Kisah heroik John Lie pernah diulas secara khusus di majalah Life
edisi bulan September 1949 dengan judul “Guns-Bibles are Smuggled to
Indonesia” yang ditulis oleh wartawan Roy Rowan dengan foto artikel
kapten John Lie di ruang kemudi kapal sedang memegang Alkitab. Menurut
Rowan, ada 2 Alkitab di dalam ruang kemudi dalam bahasa Inggris dan
Belanda. Sedangkan biografi mengenai Laksaman John Lie sudah diterbitkan
dalam sebuah buku berjudul “Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi” pada tahun
2008.
Terlahir dengan nama John Lie Tjeng Tjoan pada 9 Maret
1911, anak ke 2 dari seorang ayah bernama Lie Kae Tae dan ibu bernama
Maryam Oei Tseng Nie ini memiliki 4 saudara laki2 dan 3 saudari
perempuan. Jika dirunut ke atas, kakek John Lie dari ayahnya, Lie Eng
Goan, masih keturunan dari keluarga Kyai Mojo, salah satu tokoh
terkemuka dalam Babad Diponegoro.
Meski ayah John Lie seorang
pengusaha, seperti pada umumnya warga Tionghoa ketika itu, tapi tak satu
pun yang mengikuti jejak ayahnya, bahkan 7 anaknya menjadi PNS.
Saat usia 7 tahun, John Lie masuk sekolah dasar di Holland Chinese
School (HCS) yang diperuntukkan bagi warga Tionghoa dengan kedudukan
sosial tertentu. Sudah sejak kecil John Lie memang menyukai hal2 yang
berhubungan dengan air sehingga bisa disebut masa itu adalah “dunia
air”. Suatu ketika, di pelabuhan Manado ada kapal eskader milik tentara
AL Kerajaan Belanda. John Lie nekad berenang ke kapal dan menaikinya
seraya bilang “Nanti saya mau jadi kapten…suatu saat akan pimpin kapal
begini…”
Ketika menginjak usia 17 tahun (catatan: ada juga yang
menyebut usianya 15 tahun) di akhir tahun 1927, John Lie meninggalkan
Manado atas kemauannya sendiri dan dengan modal bekal uang yang ia
kumpulkan. Ia menumpang kapal milik KPM dan tiba di Batavia pada awal
tahun 1928. Pada bulan Juli 1928, John Lie bekerja sempat bekerja
sebagai buruh Pelabuhan sampai Oktober 1929.
Setelah mengikuti
kursus navigasi selama 3 bulan di Batavia, pada bulan Nopember 1929,
John Lie mulai bekerja di KPM sebagai Stuurman Vaart di kapal KM
“SINGKARAK”, setelah itu bertugas di KM “VAN NORD”, dst (Catatan: di
dalam buku “Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran” disebut sebagai Stuurman
Vaart tapi di buku biografinya sebagai Klerk Muallim III). Pada bulan
Pebruari 1942 ia bertugas di KM “TOSARI” dan sedang berada di pelabuhan
Cilacap. Saat itu perang Jepang sudah terjadi, kapal membawa 400 ton
karet semula hendak berlayar ke Australia tetapi berubah haluan menuju
Colombo.
Ketika Jepang mendarat di Jawa, KM “TOSARI” sedang
menuju Teluk Persia dan lego jangkar di pelabuhan milik Royal Navy
dimana John Lie bergabung dalam Logistic Task Force Royal Navy yang
melayani pasokan kapal2 sekutu yang tiba dari Australia. Semasa inilah
John Lie banyak belajar meningkatkan keahlian militernya.
Tahun
1945 ketika bom atom dijatuhkan di 2 kota di Jepang, Hiroshima dan
Nagasaki, para pelaut Indonesia ingin segera pulang ke Indonesia, tapi
John Lie baru bisa pulang pada bulan Pebruari 1946. Saat singgah di
Singapura, John Lie sempat mempelajari tehnik membersihkan ranjau laut
oleh Royal Navy dan strategi gerilya laut di Selat Malaka.
Pada
bulan April 1946 John Lie tiba di Tanjung Priok. Setelah mengumpulkan
informasi, pada bulan Mei 1946 John Lie menemui pimpinan Laskar
Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) Hans Pandelaki dan Mohede di
Jalan Cilacap, Menteng. John Lie diterima sebagai anggota KRIS Barisan
Lautan & diberi surat pengantar untuk menghadap Mr. A.A. Maramis.
Oleh Maramis, ia diberikan referensi untuk menghadap Kepala Staf ALRI
Laksamana M. Pardi di Yogyakarta dengan menumpang kereta api. Di
Karawang, ia justru sempat ditahan pejuang2 KRIS karena dianggap mata2
Belanda namun 2 hari kemudian dibebaskan dan selamat tiba di Yogyakarta.
Di Yogya, John Lie sempat bertemu sahabatnya, Willy Sumantri, yang
bertugas di ALRI dan membantu mengatur pertemuan dengan Kasal. Setelah
dilakukan pemeriksaan oleh perwira intelijen saat itu, Mayor
Martadinata, Mayor Singataruna dan Mayor Mangastowo, John Lie
menjelaskan maksudnya. Setelah itu ia dihadapkan ke Kasal yang
didampingi oleh Laksamana Nazir. Setelah menceritakan pengalamannya,
Kasal bingung menawarkan pangkat apa ke John Lie mengingat pengalamannya
sudah banyak. Tapi dijawab oleh John Lie bahwa ia datang bukan untuk
mencari pangkat melainkan untuk berjuang di laut karena hanya itulah
modal yang bisa ia berikan.
Setelah itu John Lie menerima surat
dari Kapten Saheran berupa keputusan Kasal mengangkat John Lie sebagai
Kelasi III. Saat itu banyak perwira yang meragukan ihwal pengetahuan
kelautannya. Padahal John Lie pernah memperbaiki kekeliruan Mayor
Martadinata saat memasang susunan warna dan bentuk bendera kelautan
internasional.
Bulan Agustus 1946 pimpinan staf ALRI mengadakan
pertemuan membahas sikon terakhir di Republik yang dipimpin oleh Kasal
Laksamana M. Pardi, dan dihadiri oleh Laksamana Nazir, Kolonel Sumarno,
Mayor Martadinata, Mayor Mangastowo, Mayor Singotaruno dan John Lie yang
masih berpangkat Kelasi III.
Pimpinan ALRI menawarkan John Lie
untuk bertugas di pangkalan besar di pantai utara Pulau Jawa tapi John
Lie meminta ditempatkan di Cilacap karena dinilai strategis sebagai
“pintu belakang” untuk keluar masuk gerilya laut dan alternatif jalur
keluar komoditas ekspor gula dan karet untuk membiayai perjuangan RI.
John Lie akhirnya ditempatkan di Cilacap dengan tugas cukup berat,
yaitu menjadi petugas nautika, membersihkan perairan dan pantai Segara
Anakan dari rintangan pelayaran, menjadikan Segara Anakan tempat
berlatih dan melatih personil ALRI.
Setibanya di Cilacap, John
Lie melapor kepada perwira senior setempat dan memulai kerja sesuai
penugasannya. Sejak Agustus 1946 sampai Nopember 1946 dengan metode yang
ia diterapkan, John Lie berhasil membersihkan 5 ranjau laut, bangkai
tongkang dan potongan2 kayu yang mengganggu alur pelayaran.
Bersambung...
Sumber:
1. "Biografi Laksamana Muda John Lie - Memenuhi Panggilan Ibu Pertiwi", M. Nursam
2."Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran, Sejak Nusantara Sampai Indonesia", Iwan Santosa
ntah kenapa saya suka membaca sekali artikel nasionalis dari pahlawan ber etnik Tiong Hwa, mungkin karena ketulusan mereka yang amat sangat.
BalasHapus