Tony Wen alias Boen Kim to, dilahirkan di Sungai Liat, Bangka, tahun
1911, dari keluarga yang cukup berada. Ayahnya seorang Kepala Parit
Bangka Biliton Tin Maatschapij di Belitung. Ia berperawakan ganteng, ramah, penampilannya rapih & tata bahasanya baik mencerminkan orang yang terpelajar.
Setelah mengenyam sekolah dasar di tempat kelahirannya, ia pergi ke
Singapura untuk melanjutkan sekolah menengah. Setelah lulus SMA, ia
kuliah ke Wu Jiang University, Shanghai, dan setelah itu kuliah Liang
Nan University, Guangzhou.
Setelah pulang ke Hindia-Belanda, Wen pernah mengajar menjadi guru olahraga di sekolah Pa Hoa di Jakarta.
Pada masa pendudukan Jepang ia bekerja sebagai jurubahasa di kantor
urusan Hoa Kiao (Kakyo Hanbu) salah satu bagian pusat intelijen Jepang
(Sambu Beppan). Setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945,
ia pindah ke Solo dan memimpin organisasi Barisan Pemberontak Tionghoa
yang membantu menyediakan logistik bagi para pejuang di Solo dan
melakukan barter hasil bumi dari daerah kekuasaan Republik dengan
barang-barang di daerah kekuasaan Belanda. Menurut buku “Seratus Tahun
Sekolah Pa Hoa (1901 – 2001)” yang ditulis oleh Sam Setyautama, inilah
kiprah awal perjuangan Tony Wen. Ia juga terlibat sebagai komandan
International Volunteer Brigade (IVB) di sekitar Magelang, Jawa Tengah,
yang merupakan pasukan gabungan dari beragam kebangsaan, seperti
Filipina, India, dan Tionghoa yang bersimpati pada perjuangan
kemerdekaan Indonesia.
Keponakan Tony Wen, Amung Chandra Chen,
menambahkan, Wen yang menikahi bibi dari Amung Chandra Chen, memiliki
kedekatan khusus dengan Presiden Soekarno. Saat dibuang di Bangka,
adalah keluarga Chen yang diminta melayani keperluan Bung Karno, mulai
dari kiriman uang, baju, hingga cabut gigi, atas permintaan Tony Wen
yang saat itu sedang berjuang di luar Indonesia.
Karena
keahliannya saat di di Solo, ia dipercaya oleh Pemerintah RI yang
membutuhkan dana perjuangan untuk menjual candu2 mentah yang diproduksi
oleh pabrik2 candu milik pemerintah Hindia-Belanda. Kiprah ini dimulai
dengan menjual 22 ton candu mentah pada tahun 1948 dari pabrik candu di
Salemba di gang Opium.
Untuk diketahui, pada masa2 revolusi
perjuangan, Pemerintah Indonesia yang perekonomiannya sekarat memang
sangat membutuhkan dana, di antaranya untuk operasional kantor2
perwakilan Indonesia di luar negeri yang dibuka di antaranya di India di
India, Singapura, Inggris dan Thailand, pada tahun 1948. Kabinet M.
Hatta ketika itu menyetujui usulan Menteri Keuangan saat itu A.A.
Maramis, untuk menjual candu ke luar negeri. Koordinator tim yang
ditunjuk adalah Mukarto Notowidagdo dengan pelaksana Tony Wen, dibantu
oleh Karkono Komajaya dan diawasi oleh Soebeno Sosropoetro.
Wen
kemudian menghubungi temannya di Singapura yang memiliki jaringan candu,
Lie Kwet Tjien. Operasi itu dilaksanakan tanggal 7 Maret 1948 dengan
mengangkut ½ ton candu dari pantai Popoh di selatan Kediri, dengan
melintasi pantai selatan Jawa ke Selat Lombok untuk menghindari patroli
kapal Belanda, dan tiba di Singapura tanggal 13 Maret 1948.
Operasi lanjutan dilaksanan dengan bantuan Laksamana John Lie, pemilik
nama asli Daniel Jahja Dharma, yang menggunakan pesawat amphibi Catalina
yang dicarter dan berhasil melakukan 2x kiriman candu sebanyak 4 ton ke
Singpura. Tapi kemudian operasi tersebut tercium oleh Belanda yang
menyebabkan Tony Wen ditangkap polisi Inggris di Singapura.
Selepas masa penahanan, Wen masuk menjadi anggota PNI pada 1952 dan
menjadi anggota DPR sejak 1954 s/d 1956 menggantikan kedudukan drs. Yap
Tjwan Bing.
Setelah penyerahan kedaulatanpada 1948, Tony Wen
diangkat menjadi anggota Komite Olimpiade Indonesia (KOI) pada 1950 dan
ikut membela kepentingan kesebelasan nasional Indonesia di Asian Games I
di New Delhi. Wen juga pernah mengabdi di Kementrian Luar Negeri
sebagai Atase Kebudayaan di Australia semasa Menlu Mochtar
Kusumaatmadja.
Tony Wen meninggal pada 30 Mei 1963 karena sakit dan jasadnya
dimakamkan di pemakaman umum Menteng Pulo. Kini namanya diabadikan
sebagai nama salah satu jalan (dulu Jalan Melintas) di kota Pangkal
Pinang.
Sumber:
1. "Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran Sejak Nusantara Sampai Indonesia"
2. http://www.pahoa.or.id/newsdetail.php?id=292
Tidak ada komentar:
Posting Komentar