karena alasan inilah, Tunku Abdul Rahman menandatangani perjanjian dengan Inggris yang berisi Perjanjian Pertahanan Inggris-Tanah Melayu, ataupun sering disebut sebagai AMDA (Anglo-Malaya Defence Agreement) pada tahun 1957, yang menyerahkan tanggung jawab pertahanan Tanah Melayu kepada Inggris, sekiranya Malaya diserang dari luar.
Bahkan Tunku Abdul Rahman pernah secara terang-terangan menyatakan prinsip kebijakan luar negeri yang dijalankannya dengan kalimat “Tanah Melayu bukanlah sebuah negara berkecuali. Kita anti Komunis dan menyokong pihak Barat”. Ini berbeda dengan penerusnya kemudian, yaitu Tun Abdul Razak yang lebih menyadari akan realitas bahwa Malaysia adalah bagian dari Asia Tenggara, sementara Tunku Abdul Rahman yang lebih berorientasi ke Barat.
Sementara itu banyak pemimpin Indonesia mengganggap bahwa Malaya tidak pernah benar2 merdeka karena tidak pernah terjadi revolusi di sana dan mencurigai kehadiran Inggris yang tetap mempertahankan pangkalan militernya. Indonesia yang baru terbebas dari praktek kolonialisme & imperialisme, mencurigai terbentuknya negara Malaysia sebagai bentuk Neo-Kolonialisme baru. Selain itu, Indonesia sebagai negara besar yang baru merdeka, memiliki kecenderungan untuk bertindak dan dianggap sebagai “Saudara Tua”.
Di dalam Malaysia sendiri ada kelompok2 yang tidak menyetujui kebijakan politik Malaysia yang pro-Barat. Mereka adalah kaum nasionalis Melayu yang berhaluan kiri seperti Ibrahim Yaakub, Ahmad Bustaman, dan anggota PKM (Partai Kebangsaan Melayu atau Malay Nationalist Party) dan mempunyai hubungan dengan pemimpin Komunis di Indonesia seperti Tan Malaka dan Alimin pada tahun 1940-an. Kelompok ini, menurut ukuran Melayu saat itu, dinilai memiliki faham yang radikal. Sebagian besar dari mereka memiliki cita-cita menyatukan Indonesia dan Tanah Melayu dalam sebuah negara, yaitu negara “Melayu Raya” atau “Indonesia Raya”.
Namun, di kalangan lapisan elite Melayu, terutama elite Melayu atas, yang kebanyakan merupakan tokoh inti dalam UMNO (United Malays National Organization), suatu organisasi politik orang Melayu yang didirikan pada tahun 1946, faham nasionalisme dari Indonesia itu tidak mendapat tempat di kalangan kelompok lapisan atas. Kelompok ini menganggap faham2 dari Indonesia, terutama Sosialisme dan Komunisme, dapat membahayakan hak-hak istimewa sebagai pemimpin tradisional Melayu. Apalagi faham nasionalisme yang dibawa oleh tokoh radikal dari Indonesia bertujuan menghapus sistem feodalisme Melayu yang dikhawatirkan akan membahayakan kedudukan mereka yang berasal dari kalangan kerajaan. Di Malaysia, paham ini ditolak oleh kaum elit melayu yaitu kelompok inti di partai UMNO dan pemerintah kolonial Inggris karena bertujuan juga mengusir bangsa penjajah Inggris dari Malaysia.
Konflik hubungan awal antara Indonesia dan Malaysia juga dipengaruhi oleh perkembangan politik di Indonesia pada saat terjadi gerakan PRRI/Permesta. Oleh pemerintah Indonesia, Malaysia (dan Singapura) ketika itu menjadi proksi bagi Barat untuk menjatuhkan pemerintahan Soekarno dengan mengijinkan pelabuhannya digunakan pihak Barat untuk menyalurkan bantuan kepada PRRI.
Puncak dari awal konflik hubungan Indonesia dan Malaysia adalah meletusnya konfrontasi pada 1963, yaitu pembentukan Federasi Malaysia pada 16 September 1963 yang dianggap sebagai titik tolak penting yang dipandang sebagai agenda Barat untuk mengepung Indonesia.
Sumber:
1. “Persaudaraan Sepanjang Masa, Mencari Jalan Penyelesaian Damai Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1963-1966”, Linda Sunarti
2. “Politik Luar Negeri Malaysia Terhadap Indonesia 1957 – 1976: Dari Konfrontasi Menuju Kerjasama”, Linda Sunarti, bisa dibaca disini http://susurgalur-jksps.com/…/2014/03/06.linda_.ui_.3.14.pdf
3. “Gerakan Budaya Menjelang Kemerdekaan Indonesia-Malaysia”, Maman S. Mahayana, bisa dibaca disini http://journal.ui.ac.id/…/humaniti…/article/download/110/106
4. “Malaysia-Indonesia: Pengalaman Dua Negara Serumpun”, Rohani Hj. Ab. Gani & Zulhilmi Paidi, bisa dibaca disini http://repo.uum.edu.my/3175/1/S11.pdf
Kontribusi DI Aceh untuk RI saat Revolusi Kemerdekaan
Saat Agresi Militer Belanda 2, hampir seluruh wilayah Indonesia dikuasai Belanda, kecuali Aceh. Saat itu, INDOFF (INDonesia OFFice) menerima instruksi dari Menlu PDRI,
yaitu A.A. Maramis yang berada di New Delhi, untuk mencari bantuan
devisa dari Aceh, karena sejumlah kantor perwakilan RI di luar negeri
telah kekurangan dana operasional.
Kepala INDOFF Utoyo Ramelan setelah menerima instruksi ini
memerintahkan Ferdy Salim untuk pergi ke Aceh menemui Daud Beureuh yang
saat itu menjabat sebagai Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh.
Adapun kapal laut yang tersedia saat itu adalah ML 833 atau PPB 58 LB di bawah pimpinan Mayor John Lie sehingga tanggung jawab perjalanan misi itu dibebankan ke Mayor John Lie sedangkan misi menemui Daud Beureuh menjadi tanggung jawab Ferdy Salim.
(Sayang tidak ditulis tanggal persisnya) saat tiba di perairan muara Kuala Simpang, Aceh, karena terhalang kabut jarak pandang terbatas, tiba2 muncul kapal patroli Belanda, Ferdy Salim memerintahkan untuk putar haluan & menyingkir dari jangkauan kapal patroli Belanda. Tapi ia melihat John Lie dengan tenang berdoa membaca Kitab Injil yang selalu dibawanya & setelah beberapa menit baru John Lie memberikan perintah putar haluan 180 derajat & full speed. Meski sempat ditembak & dikejar tapi ML 833 berhasil meninggalkan kapal patroli Belanda.
ML 833 kemudian mencoba merapat ke daratan melalui Serce, Kuala Tamiang, dimana terdapat pelabuhan kecil & setelah berhasil merapat disambut komandan batalyon pasukan Republik setempat, Mayor Alamsyah yang mendapatkan laporan tembak2 menembak kapal Belanda di dekat wilayahnya. Berkat bantuan Mayor Alamsyah tim INDOFF selamat sampai di Kotaraja (sekarang Banda Aceh) dimana tim bertemu dengan Daud Beureuh untuk membicarakan mandat dari Pemerintah Pusat.
Setelah Daud Beureuh berunding dengan para anggota Dewan Pertahanan Daerah, tim INDOFF menerima kabar baik yaitu penyerahan semua devisa yang dimiliki Aceh saat itu & terkumpul di Penang.
Inilah salah satu contoh pengorbanan rakyat Aceh terhadap Republik semasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
(Catatan: Ferdy Salim adalah kakak dari salah satu ekonom Indonesia Prof. Emil Salim & pernah menjadi Dubes RI untuk Brunei Darussalam)
Sumber:
"Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar Zaman Singapura 1945-1950", Kustiniyati Mochtar
Adapun kapal laut yang tersedia saat itu adalah ML 833 atau PPB 58 LB di bawah pimpinan Mayor John Lie sehingga tanggung jawab perjalanan misi itu dibebankan ke Mayor John Lie sedangkan misi menemui Daud Beureuh menjadi tanggung jawab Ferdy Salim.
(Sayang tidak ditulis tanggal persisnya) saat tiba di perairan muara Kuala Simpang, Aceh, karena terhalang kabut jarak pandang terbatas, tiba2 muncul kapal patroli Belanda, Ferdy Salim memerintahkan untuk putar haluan & menyingkir dari jangkauan kapal patroli Belanda. Tapi ia melihat John Lie dengan tenang berdoa membaca Kitab Injil yang selalu dibawanya & setelah beberapa menit baru John Lie memberikan perintah putar haluan 180 derajat & full speed. Meski sempat ditembak & dikejar tapi ML 833 berhasil meninggalkan kapal patroli Belanda.
ML 833 kemudian mencoba merapat ke daratan melalui Serce, Kuala Tamiang, dimana terdapat pelabuhan kecil & setelah berhasil merapat disambut komandan batalyon pasukan Republik setempat, Mayor Alamsyah yang mendapatkan laporan tembak2 menembak kapal Belanda di dekat wilayahnya. Berkat bantuan Mayor Alamsyah tim INDOFF selamat sampai di Kotaraja (sekarang Banda Aceh) dimana tim bertemu dengan Daud Beureuh untuk membicarakan mandat dari Pemerintah Pusat.
Setelah Daud Beureuh berunding dengan para anggota Dewan Pertahanan Daerah, tim INDOFF menerima kabar baik yaitu penyerahan semua devisa yang dimiliki Aceh saat itu & terkumpul di Penang.
Inilah salah satu contoh pengorbanan rakyat Aceh terhadap Republik semasa perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
(Catatan: Ferdy Salim adalah kakak dari salah satu ekonom Indonesia Prof. Emil Salim & pernah menjadi Dubes RI untuk Brunei Darussalam)
Sumber:
"Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar Zaman Singapura 1945-1950", Kustiniyati Mochtar
Benih-Benih Konflik Militer Jelang Permesta
Pada bulan Januari 1957, KSAD A.H. Nasution melantik Mayor M. Jusuf
menjadi Komandan Resimen Infanteri Hasanuddin, Mayor Andi Rivai menjadi
Komandan Resimen Infanteri 24 di Pare-Pare & Letkol Andi Mattalatta
menjadi Komandan Komando Militer Kota Besar (KMKB) Makassar.
Menurut A.H. Nasution di dalam memoar perjuangannya "Memenuhi Panggilan Tugas", Jilid 4, halaman 18...
Menurut A.H. Nasution di dalam memoar perjuangannya "Memenuhi Panggilan Tugas", Jilid 4, halaman 18...
"Dengan demikian pada tahun 1957 telah dimulai era Buginisasi tanggung jawab keamanan di Sulawesi Selatan & Tenggara..."
Meski tindakan KSAD cukup meredakan ketidakpuasan perwira2 asal Sulawesi Selatan, namun kesemrawutan komando di Sulawesi Selatan tidak serta merta hilang dengan keberadaan KoDPSST (Komando Daerah Pengamanan Sulawesi Selatan/Tenggara) yang dipimpin oleh Kolonel R. Sudirman & di bawah kendali MBAD bukan di bawah tanggung jawab TT/VII.
Keberadaan KoDPSST juga dinilai membuat TT/VII tidak berwibawa, apalagi dari 21 batalyon infanteri yang bertugas di Sulawesi Selatan, hanya 1 batalyon yang berada di bawah komando TT/VII.
Hal ini membuat para perwira asal Minahasa tidak senang dengan tindakan Mabes TNI di Jakarta, termasuk Letkol H.N.V. Sumual.
Ketidakpuasan militer berkolaborasi dengan ketidakpuasan pemimpin sipil yang akhirnya memicu gelombang protes besar terhadap Pemerintah Pusat yang diwujudkan dengan deklarasi Permesta pada 1 Maret 1957.
Sumber:
1. "Memenuhi Panggilan Tugas", A.H. Nasution, Jilid 4
2. "Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit", Atmadji Sumarkidjo
Meski tindakan KSAD cukup meredakan ketidakpuasan perwira2 asal Sulawesi Selatan, namun kesemrawutan komando di Sulawesi Selatan tidak serta merta hilang dengan keberadaan KoDPSST (Komando Daerah Pengamanan Sulawesi Selatan/Tenggara) yang dipimpin oleh Kolonel R. Sudirman & di bawah kendali MBAD bukan di bawah tanggung jawab TT/VII.
Keberadaan KoDPSST juga dinilai membuat TT/VII tidak berwibawa, apalagi dari 21 batalyon infanteri yang bertugas di Sulawesi Selatan, hanya 1 batalyon yang berada di bawah komando TT/VII.
Hal ini membuat para perwira asal Minahasa tidak senang dengan tindakan Mabes TNI di Jakarta, termasuk Letkol H.N.V. Sumual.
Ketidakpuasan militer berkolaborasi dengan ketidakpuasan pemimpin sipil yang akhirnya memicu gelombang protes besar terhadap Pemerintah Pusat yang diwujudkan dengan deklarasi Permesta pada 1 Maret 1957.
Sumber:
1. "Memenuhi Panggilan Tugas", A.H. Nasution, Jilid 4
2. "Jenderal M. Jusuf Panglima Para Prajurit", Atmadji Sumarkidjo
Pekerja Rumah Tangga Pribumi di Jaman Hindia-Belanda
Sekitar tahun 1870an sesudahnya, bagi masyarakat Eropa yang baru
datang di Hindia-Belanda & bergabung dengan koloni yang sudah ada
(biasa disebut “baren”) dianjurkan untuk membaca buku2 yang dibuat
sebagai pedoman agar dapat beradaptasi dengan baik. Salah satu pedoman
yang ada di buku tersebut adalah mengenai cara berhubungan dengan
“pembantu” (pribumi).
Menurut buku pedoman tersebut, keluarga masyarakat Eropa di Hindia-Belanda sedikitnya memiliki 2 atau 3 orang tenaga kerja & bisa memiliki 5 pekerja rumah tangga jika sudah memiliki anak agar lebih nyaman.
Di dalam buku pedoman itu juga dibedakan sebutan2 pekerja rumah tangga untuk orang Eropa, yaitu:
“...mendapat bayaran paling besar di antara pembantu2 lainnya dan datang sekitar jam 6 pagi. Kalau tidak tinggal di halaman rumah Anda, maka pagi2 ketika hari masih gelap ia sudah berangkat dari kampungnya. Setelah hari mulai terang, ia merapikah kursi diserami depan dan menyiapkan kopi. Kemudian ia menyajikan sarapan dan memimpin semua pekerja rumah tangga. Hanya saja, ia tidak mengurusi kamar2 tidur karena itu adalah pekerjaan baboe”.
“Djongos” memiliki jam kerja yang paling panjang, biasanya mereka bekerja hingga sesudah makan malam, sekitar pukul 9.30 karena di Hindia-Belanda jam makan malam biasanya berlaku lebih larut setelah jam 8. Sebelum dan sesudah makan, orang Eropa biasanya duduk di serambi sambil menikmati kesejukan malam (biasa disebut "klimaatschieten”). Pada jam tersebut “djongos” biasanya mengidangkan splitjes (campuran air soda dan whisky atau minuman keras lainnya) dan air jeruk.
Masih menurut buku pedoman yang sama dijelaskan mengenai “kebon”....
“Selain bekerja di kebun, ia juga melakukan banyak hal rumah tangga, misalnya menggosok dan memutihkan sepatu dengan kapur, merawat sepeda, mengambil dan mengantar bungkusan2, membersihkan lantai, menggosok kamar mandi dan pada siang hari mengantar makan siang di dalam rantang berlapis aluminium ke kantor majikan. Terakhir mereka harus menyiram bunga, menyapu batu kerikil dan mencabut rumput...”
Setelah abad ke 20, buku2 pedoman semacam itu semakin banyak diterbitkan karena kedatangan orang2 Eropa meningkat tajam. Namun umumnya buku2 pedoman mengenai pekerja rumah tangga kerap memperlihatkan pandangan negatif terhadap pribumi.
Sumber:
1. “Nyai dan Pergundikan di Hindia-Belanda”, Reggie Baay
2. http://nasional.kompas.com/…/1…/Pekerja.Rumah.Tangga.Pribumi
Menurut buku pedoman tersebut, keluarga masyarakat Eropa di Hindia-Belanda sedikitnya memiliki 2 atau 3 orang tenaga kerja & bisa memiliki 5 pekerja rumah tangga jika sudah memiliki anak agar lebih nyaman.
Di dalam buku pedoman itu juga dibedakan sebutan2 pekerja rumah tangga untuk orang Eropa, yaitu:
- “Djongos” adalah pelayan laki2 di rumah
- “Kebon” adalah tukang kebun
- “Baboe” adalah pelayan perempuan di rumah
- “Wasbaboe” adalah tukang cuci
- “Kokkie” tukang masak
“...mendapat bayaran paling besar di antara pembantu2 lainnya dan datang sekitar jam 6 pagi. Kalau tidak tinggal di halaman rumah Anda, maka pagi2 ketika hari masih gelap ia sudah berangkat dari kampungnya. Setelah hari mulai terang, ia merapikah kursi diserami depan dan menyiapkan kopi. Kemudian ia menyajikan sarapan dan memimpin semua pekerja rumah tangga. Hanya saja, ia tidak mengurusi kamar2 tidur karena itu adalah pekerjaan baboe”.
“Djongos” memiliki jam kerja yang paling panjang, biasanya mereka bekerja hingga sesudah makan malam, sekitar pukul 9.30 karena di Hindia-Belanda jam makan malam biasanya berlaku lebih larut setelah jam 8. Sebelum dan sesudah makan, orang Eropa biasanya duduk di serambi sambil menikmati kesejukan malam (biasa disebut "klimaatschieten”). Pada jam tersebut “djongos” biasanya mengidangkan splitjes (campuran air soda dan whisky atau minuman keras lainnya) dan air jeruk.
Masih menurut buku pedoman yang sama dijelaskan mengenai “kebon”....
“Selain bekerja di kebun, ia juga melakukan banyak hal rumah tangga, misalnya menggosok dan memutihkan sepatu dengan kapur, merawat sepeda, mengambil dan mengantar bungkusan2, membersihkan lantai, menggosok kamar mandi dan pada siang hari mengantar makan siang di dalam rantang berlapis aluminium ke kantor majikan. Terakhir mereka harus menyiram bunga, menyapu batu kerikil dan mencabut rumput...”
Setelah abad ke 20, buku2 pedoman semacam itu semakin banyak diterbitkan karena kedatangan orang2 Eropa meningkat tajam. Namun umumnya buku2 pedoman mengenai pekerja rumah tangga kerap memperlihatkan pandangan negatif terhadap pribumi.
Sumber:
1. “Nyai dan Pergundikan di Hindia-Belanda”, Reggie Baay
2. http://nasional.kompas.com/…/1…/Pekerja.Rumah.Tangga.Pribumi
Orang Jepang Pertama Yang Datang ke Indonesia
Berdasarkan catatan tertua mengenai orang Jepang yang datang ke
Indonesia (dulu Hindia-Belanda) menyatakan bahwa seseorang dari Jepang
datang ke Aceh pada tahun ke-6 Meiji atau sekitar tahun 1873 Masehi.Dalam catatan tersebut disebutkan bahwa seseorang bernama Shiozawa Nanigashi datang ke Aceh.
(Catatan: Shiozawa adalah nama marga, sedangkan Nanigashi berarti anonim karena tidak diketahui dengan jelas)
Selain catatan kedatangan orang2 Jepang ke Sumatera, kedatangan mereka di Pulau Jawa juga tercatat dengan baik, misalnya catatan yang ditulis Ishii Taro. Memoar ini terdapat dalam buku "Jagatara Kanwa" (Kisah2 Mengenai Jakarta), dalam sebuah bab yang berjudul "Kisah2 Tentang Pionir Orang2 Jepang di Jawa". Dalam artikel itu disebutkan bahwa orang Jepang yang awal masuk ke Pulau Jawa adalah wanita. Nama yang tertulis dalam catatan paling tua diketahui bernama Nishida Tome (yang diperkirakan melintasi lautan dari Jepang menuju Indonesia pada tahun ke-16 Meiji atau sekitar tahun 1883 Masehi).
Selain kedatangan wanita2 Jepang, pada tahun ke-20 Meiji atau sekitar tahun 1887 Masehi, orang2 Jepang dengan berbagai profesi lainnya mulai masuk ke wilayah Indonesia, yang tercatat misalnya seorang pedagang bernama Nagayama Chikara yang menetap di Batavia.
Sumber lain menyebutkan bahwa hubungan dagang Indonesia-Jepang dimulai pada tahun 1885 ditandai dengan kedatangan "Karayuki-san" atau sering juga disebut Joshigun ke Indonesia.
(Catatan: secara singkat "Karayuki-san" berarti orang2 wanita yang pergi untuk bekerja ke Cina, walaupun sebenarnya tidak hanya ke Cina).
Baca juga artikel yang ditulis oleh Sri Pangastoeti dengan judul "Dari Kyuushuu ke Ran'in: Karayuki-San dan Prostitusi di Indonesia (1885-1920)" bahwa di Indonesia pada tahun ke-30 Meiji atau 1897 Masehi, si Indonesia terdapat 125 orang Jepang yamg terdiri dari 25 orang laki2 & 100 orang perempuan.
Sumber:
1. "Orang2 Jepang di Indonesia 1886-1942: Apakah Mereka Mata-Mata?", Meta Sekar Puji Astuti
2. "Dari Kyuushuu ke Ran'in: Karayuki-San dan Prostitusi di Indonesia (1885-1920)", Sri Pangestoeti
(Catatan: Shiozawa adalah nama marga, sedangkan Nanigashi berarti anonim karena tidak diketahui dengan jelas)
Selain catatan kedatangan orang2 Jepang ke Sumatera, kedatangan mereka di Pulau Jawa juga tercatat dengan baik, misalnya catatan yang ditulis Ishii Taro. Memoar ini terdapat dalam buku "Jagatara Kanwa" (Kisah2 Mengenai Jakarta), dalam sebuah bab yang berjudul "Kisah2 Tentang Pionir Orang2 Jepang di Jawa". Dalam artikel itu disebutkan bahwa orang Jepang yang awal masuk ke Pulau Jawa adalah wanita. Nama yang tertulis dalam catatan paling tua diketahui bernama Nishida Tome (yang diperkirakan melintasi lautan dari Jepang menuju Indonesia pada tahun ke-16 Meiji atau sekitar tahun 1883 Masehi).
Selain kedatangan wanita2 Jepang, pada tahun ke-20 Meiji atau sekitar tahun 1887 Masehi, orang2 Jepang dengan berbagai profesi lainnya mulai masuk ke wilayah Indonesia, yang tercatat misalnya seorang pedagang bernama Nagayama Chikara yang menetap di Batavia.
Sumber lain menyebutkan bahwa hubungan dagang Indonesia-Jepang dimulai pada tahun 1885 ditandai dengan kedatangan "Karayuki-san" atau sering juga disebut Joshigun ke Indonesia.
(Catatan: secara singkat "Karayuki-san" berarti orang2 wanita yang pergi untuk bekerja ke Cina, walaupun sebenarnya tidak hanya ke Cina).
Baca juga artikel yang ditulis oleh Sri Pangastoeti dengan judul "Dari Kyuushuu ke Ran'in: Karayuki-San dan Prostitusi di Indonesia (1885-1920)" bahwa di Indonesia pada tahun ke-30 Meiji atau 1897 Masehi, si Indonesia terdapat 125 orang Jepang yamg terdiri dari 25 orang laki2 & 100 orang perempuan.
Sumber:
1. "Orang2 Jepang di Indonesia 1886-1942: Apakah Mereka Mata-Mata?", Meta Sekar Puji Astuti
2. "Dari Kyuushuu ke Ran'in: Karayuki-San dan Prostitusi di Indonesia (1885-1920)", Sri Pangestoeti
Pemberontakan Rakyat Silungkang 1926 - Bagian 1
Silungkang digambarkan sebagai sebuah desa dengan penduduk sekitar 300 rumah tangga yang terletak di Kecamatan Sawahlunto.
Desa ini terkenal dengan daerah penghasil kain tenun. Bahkan di dalam surat kabar di Batavia atau di Surabaya senantiasa dapat dibaca iklan "Kain Tenunan Silungkang" yang dipasang oleh, misalnya, perusahaan dagang "Datuk Sati & Co." atau "Muchtar & Co." atau "Sulaiman Labai & Zoon" yang berkantor pusat di Silungkang tapi memiliki cabang di Padang, Batavia & Surabaya.
(Catatan: sampai sekarang pun kani tenun Silungkang tetap jadi ikon produk daerah Silungkang, silahkan baca tautan resmi pemerintah daerah Sawah Lunto)
Karena lebih maju dalam hal perniagaan maka pemikiran warganya juga lebih maju dari desa2 lainnya. Namun demikian, seperti daerah Minang lainnya yang dipengaruhi adat semando-matriarchaat, di kampung ini tidak diterima semando (menantu) yang berasal dari kampung lain, bahkan di Silungkang lebih ketat dari desa2 lain, juga tidak menerima kampung yang berdekatan, yang terkenal di masa itu dengan istilah "anak dagang".
Cara berpikir lain yang lebih maju adalah dalam bidang politik. Hal ini didukung dengan berdirinya Sarikat Islam pada tahun 1915 yang dipimpin oleh Sulaiman Labai, Datuk Bagindo Ratu & Talaha Sutan Langit, seiring dengan kemajuan perniagaan dari desa Silungkang.
Sarikat Islam di Silungkang ini pernah mengadakan aksi pada tahun 1918 dengan cara "membajak" 2 gerbong kereta api yang membawa ratusan karung beras dari daerah penghasilnya di Solok ke Sawah Lunto yang kala itu sedang mengalami penderitaan efek dari Perang Dunia 1.
Hal ini dilakukan oleh Sulaiman Labai dibantu anggotanya setelah mempelajari Undang-Undang Darurat Perang (Oorlog Ordonnantie). Beras hasil dari "pembajakan" itu kemudian dibagi2kan kepada semua penduduk desa Silungkang, tidak terkecuali yang bukan anggota Sarikat Islam.
Dua jam kemudian Controleur Sawah Lunto dengan pasukan Veldpolisi tiba di Silungkang. Penduduk yang tadinya ramai mendapatkan jatah pembagian beras kemudian pulang, hanya pengurus Sarikat Islam yang tinggal & siap mempertangunggjawabkan perbuatan mereka.
Sulaiman Labai (Ketua SI) & Datuk Bagindo Ratu kemudian dibawa ke Sawah Lunto namun setelah mendengarkan argumentasi mereka, Hoofd van Plaatselijk Bestuur Sawah Lunto hanya memberikan sanksi terguran keras agar tidak mengulangi aksinya.
Pada tahun 1924 Sarikat Islam anak cabang Silungkang dilebur menjadi Sarikat Rakyat anak cabang Silungkang.
Bersambung...
Sumber:
1. "Pemberontakan Rakyat Silungkang, Sumatera Barat 1926-1927", A. Muluk Nasution
2. "Kemunculan Komunisme di Indonesia", Ruth T. McVey
Desa ini terkenal dengan daerah penghasil kain tenun. Bahkan di dalam surat kabar di Batavia atau di Surabaya senantiasa dapat dibaca iklan "Kain Tenunan Silungkang" yang dipasang oleh, misalnya, perusahaan dagang "Datuk Sati & Co." atau "Muchtar & Co." atau "Sulaiman Labai & Zoon" yang berkantor pusat di Silungkang tapi memiliki cabang di Padang, Batavia & Surabaya.
(Catatan: sampai sekarang pun kani tenun Silungkang tetap jadi ikon produk daerah Silungkang, silahkan baca tautan resmi pemerintah daerah Sawah Lunto)
Karena lebih maju dalam hal perniagaan maka pemikiran warganya juga lebih maju dari desa2 lainnya. Namun demikian, seperti daerah Minang lainnya yang dipengaruhi adat semando-matriarchaat, di kampung ini tidak diterima semando (menantu) yang berasal dari kampung lain, bahkan di Silungkang lebih ketat dari desa2 lain, juga tidak menerima kampung yang berdekatan, yang terkenal di masa itu dengan istilah "anak dagang".
Cara berpikir lain yang lebih maju adalah dalam bidang politik. Hal ini didukung dengan berdirinya Sarikat Islam pada tahun 1915 yang dipimpin oleh Sulaiman Labai, Datuk Bagindo Ratu & Talaha Sutan Langit, seiring dengan kemajuan perniagaan dari desa Silungkang.
Sarikat Islam di Silungkang ini pernah mengadakan aksi pada tahun 1918 dengan cara "membajak" 2 gerbong kereta api yang membawa ratusan karung beras dari daerah penghasilnya di Solok ke Sawah Lunto yang kala itu sedang mengalami penderitaan efek dari Perang Dunia 1.
Hal ini dilakukan oleh Sulaiman Labai dibantu anggotanya setelah mempelajari Undang-Undang Darurat Perang (Oorlog Ordonnantie). Beras hasil dari "pembajakan" itu kemudian dibagi2kan kepada semua penduduk desa Silungkang, tidak terkecuali yang bukan anggota Sarikat Islam.
Dua jam kemudian Controleur Sawah Lunto dengan pasukan Veldpolisi tiba di Silungkang. Penduduk yang tadinya ramai mendapatkan jatah pembagian beras kemudian pulang, hanya pengurus Sarikat Islam yang tinggal & siap mempertangunggjawabkan perbuatan mereka.
Sulaiman Labai (Ketua SI) & Datuk Bagindo Ratu kemudian dibawa ke Sawah Lunto namun setelah mendengarkan argumentasi mereka, Hoofd van Plaatselijk Bestuur Sawah Lunto hanya memberikan sanksi terguran keras agar tidak mengulangi aksinya.
Pada tahun 1924 Sarikat Islam anak cabang Silungkang dilebur menjadi Sarikat Rakyat anak cabang Silungkang.
Bersambung...
Sumber:
1. "Pemberontakan Rakyat Silungkang, Sumatera Barat 1926-1927", A. Muluk Nasution
2. "Kemunculan Komunisme di Indonesia", Ruth T. McVey
Asal Usul "Anak Kolong"
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online, arti dari istilah "anak kolong" adalah:
"anak serdadu (yang lahir dan dibesarkan di tangsi pada zaman Hindia Belanda)"
TS pribadi jika mendengar istilah "anak kolong" akan mendapatkan impresi hal yang berbau militer atau mereka yang hidup di komplek militer plus kehidupan yang relatif keras. TS pun mendapatkan impresi istilah "anak kolong" sering berhubungan dengan hal2 yang negatif.
Apakah benar demikian? Jika ditelusuri dari aspek sejarahnya bisa jadi benar adanya. Mari kita cermati sedikit...
Dalam buku "ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995" yang ditulis oleh Budi Susanto & A. Made Tony Supriatma, "anak kolong" muncul karena problema sosial dari kehidupan tangsi militer di jaman Hindia-Belanda.
Dari tangsi2 militer ini (dan juga dari perkebunan yang memiliki karakter terisolasi yang sama dengan tangsi) lahir satu golongan sosial yang dikenal dengan nama "Indo", yaitu mereka yang berayah Eropa & beribu pribumi. Mereka ini adalah kalangan masyarakat yang ditolak oleh warga Eropa totok tapi juga tersisih dari komunitas pribumi. Satu2nya jalan bagi mereka adalah kembali ke tangsi militer dengan pelarian ke alkohol & pergundikan.
Namun demikian kehidupan di tangsi militer bukan sekedar pertemuan & percampuran antara 2 bangsa & budaya yang berbeda tetapi juga pertemuan & percampuran antara laki2 & perempuan yang tinggal bersama di dalamnya. Di tangsi, tentara Eropa & pribumi yang masih lajang diperkenankan hidup bersama dengan perempuan pribumi tanpa pernikahan.
Lalu bagaimana melihat hubungan antara "anak kolong" dengan tangsi militer yang menjadi asal usul istilah tersebut.
Hal ini dijelaskan oleh Reggie Baay di dalam buku "Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda" mengutip Lin Scholte yang pernah merasakan kehidupan di tangsi, sbb:
"Pernah masuk ke dalam bangsal rumah sakit kuno? Ruang panjang dengan langit2 tinggi & di sepanjang kedua sisinya terdapat ranjang2 dengan ruang sempit di antaranya...di dalamnya tinggal para anggota militer KNIL berpangkat rendah baik yang sudah menikah - dengan atau tanpa anak - maupun yang masih lajang...mereka yang sudah menikah mendapat ruang kecil dengan ranjang bertingkat & sedikit ruang kosong di samping ranjang bertingkat lainnya...ruang ini lebih lebar dari yang didapat para bujang karena anak2 juga tidur di lantainya, di atas tikar. Ruang di bawah tempat tidur disebut kolong. Bagi keluarga dengan banyak anak, ruang ini juga dimanfaatkan untuk tidur. Begitulah awal munculnya sebutan anak kolong..."
Secara umum dapat dikatakan bahwa stigma "anak kolong", dengan latar belakang historisnya, memang memberikan kesan negatif bagi yang menyandangnya.
Pandangan yang berbeda pernah diungkapkan secara terang2an oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat membuka Musyawarah Nasional Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI) di Bogor, dengan menyebut bahwa predikat "anak kolong" merupakan suatu kebanggaan, meski mengakui menyandang stigma yang kurang menyenangkan (untuk detil alasannya silahkan baca lebih lanjut tautan laman di bawah).
Sumber:
1. "ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995", Budi Susanto & A. Made Tony Supriatma
2. "Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda", Reggie Baay
3. Baca juga http://nasional.inilah.com/read/detail/65227/sby-bangga-jadi-anak-kolong
"anak serdadu (yang lahir dan dibesarkan di tangsi pada zaman Hindia Belanda)"
TS pribadi jika mendengar istilah "anak kolong" akan mendapatkan impresi hal yang berbau militer atau mereka yang hidup di komplek militer plus kehidupan yang relatif keras. TS pun mendapatkan impresi istilah "anak kolong" sering berhubungan dengan hal2 yang negatif.
Apakah benar demikian? Jika ditelusuri dari aspek sejarahnya bisa jadi benar adanya. Mari kita cermati sedikit...
Dalam buku "ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995" yang ditulis oleh Budi Susanto & A. Made Tony Supriatma, "anak kolong" muncul karena problema sosial dari kehidupan tangsi militer di jaman Hindia-Belanda.
Dari tangsi2 militer ini (dan juga dari perkebunan yang memiliki karakter terisolasi yang sama dengan tangsi) lahir satu golongan sosial yang dikenal dengan nama "Indo", yaitu mereka yang berayah Eropa & beribu pribumi. Mereka ini adalah kalangan masyarakat yang ditolak oleh warga Eropa totok tapi juga tersisih dari komunitas pribumi. Satu2nya jalan bagi mereka adalah kembali ke tangsi militer dengan pelarian ke alkohol & pergundikan.
Namun demikian kehidupan di tangsi militer bukan sekedar pertemuan & percampuran antara 2 bangsa & budaya yang berbeda tetapi juga pertemuan & percampuran antara laki2 & perempuan yang tinggal bersama di dalamnya. Di tangsi, tentara Eropa & pribumi yang masih lajang diperkenankan hidup bersama dengan perempuan pribumi tanpa pernikahan.
Lalu bagaimana melihat hubungan antara "anak kolong" dengan tangsi militer yang menjadi asal usul istilah tersebut.
Hal ini dijelaskan oleh Reggie Baay di dalam buku "Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda" mengutip Lin Scholte yang pernah merasakan kehidupan di tangsi, sbb:
"Pernah masuk ke dalam bangsal rumah sakit kuno? Ruang panjang dengan langit2 tinggi & di sepanjang kedua sisinya terdapat ranjang2 dengan ruang sempit di antaranya...di dalamnya tinggal para anggota militer KNIL berpangkat rendah baik yang sudah menikah - dengan atau tanpa anak - maupun yang masih lajang...mereka yang sudah menikah mendapat ruang kecil dengan ranjang bertingkat & sedikit ruang kosong di samping ranjang bertingkat lainnya...ruang ini lebih lebar dari yang didapat para bujang karena anak2 juga tidur di lantainya, di atas tikar. Ruang di bawah tempat tidur disebut kolong. Bagi keluarga dengan banyak anak, ruang ini juga dimanfaatkan untuk tidur. Begitulah awal munculnya sebutan anak kolong..."
Secara umum dapat dikatakan bahwa stigma "anak kolong", dengan latar belakang historisnya, memang memberikan kesan negatif bagi yang menyandangnya.
Pandangan yang berbeda pernah diungkapkan secara terang2an oleh mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat membuka Musyawarah Nasional Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI) di Bogor, dengan menyebut bahwa predikat "anak kolong" merupakan suatu kebanggaan, meski mengakui menyandang stigma yang kurang menyenangkan (untuk detil alasannya silahkan baca lebih lanjut tautan laman di bawah).
Sumber:
1. "ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995", Budi Susanto & A. Made Tony Supriatma
2. "Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda", Reggie Baay
3. Baca juga http://nasional.inilah.com/read/detail/65227/sby-bangga-jadi-anak-kolong
Revolusi Sosial di Banten 1945-1946
Entah karena keterbatasan kurikulum atau sengaja “disembunyikan”
seperti fragmen sejarah lainnya, banyak yang tidak tahu bahwa revolusi
sosial pernah terjadi di wilayah Banten pasca proklamasi 1945 sampai
dengan awal 1946.
Awal persemaian revolusi sosial bisa dilihat dari situasi pada tahun 1925 dimana Partai Komunis Indonesia tumbuh pesat di Banten. Saat pecah pemberontakan PKI pertama kali pada 12 November 1926, Banten termasuk pendukung yang bersemangat melanjutkan pemberontakan. Dengan dalih memulihkan kewibawaan, dilakukan tindakan keras oleh pemerintah kolonial berupa penahanan, membuang pelaku ke Digul dan sebagian dihukum mati.
Sesudah tahun 1927 Banten tidak mengalami perbaikan positif, sehingga rakyat hanya bisa pasrah dan keluh kesah atas ketidakpuasan ini terpusat di orang-orang komunis eks Digul.
Akhir tahun 1930an, muncul kelompok Tjek Mamad & Toebagus Alipan yang sempat melarikan diri ke Singapura pada peristiwa pemberontakan 1926.
Tjek Mamad sempat berkelana dan menjadi sedikit orang Indonesia di sekitar Tan Malaka ketika di Tiongkok. Ia terlibat dalam propaganda Pari (Partai Republik Indonesia) Mohammad Arief Siregar di Palembang kemudian ditangkap pada 1932. Ia juga menjalin hubungan dengan organisasi sopir radikal, Persatoean Sopir Indonesia, pimpinan Mr. M. Joesoef. Tjek Mamad yang membantu Tan Malaka dalam pelayaran dari Sumatra ke Jawa pada Juli 1942. Pada awal tahun 1944 ia dan banyak anggota kelompoknya ditangkap Kempetai dan ditahan di Tanah Abang, Jakarta.
Sementara itu pendudukan Jepang tidak mengubah hubungan kemasyarakatan di Banten, di mana pejabat desa melakukan pekerjaan untuk orang Jepang dan karena gaya kolonial yang keras maka pejabat-pejabat itu semakin dibenci, bahkan dianggap sebagai warisan kolonial.
Pada 19 Agustus 1945, Tjek Mamad dibebaskan oleh tokoh senior Abdul Djalil Muluk dan Sjamsudin Tjan. Keduanya termasuk dalam lingkaran pemuda radikal di sekitar Soekarni dan Chairul Saleh. Setelah melapor, ia diminta Chairul Saleh untuk mengorganisir serah terima kekuasaan di Banten.
Pada 21 Agustus 1945, Tjek Mamad singgah di Tangerang dan bertemu dengan K.H. Achmad Chaerun, teman baik Achmad Chatib, salah seorang tokoh pemuda radikal, dan dibentuklah Dewan Rakjat untuk memutus masa lalu warisan kolonial. Dewan Rakjat merupakan inti pemerintahan model Soviet.
Pada 10 September 1945 Achmad Chatib diangkat Presiden Soekarno sebagai Residen Banten. Hal ini didahului dengan terjadinya kekosongan pemerintahan di Banten pasca proklamasi dimana para pemuda radikal melucuti senjata dan mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Para pembesar yang dibenci ada yang ditembaki & sebagian mengungsi ke tempat aman. Serangan terhadap markas besar Kempetai di Serang pada 11 Oktober 1945 menjadi penutup cerita keberadaan Jepang di Banten. Selanjutnya, Tjek Mamad diangkat menjadi ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) di Serang.
Tjek Mamad terus memperluas aksinya dengan menebarkan kebencian terhadap amtenar (pegawai negeri) dan mengorganisasi Lasjkar Rakjat yang terdiri dari jawara-jawara. Pada 27 Oktober 1945, Tjek Mamad memperkokoh aksinya dengan pengambilalihan kekuasaan secara formal.
Kesatuan militer saat itu, bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR), di bawah pimpinan Sjam’oen, tokoh pemuda lain di Banten, dengan dibantu oleh Chatib turun tangan, dan memaksa Tjek Mamad mundur ke Rangkasbitung.
Soekarno-Hatta mengunjungi Banten, sebagai bukti unjuk kekuatan, pada 9 Desember 1945 dan menyerukan agar hukum dipulihkan. Sempat muncul isu penculikan terhadap Soekarno tapi yang menjadi korban penculikan dan dibunuh adalah Bupati Lebak, Hardiwinangoen.
Berkat usaha TKR, pimpinan laskar Dewan Rakyat ditangkap dan awal Januari 1946 petualangan Dewan Rakyat Soviet di Banten berakhir.
Menurut analisis Harry A. Peoze, Kepala Peneliti KITLV Leiden, seperti ditulis di dalam bukunya “Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia”, medan kekuatan di Banten tahun 1945 memperlihatkan kemiripan yang mencolok dengan tahun 1926. Tapi lawan yang dihadapi tahun 1945 bukan penguasa kolonial melainkan Republik yang baru lahir dan para pelaku utamanya pun terjadi pengulangan.
R.E. Elson berpendapat bahwa revolusi sosial seperti yang terjadi di Banten, atau beberapa wilayah lainnya di Indonesia, pada akhir 1945 adalah sebuah gerakan yang berusaha untuk menghancurkan masa lalu yang kolot, serba teratur, aristrokratik, dan menindas, berikut segala perangkatnya, mempermalukan dan menghina para pemegang kekuasaannya, serta menggantikan masa lalu itu dengan masa depan yang lebih berani, romantik dan egaliter.
Sumber:
1. "Tan Malaka, Gerakan Kiri & Revolusi Indonesia" (Harry A. Poeze)
2. "The Idea of Indonesia, Sejarah Pemikiran dan Gagasan", R.E. Elson
Awal persemaian revolusi sosial bisa dilihat dari situasi pada tahun 1925 dimana Partai Komunis Indonesia tumbuh pesat di Banten. Saat pecah pemberontakan PKI pertama kali pada 12 November 1926, Banten termasuk pendukung yang bersemangat melanjutkan pemberontakan. Dengan dalih memulihkan kewibawaan, dilakukan tindakan keras oleh pemerintah kolonial berupa penahanan, membuang pelaku ke Digul dan sebagian dihukum mati.
Sesudah tahun 1927 Banten tidak mengalami perbaikan positif, sehingga rakyat hanya bisa pasrah dan keluh kesah atas ketidakpuasan ini terpusat di orang-orang komunis eks Digul.
Akhir tahun 1930an, muncul kelompok Tjek Mamad & Toebagus Alipan yang sempat melarikan diri ke Singapura pada peristiwa pemberontakan 1926.
Tjek Mamad sempat berkelana dan menjadi sedikit orang Indonesia di sekitar Tan Malaka ketika di Tiongkok. Ia terlibat dalam propaganda Pari (Partai Republik Indonesia) Mohammad Arief Siregar di Palembang kemudian ditangkap pada 1932. Ia juga menjalin hubungan dengan organisasi sopir radikal, Persatoean Sopir Indonesia, pimpinan Mr. M. Joesoef. Tjek Mamad yang membantu Tan Malaka dalam pelayaran dari Sumatra ke Jawa pada Juli 1942. Pada awal tahun 1944 ia dan banyak anggota kelompoknya ditangkap Kempetai dan ditahan di Tanah Abang, Jakarta.
Sementara itu pendudukan Jepang tidak mengubah hubungan kemasyarakatan di Banten, di mana pejabat desa melakukan pekerjaan untuk orang Jepang dan karena gaya kolonial yang keras maka pejabat-pejabat itu semakin dibenci, bahkan dianggap sebagai warisan kolonial.
Pada 19 Agustus 1945, Tjek Mamad dibebaskan oleh tokoh senior Abdul Djalil Muluk dan Sjamsudin Tjan. Keduanya termasuk dalam lingkaran pemuda radikal di sekitar Soekarni dan Chairul Saleh. Setelah melapor, ia diminta Chairul Saleh untuk mengorganisir serah terima kekuasaan di Banten.
Pada 21 Agustus 1945, Tjek Mamad singgah di Tangerang dan bertemu dengan K.H. Achmad Chaerun, teman baik Achmad Chatib, salah seorang tokoh pemuda radikal, dan dibentuklah Dewan Rakjat untuk memutus masa lalu warisan kolonial. Dewan Rakjat merupakan inti pemerintahan model Soviet.
Pada 10 September 1945 Achmad Chatib diangkat Presiden Soekarno sebagai Residen Banten. Hal ini didahului dengan terjadinya kekosongan pemerintahan di Banten pasca proklamasi dimana para pemuda radikal melucuti senjata dan mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Para pembesar yang dibenci ada yang ditembaki & sebagian mengungsi ke tempat aman. Serangan terhadap markas besar Kempetai di Serang pada 11 Oktober 1945 menjadi penutup cerita keberadaan Jepang di Banten. Selanjutnya, Tjek Mamad diangkat menjadi ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) di Serang.
Tjek Mamad terus memperluas aksinya dengan menebarkan kebencian terhadap amtenar (pegawai negeri) dan mengorganisasi Lasjkar Rakjat yang terdiri dari jawara-jawara. Pada 27 Oktober 1945, Tjek Mamad memperkokoh aksinya dengan pengambilalihan kekuasaan secara formal.
Kesatuan militer saat itu, bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR), di bawah pimpinan Sjam’oen, tokoh pemuda lain di Banten, dengan dibantu oleh Chatib turun tangan, dan memaksa Tjek Mamad mundur ke Rangkasbitung.
Soekarno-Hatta mengunjungi Banten, sebagai bukti unjuk kekuatan, pada 9 Desember 1945 dan menyerukan agar hukum dipulihkan. Sempat muncul isu penculikan terhadap Soekarno tapi yang menjadi korban penculikan dan dibunuh adalah Bupati Lebak, Hardiwinangoen.
Berkat usaha TKR, pimpinan laskar Dewan Rakyat ditangkap dan awal Januari 1946 petualangan Dewan Rakyat Soviet di Banten berakhir.
Menurut analisis Harry A. Peoze, Kepala Peneliti KITLV Leiden, seperti ditulis di dalam bukunya “Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia”, medan kekuatan di Banten tahun 1945 memperlihatkan kemiripan yang mencolok dengan tahun 1926. Tapi lawan yang dihadapi tahun 1945 bukan penguasa kolonial melainkan Republik yang baru lahir dan para pelaku utamanya pun terjadi pengulangan.
R.E. Elson berpendapat bahwa revolusi sosial seperti yang terjadi di Banten, atau beberapa wilayah lainnya di Indonesia, pada akhir 1945 adalah sebuah gerakan yang berusaha untuk menghancurkan masa lalu yang kolot, serba teratur, aristrokratik, dan menindas, berikut segala perangkatnya, mempermalukan dan menghina para pemegang kekuasaannya, serta menggantikan masa lalu itu dengan masa depan yang lebih berani, romantik dan egaliter.
Sumber:
1. "Tan Malaka, Gerakan Kiri & Revolusi Indonesia" (Harry A. Poeze)
2. "The Idea of Indonesia, Sejarah Pemikiran dan Gagasan", R.E. Elson
Sejarah Ringkas Kepolisian RI & "Kapolri" Yang Tak Tercatat
Kiprah pasukan keamanan negara konon sudah lama dikenalkan sejak jaman kerajaan Singosari. Konon, nama “Abhayangkara” sebagai sekelompok orang pilihan (pasukan)
yang ditugaskan oleh kerajaan (negara) untuk menjaga keamanan sudah
digunakan sejak jaman Singosari, seperti diceritakan dalam Kitab
Pararotan, meski hanya terbatas keamanan keraton.
Pun di jaman Majapahit, konon diceritakan dalam Kitab Negarakertagama perihal eksekusi hukuman mati terhadap salah satu petinggi kerajaan di jaman Hayam Wuruk yang dilakukan oleh pasukan Bhayangkara bentukan patih Gajah Mada.
Catatan mengenai kepolisian di jaman Hindia Belanda diketahui bahwa kepolisian modern dibentuk antara 1897 dan 1920 sebagai produk dari “ketakutan” (pergerakan atau kebangkitan nasional) dan “kepedulian” (terhadap kemunculan politik etis pasca 1900). Film Si Pitung tahun 70an menggambarkan situasi yang mendekati kebenaran kondisi ini, di mana kepala polisinya seorang Belanda (meneer) sementara anak buahnya pribumi. Si meneer Belanda menggunakan kepanjangan tangan kolonial lain, yaitu Demang Meester, untuk menangkap Pitung yang dianggap selalu meresahkan masyarakat kulit putih di Betawi.
Di jaman kolonial Belanda, ternyata polisi pun pernah menangani soal-soal akhlak. Pada 1937, atas permintaan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, sebuah surat dari Christelijke Staaprtij (CSP), polisi mengadakan penyelidikan perkara homoseksualitas yang marak terjadi di kalangan pejabat tinggi pemerintah dan memenjarakan mereka yang terlibat. Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti Veld Politie (Polisi Lapangan), Stands Politie (Polisi Kota), Cultur Politie (Polisi Pertanian), Bestuurs Politie (Polisi Pamong Praja), dan lain-lain.
Dari beberapa rujukan tidak banyak perkembangan kepolisian Indonesia yang dicatat di jaman penjajahan Jepang.
Setelah Jepang hengkang dan Indonesia merdeka, pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuklah Badan Kepolisian Negara (BKN). Mengenai tanggal berdirinya BKN, sumber resmi di situs PTIK (http://www.stik-ptik.ac.id/detail/index.php…) menyebutkan tanggal 18 Agustus 1945.
Surabaya memiliki cerita tersendiri mengenai kepolisian dengan apa yang dikenal sebagai “Proklamasi Polisi” pada tanggal 21 Agustus 1945, oleh Komandan Polisi Istiwewa Jawa Timur, Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jasin dengan membacakan ikrar yang terkenal:
“Oentoek bersatu dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan Polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia”
Namun kebedaraannya baru diakui secara lokal sampai akhirnya pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara yang pertama.
Awalnya, kedudukan Kepolisian Negara berada di bawah Kementrian Dalam Negeri sebagai Djawatan Kepolisian Negara dan hanya mengurus hal-hal yang bersifat administrastif. Namun berdasarkan Penetapan Pemerintah No 11/SD tanggal 1 Juli 1946, dinyatakan bahwa Kepolisian Negara berdiri sendiri di bawah perdana menteri.
Penetapan inilah yang menjadi cikal bakal hari jadi korps Bhayangkara, meski sebenarnya instasi kepolisian sudah ada sejak jaman proklamasi, seperti dijelaskan di atas.
R.S. Said Soekanto secara resmi memang diakui sebagai kapolri pertama. Namun berdasarkan penelitian Marieke Bloembergen, dosen Sejarah di Universitas Amsterdam dan peneliti senior di KITLV (Institut Linguistik dan Antropologi Kerajaan Belanda), salah satu orang Indonesia yang pertama kali diperkenankan mengikuti pendidikan komisaris polisi adalah Raden Soenario pada April 1928. Tepat tahun itu dia lulus ujian komisaris polisi kelas dua, dan ditempatkan di Weltervreden, daerah tempat tinggal orang-orang Eropa di pinggiran Batavia (Sekarang meliputi seluruh wilayah Jakarta Pusat).
Ada juga nama Raden Mas Soemitro, komisaris polisi bumiputra lain yang disebut-sebut sebagai polisi pertama pribumi. Sejak 13 Juni 1922 ia ditempatkan sebagai komisaris kelas satu di Bandung. Sama seperti Soenario, jejak Soemitro sebagai polisi masih sedikit.
Dalam sejarah panjang kepolisian, ada satu nama yang tidak boleh dilupakan dan beliaulah yang mengharumkan nama korps bhayangkara, yaitu Hoegeng Iman Santoso, yang menjabat sebagai kapolri sejak 15 Mei 1968 s/d 2 Oktober 1971.
Hoegeng adalah sedikit di antara pejabat penting di negara ini yang dikenal jujur dan hidup bersahaja, selain Baharuddin Lopa. Hoegeng pernah terang-terangan menolak fasilitas yang telah disiapkan oleh cukong-cukong di Medan, bahkan mengeluarkan sendiri barang-barang pemberian tersebut dari rumah dinasnya.
Secara singkat, di masa kepemimpinannya, ada dua kasus besar yang pernah ditangani yang cukup menggemparkan, yaitu penyelundupan mobil mewah oleh Robby Cahyadi dan pembunuhan Sum Kuning. Kasus yang pertama cukup banyak melibatkan penguasa jaman itu sedangkan kasus kedua diduga kuat melibatkan anak2 pejabat tinggi & kasus yang mengakhiri karir cemerlang Hoegeng.
Seorang Gus Dur pernah bilang:
“Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, polisi tidur, patung polisi dan Hoegeng”.
Sebagai penutup, saya kutip 2 pandangan pakar mengenai kepolisian...
"Polisi adalah lembaga yang tak tergantikan" (Casamayor, "La Police", 1973)
"Polisi itu ibarat sepatu yang senantiasa dibutuhkan. Bila sepatu itu kemasukan air, sepatu itu dikeringkan dengan menjemurnya, kalau ada yang sobek dijahit, tetapi sepatu itu tetap diperlukan untuk melindungi kaki dari beling, paku dan benda tajam lainnya" (Pengantar dari Asvi Warman Adam dalam buku "Hoegeng, Oase di Tengah Keringnya Penegakan Hukum di Indonesia”)
Sumber:
1. "Memoar Jasin, Sang Polisi Pejuang, Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia", Moehammad Jasin
2. "Polisi Jaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan", Marieke Bloembergen
3. "Hoegeng, Oase di Tengah Keringnya Penegakan Hukum di Indonesia", Aris Santoso dkk
Pun di jaman Majapahit, konon diceritakan dalam Kitab Negarakertagama perihal eksekusi hukuman mati terhadap salah satu petinggi kerajaan di jaman Hayam Wuruk yang dilakukan oleh pasukan Bhayangkara bentukan patih Gajah Mada.
Catatan mengenai kepolisian di jaman Hindia Belanda diketahui bahwa kepolisian modern dibentuk antara 1897 dan 1920 sebagai produk dari “ketakutan” (pergerakan atau kebangkitan nasional) dan “kepedulian” (terhadap kemunculan politik etis pasca 1900). Film Si Pitung tahun 70an menggambarkan situasi yang mendekati kebenaran kondisi ini, di mana kepala polisinya seorang Belanda (meneer) sementara anak buahnya pribumi. Si meneer Belanda menggunakan kepanjangan tangan kolonial lain, yaitu Demang Meester, untuk menangkap Pitung yang dianggap selalu meresahkan masyarakat kulit putih di Betawi.
Di jaman kolonial Belanda, ternyata polisi pun pernah menangani soal-soal akhlak. Pada 1937, atas permintaan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, sebuah surat dari Christelijke Staaprtij (CSP), polisi mengadakan penyelidikan perkara homoseksualitas yang marak terjadi di kalangan pejabat tinggi pemerintah dan memenjarakan mereka yang terlibat. Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti Veld Politie (Polisi Lapangan), Stands Politie (Polisi Kota), Cultur Politie (Polisi Pertanian), Bestuurs Politie (Polisi Pamong Praja), dan lain-lain.
Dari beberapa rujukan tidak banyak perkembangan kepolisian Indonesia yang dicatat di jaman penjajahan Jepang.
Setelah Jepang hengkang dan Indonesia merdeka, pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuklah Badan Kepolisian Negara (BKN). Mengenai tanggal berdirinya BKN, sumber resmi di situs PTIK (http://www.stik-ptik.ac.id/detail/index.php…) menyebutkan tanggal 18 Agustus 1945.
Surabaya memiliki cerita tersendiri mengenai kepolisian dengan apa yang dikenal sebagai “Proklamasi Polisi” pada tanggal 21 Agustus 1945, oleh Komandan Polisi Istiwewa Jawa Timur, Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jasin dengan membacakan ikrar yang terkenal:
“Oentoek bersatu dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan Polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia”
Namun kebedaraannya baru diakui secara lokal sampai akhirnya pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara yang pertama.
Awalnya, kedudukan Kepolisian Negara berada di bawah Kementrian Dalam Negeri sebagai Djawatan Kepolisian Negara dan hanya mengurus hal-hal yang bersifat administrastif. Namun berdasarkan Penetapan Pemerintah No 11/SD tanggal 1 Juli 1946, dinyatakan bahwa Kepolisian Negara berdiri sendiri di bawah perdana menteri.
Penetapan inilah yang menjadi cikal bakal hari jadi korps Bhayangkara, meski sebenarnya instasi kepolisian sudah ada sejak jaman proklamasi, seperti dijelaskan di atas.
R.S. Said Soekanto secara resmi memang diakui sebagai kapolri pertama. Namun berdasarkan penelitian Marieke Bloembergen, dosen Sejarah di Universitas Amsterdam dan peneliti senior di KITLV (Institut Linguistik dan Antropologi Kerajaan Belanda), salah satu orang Indonesia yang pertama kali diperkenankan mengikuti pendidikan komisaris polisi adalah Raden Soenario pada April 1928. Tepat tahun itu dia lulus ujian komisaris polisi kelas dua, dan ditempatkan di Weltervreden, daerah tempat tinggal orang-orang Eropa di pinggiran Batavia (Sekarang meliputi seluruh wilayah Jakarta Pusat).
Ada juga nama Raden Mas Soemitro, komisaris polisi bumiputra lain yang disebut-sebut sebagai polisi pertama pribumi. Sejak 13 Juni 1922 ia ditempatkan sebagai komisaris kelas satu di Bandung. Sama seperti Soenario, jejak Soemitro sebagai polisi masih sedikit.
Dalam sejarah panjang kepolisian, ada satu nama yang tidak boleh dilupakan dan beliaulah yang mengharumkan nama korps bhayangkara, yaitu Hoegeng Iman Santoso, yang menjabat sebagai kapolri sejak 15 Mei 1968 s/d 2 Oktober 1971.
Hoegeng adalah sedikit di antara pejabat penting di negara ini yang dikenal jujur dan hidup bersahaja, selain Baharuddin Lopa. Hoegeng pernah terang-terangan menolak fasilitas yang telah disiapkan oleh cukong-cukong di Medan, bahkan mengeluarkan sendiri barang-barang pemberian tersebut dari rumah dinasnya.
Secara singkat, di masa kepemimpinannya, ada dua kasus besar yang pernah ditangani yang cukup menggemparkan, yaitu penyelundupan mobil mewah oleh Robby Cahyadi dan pembunuhan Sum Kuning. Kasus yang pertama cukup banyak melibatkan penguasa jaman itu sedangkan kasus kedua diduga kuat melibatkan anak2 pejabat tinggi & kasus yang mengakhiri karir cemerlang Hoegeng.
Seorang Gus Dur pernah bilang:
“Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, polisi tidur, patung polisi dan Hoegeng”.
Sebagai penutup, saya kutip 2 pandangan pakar mengenai kepolisian...
"Polisi adalah lembaga yang tak tergantikan" (Casamayor, "La Police", 1973)
"Polisi itu ibarat sepatu yang senantiasa dibutuhkan. Bila sepatu itu kemasukan air, sepatu itu dikeringkan dengan menjemurnya, kalau ada yang sobek dijahit, tetapi sepatu itu tetap diperlukan untuk melindungi kaki dari beling, paku dan benda tajam lainnya" (Pengantar dari Asvi Warman Adam dalam buku "Hoegeng, Oase di Tengah Keringnya Penegakan Hukum di Indonesia”)
Sumber:
1. "Memoar Jasin, Sang Polisi Pejuang, Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia", Moehammad Jasin
2. "Polisi Jaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan", Marieke Bloembergen
3. "Hoegeng, Oase di Tengah Keringnya Penegakan Hukum di Indonesia", Aris Santoso dkk
Langganan:
Postingan (Atom)