Dalam postingan saya yang lain sempat disinggung juga mengenai keberhasilan upaya
penyelundupan senjata yang dilakukan oleh Laksamana John Lie, (bisa
dibaca disini: http://serpihan-sejarah.blogspot.com/2015/02/john-lie-smuggler-with-bible.html), kali ini saya coba olah & ringkas kejadian yang kurang lebih sama.
Postingan kali ini, dituturkan oleh, tanpa bermaksud menihilkan
peranan tokoh lainnya, Suryono Darusman, ayah dari Marzuki Darusman,
mantan Jaksa Agung RI era Presiden Gus Dur.
Suryono Darusman
lahir di Payakumbuh tanggal 17 Agustus 1919. Berawal sebagai anggota
misi militer Indonesia di Singapura dan Malaya (1945-1950), kemudian
menjadi Kepala Bagian Politik Kantor Indonesia di Singapura. Karirnya
berlanjut di lingkungan Departemen Luar Negeri RI sebagai Dubes RI untuk
Mexico (1970-1973), Dubes RI untuk Uni Soviet (1973-1976), menjadi
Direktur Jenderal Politik Deplu dan Dubes RI untuk Swiss (1979-1982).
Beliau meninggal dunia tanggal 15 April 2000 dalam usia hampir 81 tahun.
Menyadari kemungkinan bahwa Belanda akan kembali menjajah negeri
tercinta, baik di level pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah
berusaha menyiapkan berbagai langkah yang dipandang perlu, termasuk
menyelundupkan senjata guna memperkuat Angkatan Perang Republik
Indonesia yang dilakukan secara mandiri oleh komando2 militer di Jawa
dan Sumatera. Singapura adalah tujuan terdekat misi-misi yang dikirim ke
luar negeri.
Modus operandi yang dilakukan saat itu adalah
dengan mengirimkan sebuah kapal bermuatan hasil bumi yang berasal dari
wilayah komando militer tertentu, biasanya adalah gula dan karet. Hasil
penjualan komoditas tadi dibelikan senjata dan dibawa kembali ke wilayah
komando asal komoditas tersebut. Salah satu misi itu berangkat dari
Pangkalan IV Angkatan Laut RI di Tegal dimana Suryono Darusman Terlibat
di dalamnya.
Beberapa hari sebelum Natal tahun 1945, 2 orang
sipil yang direkrut oleh Komandan Pangkalan, Suryono Darusman dan R.E.
Bajened (REB). Nama yang disebut terakhir adalah warga Indonesia
keturunan Arab yang pernah bermukim di Singapura. Misi ini
diberangkatkan dari Tegal menggunakan kapal kayu yang diberi nama “SAN
GIANG” dengan membawa keluarga masing2 untuk menyamarkan misi. Saat itu
terkumpul sekitar 100 ton gula pasir yang dikumpulkan oleh Pangkalan IV
AL.
Perjalanan dari Tegal ke Singapura memakan waktu 2 minggu
dengan kondisi yang mencemaskan dan membosankan. Setibanya di Singapura,
mereka pindah ke sampan kecil menuju Raffles Bay, lalu menuju ke sebuah
rumah di Oxley Road, dimana tim ditampung oleh keluarga Mohammad
Alkaff, seorang keturunan Arab yang dikenal oleh REB. Setelah berhasil
menjual gula pasir, REB mencari koneksi ke makelar2 penjual senjata. Di
saat yang sama datang juga warga negara Indonesia lainnya bernama Izak
Mahdi, yang diutus oleh Mr. A. Karim, Kepala Bank Negara Indonesia di
Yogyakarta, untuk survey pembukaan hubungan dagang dengan Singapura.
Izak Mahdi ini kebetulan juga ipar dari Suryono Darusman. Pada bulan
Juli 1946 datang juga Kepala Intel AD, Bagdja Nitidiwirya yang diutus
dari Mabes AD di Yogyakarta untuk meninjau misi2 yang beroperasi di luar
negeri. Mereka bertiga kemudian bergabung untuk melaksanakan misi
bersama2.
Tim kemudian berkenalan dengan seorang dokter yang
mulanya dipercaya sebagai dokter keluarga tim, namanya dr. Samad. Karena
sering bertemu dan bercerita mengenai sikon yang dialami di Indonesia
terjalinlah hubungan persahabatan. Karena perasaan serumpun dan
bersimpat atas perjuangan rakyat Indonesia, dr. Samad kemudian
mengenalkan tim dengan seorang warga Cina-Singapura, Joe Loh, yang
diketahui belakangan sebagai mantan pejuang bawah tanah pasukan rahasia
Inggris, “Force 136”. Setelah terbangun saling pengertian dan
kepercayaan, Joe Loh bersedia bergabung dengan misi Tim.
Dengan
memanfaatkan jaringan internasionalnya selama PD2, Joe Loh membeberkan
rencana Tim kepada orang2 pemegang kunci di Changi Naval Base yang
berhasl diyakinkan untuk membantunya. Izak Mahdi ditugaskan mendampingi
Joe Loh dan kerja sama keduanya menghasilkan permulaan usaha yang baik,
yaitu deal pembelian senjata tanpa pembayaran uang muka.
Tahap
berikutnya adalah mengirimkan senjata ke Tegal dan disini lagi peranan
Joe Loh dengan cara meyakinkan seorang nahkoda kapal warga negara asing
untuk membawa senjata ke wilayah RI namun dengan imbalan yang sangat
tinggi, SGD 30 ribu. Karena keterbatasan dana yang didapat, Joe Loh
lagi-lagi mau membantu dengan menggunakan sebagian besar dana pribadinya
sebesar SGD 20 ribu, sedangkan sisanya SGD 10 ribu adalah hasil
penjualan barang pribadi keluarga Tim.
Misi ini berasal dari nama
kapal yang digunakan “MERIAM BEE” berbendera Singapura yang dinahkodai
oleh Frazer, warga negara Skotlandia. Adapun Kepala Kamar Mesin warga
Polandia, Kovalksi.
Pemuatan senjata dilakukan oleh tawanan2 eks
tentara Jepang pada akhir bulan September 1946 dan berlangsung hingga 10
jam. Keberangkatan “MERIAM BEE” dari Naval Base telah diatur oleh
orang2 yang tidak dikenal Tim, dengan muatan 1.800 pucuk senapan Lee
Enfield, 6 buah meriam anti-aircraft Oerlikon, seragam militer, obat2an,
dsb, yang diperkirakan cukup untuk melengkapi satu resimen tentara.
Yang ditugaskan untuk ikut mengawal adalah Bagdja Nitidiwiria, Joe Loh
dan Suryono Darusman, sementara Izak Mahdi tetap tinggal di Singapura.
Dikisahkan, kapal “MERIAM BEE” berlayar melintasi Bangka-Belitung,
kemudian menyusuri perairan Kalimantan. Beberapa kali memang terlihat
kapal patroli Belanda tapi tidak sampai terjadi insiden hingga akhirnya
kapal berhasil mencapai perairan Tegal pada 5 Oktober 1946. Tim dijemput
oleh Mayor (L) Soenar Soerapoetera, didampingi Kapten Langkay dan
perwira KKO Ali Sadikin. Malamnya, Suryono diperintahkan mendampingi Joe
Loh ke Yogyakarta untuk menghadap Presiden Soekarno, sementara Bagdja
melapor ke atasannya, perwira AD di Mabes.
Di Yogyakarta, Suryono
dan Joe Loh diantar Kolonel Darwis Djamin menghadap Presiden Soekarno,
yang memberikan ucapan selamat atas keberhasilan misi yang dinilai
sebagai usaha penyelundupan senjata terbesar sejak revolusi dimulai.
Terhadap Joe Loh sebagai perwakilan dari pihak penjual senjata,
Presiden Soekarno menawarkan 3 alternatif pembayarannya: barter dengan
gula pasir (ini yang dipilih), barter dengan perhiasan hasil rampasan
dari tentara Jepang atau dengan candu yang berasal dari pemerintah
Hindia-Belanda.
Namun ternyata buntut perjalanan misi tidak
sempurna. Pada masa itu suplai gula ke Singapura sedang masif sehingga
stok banyak menumpuk yang menyebabkan harga turun drastis. Penjualan 500
ton yang diharapkan bisa mendapatkan USD 350 ribu terjual jauh di bawah
harga. Berbagai upaya dilakukan oleh anggota tim tapi tidak berhasil
sementara penjual senjata yang menagih pembayaran sudah mulai hilang
kepercayaan. Dalam hal ini reputasi Joe Loh dipertaruhkan. Sikon
revolusi memang membuat roda pemerintahan tidak berjalan normal sehingga
penanganan ekses misi “MERIAM BEE” tidak cukup jelas. Hal ini membuat
kesuksesan yang sempat diraih misi ini lenyap dari ingatan orang.
Adapun Joe Loh mengalami nasib yang memprihatinkan demi mempertaruhkan
reputasi pribadinya terhadap rekan2nya yang memasok persenjataan tapi
usahanya gagal total. Suryono terakhir kali bertemu Joe Loh pada tahun
1952 dengan lirih ia bilang “Rupanya alam pun ikut memusuhi saya...”.
Tak lama kemudian Joe Loh meninggal dunia dalam kondisi yang
mengenaskan.
Buntut misi “MERIAM BEE” belum selesai, entah apa
penyebab pastinya, sebagian salinan dokumen2 rahasia jatuh ke tangan
Belanda termasuk kegiatan2 warga Indonesia yang ada di Singapura. Hal
ini menyebabkan Suryono dan Bagdja dipanggil Criminal Investigation
Department Singapura. Pada saat pemeriksaan, kepada keduanya
diperlihatkan salinan dokumen yang berisi laporan aktivitas Tim selama
di Singapura sejak tahun 1946. Atas upaya dari Mr. Utoyo Ramelan, Kepala
Indonesian Office di Singapura, Suryono dan Bagdja akhirnya berhasil
meninggalkan Singapura.
Sumber:
"Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar Jaman Singapura 1945-1950"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar