Rabu, 11 Februari 2015

Revolusi Sosial di Banten 1945-1946

Entah karena keterbatasan kurikulum atau sengaja “disembunyikan” seperti fragmen sejarah lainnya, banyak yang tidak tahu bahwa revolusi sosial pernah terjadi di wilayah Banten pasca proklamasi 1945 sampai dengan awal 1946.

Awal persemaian revolusi sosial bisa dilihat dari situasi pada tahun 1925 dimana Partai Komunis Indonesia tumbuh pesat di Banten. Saat pecah pemberontakan PKI pertama kali pada 12 November 1926, Banten termasuk pendukung yang bersemangat melanjutkan pemberontakan. Dengan dalih memulihkan kewibawaan, dilakukan tindakan keras oleh pemerintah kolonial berupa penahanan, membuang pelaku ke Digul dan sebagian dihukum mati.

Sesudah tahun 1927 Banten tidak mengalami perbaikan positif, sehingga rakyat hanya bisa pasrah dan keluh kesah atas ketidakpuasan ini terpusat di orang-orang komunis eks Digul.

Akhir tahun 1930an, muncul kelompok Tjek Mamad & Toebagus Alipan yang sempat melarikan diri ke Singapura pada peristiwa pemberontakan 1926.

Tjek Mamad sempat berkelana dan menjadi sedikit orang Indonesia di sekitar Tan Malaka ketika di Tiongkok. Ia terlibat dalam propaganda Pari (Partai Republik Indonesia) Mohammad Arief Siregar di Palembang kemudian ditangkap pada 1932. Ia juga menjalin hubungan dengan organisasi sopir radikal, Persatoean Sopir Indonesia, pimpinan Mr. M. Joesoef. Tjek Mamad yang membantu Tan Malaka dalam pelayaran dari Sumatra ke Jawa pada Juli 1942. Pada awal tahun 1944 ia dan banyak anggota kelompoknya ditangkap Kempetai dan ditahan di Tanah Abang, Jakarta.

Sementara itu pendudukan Jepang tidak mengubah hubungan kemasyarakatan di Banten, di mana pejabat desa melakukan pekerjaan untuk orang Jepang dan karena gaya kolonial yang keras maka pejabat-pejabat itu semakin dibenci, bahkan dianggap sebagai warisan kolonial.

Pada 19 Agustus 1945, Tjek Mamad dibebaskan oleh tokoh senior Abdul Djalil Muluk dan Sjamsudin Tjan. Keduanya termasuk dalam lingkaran pemuda radikal di sekitar Soekarni dan Chairul Saleh. Setelah melapor, ia diminta Chairul Saleh untuk mengorganisir serah terima kekuasaan di Banten.

Pada 21 Agustus 1945, Tjek Mamad singgah di Tangerang dan bertemu dengan K.H. Achmad Chaerun, teman baik Achmad Chatib, salah seorang tokoh pemuda radikal, dan dibentuklah Dewan Rakjat untuk memutus masa lalu warisan kolonial. Dewan Rakjat merupakan inti pemerintahan model Soviet.

Pada 10 September 1945 Achmad Chatib diangkat Presiden Soekarno sebagai Residen Banten. Hal ini didahului dengan terjadinya kekosongan pemerintahan di Banten pasca proklamasi dimana para pemuda radikal melucuti senjata dan mengambil alih kekuasaan dari Jepang. Para pembesar yang dibenci ada yang ditembaki & sebagian mengungsi ke tempat aman. Serangan terhadap markas besar Kempetai di Serang pada 11 Oktober 1945 menjadi penutup cerita keberadaan Jepang di Banten. Selanjutnya, Tjek Mamad diangkat menjadi ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) di Serang.

Tjek Mamad terus memperluas aksinya dengan menebarkan kebencian terhadap amtenar (pegawai negeri) dan mengorganisasi Lasjkar Rakjat yang terdiri dari jawara-jawara. Pada 27 Oktober 1945, Tjek Mamad memperkokoh aksinya dengan pengambilalihan kekuasaan secara formal.

Kesatuan militer saat itu, bagian dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR), di bawah pimpinan Sjam’oen, tokoh pemuda lain di Banten, dengan dibantu oleh Chatib turun tangan, dan memaksa Tjek Mamad mundur ke Rangkasbitung.

Soekarno-Hatta mengunjungi Banten, sebagai bukti unjuk kekuatan, pada 9 Desember 1945 dan menyerukan agar hukum dipulihkan. Sempat muncul isu penculikan terhadap Soekarno tapi yang menjadi korban penculikan dan dibunuh adalah Bupati Lebak, Hardiwinangoen.

Berkat usaha TKR, pimpinan laskar Dewan Rakyat ditangkap dan awal Januari 1946 petualangan Dewan Rakyat Soviet di Banten berakhir.

Menurut analisis Harry A. Peoze, Kepala Peneliti KITLV Leiden, seperti ditulis di dalam bukunya “Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia”, medan kekuatan di Banten tahun 1945 memperlihatkan kemiripan yang mencolok dengan tahun 1926. Tapi lawan yang dihadapi tahun 1945 bukan penguasa kolonial melainkan Republik yang baru lahir dan para pelaku utamanya pun terjadi pengulangan.

R.E. Elson berpendapat bahwa revolusi sosial seperti yang terjadi di Banten, atau beberapa wilayah lainnya di Indonesia, pada akhir 1945 adalah sebuah gerakan yang berusaha untuk menghancurkan masa lalu yang kolot, serba teratur, aristrokratik, dan menindas, berikut segala perangkatnya, mempermalukan dan menghina para pemegang kekuasaannya, serta menggantikan masa lalu itu dengan masa depan yang lebih berani, romantik dan egaliter.


Sumber:

1. "Tan Malaka, Gerakan Kiri & Revolusi Indonesia" (Harry A. Poeze)

2. "The Idea of Indonesia, Sejarah Pemikiran dan Gagasan", R.E. Elson

Tidak ada komentar:

Posting Komentar