Rabu, 11 Februari 2015

Dwitunggal: Berselisih & Beda Pendapat Bukan Berarti Tidak Memaafkan

Dua hari sebelum Soekarno wafat, pada 19 Juni 1970, Hatta mendatangi (besuk) Soekarno setelah mendapatkan ijin dari penguasa militer (saat itu Soekarno dalam status karantina politik).

Wangsawidjaja menulis:

"Wajah tampan Soekarno sudah berubah tidak karuan & sangat pucat akibat bengkak & gangguan ginjal..."
Begitu Hatta datang, tiba2 mata Soekarno terbuka & dengan nada terkejut dia berkata lirih:

"Hatta, kamu ke sini?"

Meutia, putri sulung Hatta yang dulu tali pusarnya ditanam Soekarno di Reksobayan, Yogyakarta, mengungkapkan adegan berikutnya:

Hatta: "Bagaimana kabarmu, No?"

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya. Bibir Soekarno bergetar, tiba2 dia balik bertanya dalam bahasa Belanda:

Soekarno: "Hoe gaat het met jou?"

Hatta memaksakan tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno yang terisak bagai anak kecil sedang Hatta tak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Air matanya juga tumpah, Hatta ikut menangis.

"No..."

Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya yang bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya.
Meutia tidak kuasa meneruskan kisahnya karena langsung menangis.

2 hari kemudian, 21 Juni 1970, persisnya hari ini, 44 tahun yang lalu, bung Karno meninggal dunia.
Begitulah akhirnya seorang besar yang dikucilkan pergi untuk selama2nya dalam kesepian & kekecewaan yang mendalam.

Betapa terkejut Buya Hamka, seorang ulama besar, yang sempat difitnah pada masa Demokrasi Terpimpin & meringkuk di penjara, meski berbeda ideologi & politik tapi luluh hatinya ketika diminta menjadi imam shalat jenazah.

Jauh sebelumnya, pada 1 Desember 1956, Hatta memutuskan u/ mengundurkan diri dari jabatan wapres & membiarkan Soekarno berjalan 'sendirian'.


Sumber:

1. "Djakarta 1945 Awal Revolusi Kemerdekaan", Julius Pour

Tidak ada komentar:

Posting Komentar