Entah karena keterbatasan kurikulum atau sengaja “disembunyikan”
seperti fragmen sejarah lainnya, banyak yang tidak tahu bahwa revolusi
sosial pernah terjadi di wilayah Banten pasca proklamasi 1945 sampai
dengan awal 1946.
Awal persemaian revolusi sosial bisa dilihat
dari situasi pada tahun 1925 dimana Partai Komunis Indonesia tumbuh
pesat di Banten. Saat pecah pemberontakan PKI pertama kali pada 12
November 1926, Banten termasuk pendukung yang bersemangat melanjutkan
pemberontakan. Dengan dalih memulihkan kewibawaan, dilakukan tindakan
keras oleh pemerintah kolonial berupa penahanan, membuang pelaku ke
Digul dan sebagian dihukum mati.
Sesudah tahun 1927 Banten tidak
mengalami perbaikan positif, sehingga rakyat hanya bisa pasrah dan keluh
kesah atas ketidakpuasan ini terpusat di orang-orang komunis eks Digul.
Akhir tahun 1930an, muncul kelompok Tjek Mamad & Toebagus Alipan
yang sempat melarikan diri ke Singapura pada peristiwa pemberontakan
1926.
Tjek Mamad sempat berkelana dan menjadi sedikit orang
Indonesia di sekitar Tan Malaka ketika di Tiongkok. Ia terlibat dalam
propaganda Pari (Partai Republik Indonesia) Mohammad Arief Siregar di
Palembang kemudian ditangkap pada 1932. Ia juga menjalin hubungan dengan
organisasi sopir radikal, Persatoean Sopir Indonesia, pimpinan Mr. M.
Joesoef. Tjek Mamad yang membantu Tan Malaka dalam pelayaran dari
Sumatra ke Jawa pada Juli 1942. Pada awal tahun 1944 ia dan banyak
anggota kelompoknya ditangkap Kempetai dan ditahan di Tanah Abang,
Jakarta.
Sementara itu pendudukan Jepang tidak mengubah hubungan
kemasyarakatan di Banten, di mana pejabat desa melakukan pekerjaan untuk
orang Jepang dan karena gaya kolonial yang keras maka pejabat-pejabat
itu semakin dibenci, bahkan dianggap sebagai warisan kolonial.
Pada 19 Agustus 1945, Tjek Mamad dibebaskan oleh tokoh senior Abdul
Djalil Muluk dan Sjamsudin Tjan. Keduanya termasuk dalam lingkaran
pemuda radikal di sekitar Soekarni dan Chairul Saleh. Setelah melapor,
ia diminta Chairul Saleh untuk mengorganisir serah terima kekuasaan di
Banten.
Pada 21 Agustus 1945, Tjek Mamad singgah di Tangerang dan
bertemu dengan K.H. Achmad Chaerun, teman baik Achmad Chatib, salah
seorang tokoh pemuda radikal, dan dibentuklah Dewan Rakjat untuk memutus
masa lalu warisan kolonial. Dewan Rakjat merupakan inti pemerintahan
model Soviet.
Pada 10 September 1945 Achmad Chatib diangkat
Presiden Soekarno sebagai Residen Banten. Hal ini didahului dengan
terjadinya kekosongan pemerintahan di Banten pasca proklamasi dimana
para pemuda radikal melucuti senjata dan mengambil alih kekuasaan dari
Jepang. Para pembesar yang dibenci ada yang ditembaki & sebagian
mengungsi ke tempat aman. Serangan terhadap markas besar Kempetai di
Serang pada 11 Oktober 1945 menjadi penutup cerita keberadaan Jepang di
Banten. Selanjutnya, Tjek Mamad diangkat menjadi ketua Komite Nasional
Indonesia (KNI) di Serang.
Tjek Mamad terus memperluas aksinya
dengan menebarkan kebencian terhadap amtenar (pegawai negeri) dan
mengorganisasi Lasjkar Rakjat yang terdiri dari jawara-jawara. Pada 27
Oktober 1945, Tjek Mamad memperkokoh aksinya dengan pengambilalihan
kekuasaan secara formal.
Kesatuan militer saat itu, bagian dari
Tentara Keamanan Rakyat (TKR), di bawah pimpinan Sjam’oen, tokoh pemuda
lain di Banten, dengan dibantu oleh Chatib turun tangan, dan memaksa
Tjek Mamad mundur ke Rangkasbitung.
Soekarno-Hatta mengunjungi
Banten, sebagai bukti unjuk kekuatan, pada 9 Desember 1945 dan
menyerukan agar hukum dipulihkan. Sempat muncul isu penculikan terhadap
Soekarno tapi yang menjadi korban penculikan dan dibunuh adalah Bupati
Lebak, Hardiwinangoen.
Berkat usaha TKR, pimpinan laskar Dewan
Rakyat ditangkap dan awal Januari 1946 petualangan Dewan Rakyat Soviet
di Banten berakhir.
Menurut analisis Harry A. Peoze, Kepala
Peneliti KITLV Leiden, seperti ditulis di dalam bukunya “Tan Malaka,
Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia”, medan kekuatan di Banten tahun
1945 memperlihatkan kemiripan yang mencolok dengan tahun 1926. Tapi
lawan yang dihadapi tahun 1945 bukan penguasa kolonial melainkan
Republik yang baru lahir dan para pelaku utamanya pun terjadi
pengulangan.
R.E. Elson berpendapat bahwa revolusi sosial seperti
yang terjadi di Banten, atau beberapa wilayah lainnya di Indonesia,
pada akhir 1945 adalah sebuah gerakan yang berusaha untuk menghancurkan
masa lalu yang kolot, serba teratur, aristrokratik, dan menindas,
berikut segala perangkatnya, mempermalukan dan menghina para pemegang
kekuasaannya, serta menggantikan masa lalu itu dengan masa depan yang
lebih berani, romantik dan egaliter.
Sumber:
1. "Tan Malaka, Gerakan Kiri & Revolusi Indonesia" (Harry A. Poeze)
2. "The Idea of Indonesia, Sejarah Pemikiran dan Gagasan", R.E. Elson
Tidak ada komentar:
Posting Komentar