Menurut Dr. Linda Sunarti dalam disertasi yang diterbitkan menjadi
buku dengan judul “Persaudaraan Sepanjang Hayat Mencari Penyelesaian
Damai Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1963 - 1966”, secara resmi hubungan
Indonesia sebagai sesama bangsa yang merdeka baru terjalin setelah
Malaysia memperoleh kemerdekaan dari Inggris pada 31 Agustus 1957. Namun
demikian, sebenarnya hubungan kedua bangsa ini sudah berjalan secara
informal jauh sebelumnya karena sejarah persamaan ras rumpun Melayu.
Sebelum masuknya kolonialisme Inggris & Belanda, masyarakat kedua
bangsa dihubungkan secara politis oleh kerajaan2 yang secara bergantian
saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Penduduk Malaysia tidak
mengganggap orang2 Bugis & Minangkabau sebagai orang asing. Hal ini
terbukti dari penerimaan penduduk Selangor terhadap Raja Lumu, anak dari
pembesar Bugis Daeng Chelak, sebagai sultan mereka pada 1742. Menurut
catatan Trenggoning dalam "Papers on Malayan History" yang dikutip oleh
Linda Sunarti, Orang2 Bugis datang ke tanah Melayu & pulau2 lain
setelah Belanda menaklukkan Makassar pada 1667. Demikian juga Kesultanan
Malaka yang didirikan oleh Parameswara, seorang pangeran dari Sriwijaya
(Palembang), yang melarikan diri dari serangan Majapahit ke
Tumasik/Singapura. Parameswara kemudian mendirikan Kesultanan Malaka
pada tahun 1400an yang kemudian berkembang sebagai kota dagang besar di
jamannya menggantikan kedudukan Kerajaan Sriwijaya.
Hubungan
politik & budaya yang sangat dekat ini kemudian berubah sejak
kedatangan bangsa2 Barat, terutama Inggris & Belanda, yang kemudian
menguasai Indonesia & Malaysia. Hal ini sebagai tindak lanjut dari
Perjanjian London tahun 1824 yang dikenal dengan Treaty of Commerce and
Exchange Between Great Britain and Netherlands. Dapat dikatakan bahwa
inilah titik perpisahan antara Indonesia dan Malaysia secara politik
karena membagi dunia Melayu menjadi 2 kawasan yang berlainan dari segi
politik.
Berdasarkan Pasal 9 dan 10 Perjanjian London 1824,
pihak Inggris setuju menyerahkan semua pusat perdagangannya di Sumatera
kepada pihak Belanda dan tidak akan membuat sembarang perjanjian dengan
pemimpin lokal di pulau Sumatera. Sebaliknya, Belanda menyerahkan kota
Malaka dan kawasan2 di Semenanjung Malaysia kepada pihak Inggris dan
tidak akan membuat sembarang perjanjian dengan pemimpin lokal di
Semenanjung Malaysia.
Bahkan peneliti Malaysia pun menilai bahwa
Perjanjian ini merupakan sebagian dari agenda “pecah belah” (divide at
empera) pihak Barat terhadap rumpun bangsa Melayu. Meskipun perjanjian
ini secara politik telah membelah Kerajaan Melayu ke dalam 2 wilayah
politik yang berbeda, yaitu Singapura (Temasek) dan Johor berada di
bawah kekuasaan Inggris sedangkan Riau & Lingga berada di bawah
kekuasaan Belanda, hubungan sosio-kultural masyarakat di wilayah
semenanjung itu tetap berlangsung baik & sama sekali tidak terganggu
oleh keputusan politik kedua pemerintah kolonial itu. Bahkan, ketika
terjadi konfrontasi Indonesia-Malaysia, masyarakat di wilayah itu tetap
mondar-mandir melakukan hubungan sosial, budaya, & perdagangan.
Ketika Jepang memasuki Semenanjung Melayu menggantikan kekuasaan
kolonial Inggris, 15 Februari 1942, dan menduduki Jawa menggantikan
kekuasaan Belanda, 8 Maret 1942, makin mempererat hubungan
sosio-kultural kedua masyarakat di Semenanjung ini.
(Catatan:
Kedatangan Jepang ke Tanah Melayu terjadi 8 Desember 1941, sehari
setelah kapal perang Inggris “PRINCE OF WALES” dan “REPULSE” di luar
pantai Kuantan, negeri bagian Pahang, ditenggelamkan oleh Angkatan Laut
Jepang. Pihak Inggris berusaha melakukan perlawanan namun akhirnya
menyerah pada 15 Februari 1942)
Ketika Malaysia memperoleh
kemerdekaan pada 1957, situasi politik internasional saat itu
dipengaruhi suasana Perang Dingin antara Blok Barat, dibawah pimpinan
Amerika Serikat, dan Blok Timur, dibawah pimpinan Uni Soviet.
Pertentangan antara kedua Blok ini juga mempengaruhi pembentukan
kebijakan luar negeri Malaysia. Sebagai sebuah negara yang baru merdeka,
Malaysia sangat mengkhawatirkan keselamatan dan keamanan negaranya.
Pada saat itu tidak ada pilihan bagi Malaysia, selain bersikap
pro-Barat, karena pertahanan Malaysia pada masa itu sangat bergantung
pada Inggris sebagai anggota Blok Barat. Karena alasan inilah, Tunku
Abdul Rahman menandatangani perjanjian dengan Inggris yang berisi
Perjanjian Pertahanan Inggris-Tanah Melayu, ataupun sering disebut
sebagai AMDA (Anglo-Malaya Defence Agreement) pada tahun 1957, yang
menyerahkan tanggung jawab pertahanan Tanah Melayu kepada Inggris,
sekiranya Malaya diserang dari luar.
Bahkan Tunku Abdul Rahman
pernah secara terang-terangan menyatakan prinsip kebijakan luar negeri
yang dijalankannya dengan kalimat “Tanah Melayu bukanlah sebuah negara
berkecuali. Kita anti Komunis dan menyokong pihak Barat”. Ini berbeda
dengan penerusnya kemudian, yaitu Tun Abdul Razak yang lebih menyadari
akan realitas bahwa Malaysia adalah bagian dari Asia Tenggara, sementara
Tunku Abdul Rahman yang lebih berorientasi ke Barat.
Sementara
itu banyak pemimpin Indonesia mengganggap bahwa Malaya tidak pernah
benar2 merdeka karena tidak pernah terjadi revolusi di sana dan
mencurigai kehadiran Inggris yang tetap mempertahankan pangkalan
militernya. Indonesia yang baru terbebas dari praktek kolonialisme &
imperialisme, mencurigai terbentuknya negara Malaysia sebagai bentuk
Neo-Kolonialisme baru. Selain itu, Indonesia sebagai negara besar yang
baru merdeka, memiliki kecenderungan untuk bertindak dan dianggap
sebagai “Saudara Tua”.
Di dalam Malaysia sendiri ada kelompok2
yang tidak menyetujui kebijakan politik Malaysia yang pro-Barat. Mereka
adalah kaum nasionalis Melayu yang berhaluan kiri seperti Ibrahim
Yaakub, Ahmad Bustaman, dan anggota PKM (Partai Kebangsaan Melayu atau
Malay Nationalist Party) dan mempunyai hubungan dengan pemimpin Komunis
di Indonesia seperti Tan Malaka dan Alimin pada tahun 1940-an. Kelompok
ini, menurut ukuran Melayu saat itu, dinilai memiliki faham yang
radikal. Sebagian besar dari mereka memiliki cita-cita menyatukan
Indonesia dan Tanah Melayu dalam sebuah negara, yaitu negara “Melayu
Raya” atau “Indonesia Raya”.
Namun, di kalangan lapisan elite
Melayu, terutama elite Melayu atas, yang kebanyakan merupakan tokoh inti
dalam UMNO (United Malays National Organization), suatu organisasi
politik orang Melayu yang didirikan pada tahun 1946, faham nasionalisme
dari Indonesia itu tidak mendapat tempat di kalangan kelompok lapisan
atas. Kelompok ini menganggap faham2 dari Indonesia, terutama Sosialisme
dan Komunisme, dapat membahayakan hak-hak istimewa sebagai pemimpin
tradisional Melayu. Apalagi faham nasionalisme yang dibawa oleh tokoh
radikal dari Indonesia bertujuan menghapus sistem feodalisme Melayu yang
dikhawatirkan akan membahayakan kedudukan mereka yang berasal dari
kalangan kerajaan. Di Malaysia, paham ini ditolak oleh kaum elit melayu
yaitu kelompok inti di partai UMNO dan pemerintah kolonial Inggris
karena bertujuan juga mengusir bangsa penjajah Inggris dari Malaysia.
Konflik hubungan awal antara Indonesia dan Malaysia juga dipengaruhi
oleh perkembangan politik di Indonesia pada saat terjadi gerakan
PRRI/Permesta. Oleh pemerintah Indonesia, Malaysia (dan Singapura)
ketika itu menjadi proksi bagi Barat untuk menjatuhkan pemerintahan
Soekarno dengan mengijinkan pelabuhannya digunakan pihak Barat untuk
menyalurkan bantuan kepada PRRI.
Puncak dari awal konflik
hubungan Indonesia dan Malaysia adalah meletusnya konfrontasi pada 1963,
yaitu pembentukan Federasi Malaysia pada 16 September 1963 yang
dianggap sebagai titik tolak penting yang dipandang sebagai agenda Barat
untuk mengepung Indonesia.
Sumber:
1. “Persaudaraan Sepanjang Masa, Mencari Jalan Penyelesaian Damai Konfrontasi Indonesia-Malaysia 1963-1966”, Linda Sunarti
2. “Politik Luar Negeri Malaysia Terhadap Indonesia 1957 – 1976: Dari
Konfrontasi Menuju Kerjasama”, Linda Sunarti, bisa dibaca disini http://susurgalur-jksps.com/…/2014/03/06.linda_.ui_.3.14.pdf
3. “Gerakan Budaya Menjelang Kemerdekaan Indonesia-Malaysia”, Maman S. Mahayana, bisa dibaca disini http://journal.ui.ac.id/…/humaniti…/article/download/110/106
4. “Malaysia-Indonesia: Pengalaman Dua Negara Serumpun”, Rohani Hj. Ab. Gani & Zulhilmi Paidi, bisa dibaca disini http://repo.uum.edu.my/3175/1/S11.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar