Selama ini kita sering mendengar tentang berita yang menyebutkan
kedatangan "Ratu Adil". Sebagian dari kita mungkin ada yang menilai
"Ratu Adil" sebagai mitos. Apakah demikian semata adanya? Dalam arti,
apakah "Ratu Adil" tidak bisa dilihat dari aspek keilmuan lain?
Dari kata yang disematkannya, "mitos" menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia terbitan Balai Pustaka berarti cerita yang mempunyai latar
belakang sejarah, dipercayai masyarakat sebagai cerita yang benar-benar
terjadi, dianggap suci, mengandung hal-hal yang dianggap ajaib dan
umumnya ditokohi oleh para dewa.
Sedangkan "Ratu Adil", seperti
dikutip dari "Enslikopedi Nasional Indonesia, Jilid 14" (B. Setiawan)
oleh Dwi Eriska Agustin dalam skripsi yang berjudul "Pengaruh Mitos Ratu
Adil Dalam Perang Jawa" adalah sebutan untuk tokoh kharismatis,
"pesuruh Tuhan" yang memimpin gerakan dalam menentang berbagai perubahan
sosial sebagai akibat penetrasi pemerintahan kolonial yang semakin
kuat.
Menurut Prof DR H Mohammad Rasyidi harapan akan datangnya
seorang "juru selamat" merupakan gejala kemanusian yang umum, karena
orang yang berada dalam penderitaan atau tekanan yang tak tertahankan,
akan mengharapkan datangnya seseorang yang bisa membebaskannya dari
penderitaan itu.
Harus diakui, masih banyak masyarakat kita
percaya, khususnya di kalangan marginal, bahwa Ratu Adil akan datang
atas nama Tuhan untuk menghukum orang-orang Jahat. Di masyarakat Jawa
hal ini telah tumbuh & terpelihara setidaknya sejak abad ke 12 yang
dikenal dengan "Ramalan Jayabaya" (Raja Kediri).
Namun demikian,
ternyata konsep "Ratu Adil" tidak melulu urusan mitos, tapi dapat
dipelajari sebagai bagian dari ilmu pengetahuan di bidang sejarah. Salah
seorang pakar historiografi Indonesia yang menjadikan "Ratu Adil"
sebagai salah satu karya terbesarnya adalah Prof. Sartono Kartodirdjo.
Mengutip dari buku "100 Tokoh Yang Mengubah Indonesia", Sartono dikenal
sebagai pelopor penulisan sejarah dari sudut pandang rakyat kecill.
Jika sebelumnya, sejarah adalah milik penguasa (dari zaman kerajaan
hingga zaman republik) maka Sartono membalikkan kebiasaan tersebut. Ia
menulis sejarah dari persepsi wong cilik. Justru karena itulah, hasil
karyanya memiliki banyak keistimewaan. Sartono mengulas secara
mendalam Gerakan Ratu Adil (millenarianisme) atau sering juga disebut
gerakan Juru Selamat (mesianisme) atau gerakan Pribumi (nativisme) atau
Kenabian (prophetisme) atau Penghidupan Kembali (Revivalisme), sebagai
gerakan keagamaan yang menantikan datangnya seorang Juru Selamat, Imam
Mahdi, atau Mesias; Ratu yang akan membawa kebahagiaan dan kemakmuran
seperti pada masa lampau. Disebut gerakan keagamaan karena banyak
gerakan sosial (termasuk kerusuhan, pemberontakan & sektarianisme)
cenderung berhubungan dengan gerakan2 yang diilhami oleh agama atau
menggunakan cara2 agama untuk mewujudkan tujuan2 gaib mereka. Pada
umumnya gerakan sosial tersebut mempunyai segi2 yang bercorak keagamaan.
Oleh Sartono, Pralambang Jayabaya (untuk menyebut Ramalan Jayabaya),
sebagai suatu mesianisme tampak dengan jelas dalam fakta2 historis, yang
disebut sebagai huru-hara atau kerusuhan. Sebagai sebuah gerakan,
fakta2 itu bermotifkan kepercayaan kepada kedatangan Ratu Adil.
Contoh2 peristiwa berdasarkan kajian sejarah Sartono yang tercatat di dalam bukunya antara lain:
- Peristiwa Mangkuwijaya di Klaten pada1865
- Peristiwa Nyi Aciah, di Malangbong (1870)
- Peristiwa Nurhakim (1870)
- Gerakan Amat Ngaisa dan/atau Gerakan Kobra (1871)
- Gerakan Mas Malangyuda dari Rajawana Kidul (1877)
- Kasus Nanggulan oleh Sukradana (1878)
- Peristiwa Imam Sujana (1886)
- Pemberontakan Srikaton di Cilegon (1888)
- Peristiwa Jasmani (1888)
- Peristiwa Tegalreja oleh Dulmadjid (1889)
- Kasus Pulung, Srikaton & Jalegong (1904)
- Gerakan Imam Buntaran (1907)
- Peristiwa Tangerang (1924)
- Peristiwa Srandakan oleh Kramaseja (1924)
- Peristiwa Tambakmerang oleh Wirasenjaya (1935)
Oleh Sartono, ditarik kesimpulan dari peristiwa2 di atas yaitu terdapat
beberapa ciri umum yang dapat dikemukakan, yaitu: messianistic,
millenaristic, nativistic, segi2 ramalan, ide tentang perang suci,
kebencian terhadap apa saja yang berbau asing, magico-mysticism &
pujaan terhadap nenek moyang.
Sebagai ideologi dari gerakan
sosial, Ratu Adil atau mesianisme secara inheren memuat sifat radikal
dan revolusioner. Kepercayaan mesianistis membangkitkan bahwa masyarakat
adil dan makmur dapat dipastikan akan datang, maka wajar bila rakyat
yang penuh keyakinan itu bersedia merealisasikan ramalan itu secara
radikal dan revolusioner. Rakyat tidak segan menempuh jalan apapun,
apalagi rakyat sudah menaruh loyalitas total pada sang Ratu Adil,
sehingga jika perlu mengadakan perjuangan dengan mempertaruhkan
hidupnya.
Sartono juga menyebut Perang Diponegoro (1825-1830)
adalah salah satu gerakan mesianistis yang tertua yang pernah terjadi di
Jawa.
Dalam sejarahnya, gerakan Ratu Adil ini tidak lepas juga dari propaganda politik dari pihak2 yang berkepentingan.
Kita tentu masih ingat Peristiwa APRA yang diotaki & digerakkan
oleh Westerling. Seorang Westerling pun memahami bahwa sebagian rakyat
Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda
atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang
terdapat dalam ramalan Jayabaya, oleh karenanya ia menggunakan nama
"Ratu Adil" sebagai embel2 gerakannya untuk menarik minat massa.
Adanya berbagai ciri mengenai Ratu Adil tidak mudah menunjuk sosok
manusia untuk dijadikan atau dianggap sebagai Ratu Adil, sehingga muncul
dugaan & anggapan terhadap berbagai macam sosok manusia yang
diklaim sebagai Ratu Adil oleh golongan tertentu apabila yang
bersangkutan merupakan sosok yang memiliki kharisma tinggi.
Munculnya H.O.S Cokro Aminoto, Ir. Sukarno, Soeharto, Gus Dur dan
Megawati dalam sejarah Indonesia juga dipandang sebagai bukti rakyat
mempercayai tokoh tersebut hadir sebagai sang Ratu Adil sehingga dalam
ruang geraknya mendapatkan dukungan yang luar biasa dari rakyat.
Dalam konteks politik kekinian, isu Ratu Adil biasanya selalu muncul menjelang pemilihan umum, baca misalnya:
http://m.tribunnews.com/…/petani-jember-sebut-jokowi-ratu-a…
Untuk masalah ini menurut Sartono, memberikan watak politik atau watak
revolusioner pada setiap gerakan keagamaan adalah kekeliruan.
Menurut saya (TS), mungkin jika diskursus mengenai Ratu Adil bermuatan
politis atau dibatasi hanya pada urusan politik, maka itulah mitos Ratu
Adil yang sebenarnya.
Mendiang Budayawan W.S. Rendra dalam banyak forum perbincangan pernah menyinggung hal ini:
"Sudahlah Ratu Adil tak ada. Dia tak akan datang. Lagipula kita tidak butuh Ratu Adil, kita hanya butuh hukum yang adil!"
Impian akan datangnya Ratu Adil, kata dia, merupakan impian yang muncul
akibat kuatnya represi sehingga keadilan dan kesejahteraan di
masyarakat yang menghilang. Suasana terasa sumpek karena hanya berisi
keculasan. Budaya dan sistem sosial terasa tak berguna karena hanya
menyajian kerendahan selera.
Jadi, masih percaya Ratu Adil itu hanya mitos belaka?
Sumber:
1. "Ratu Adil", Sartono Kartodirdjo
2. "Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia", Sartono Kartodirdjo
3. "Pengaruh Mitos Ratu Adil Dalam Perang Jawa", Dwi Eriska Agustin
4. http://m.republika.co.id/…/n6j7k319-di-bawah-bayang-ratu-ad…
5. http://www.filsafat-uin-suka.com/…/sosok-ratu-adil-dalam-ra…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar