Tulisan ini tidak menganalisa mengenai status PRRI/Permesta, apakah
suatu pemberontakan atau bukan, tapi lebih kepada hal2 yang
melatarbelakangi terjadinya gerakan PRRI/Permesta yang sudah dikompilasi
& ditulis seringkas mungkin.
(Catatan: sejauh ini baru ada 1
buku karya penulis lokal yang membahas masalah ini tapi kesimpulannya
masih mengambang & belum konklusif, yaitu "PRRI: Pemberontakan atau
Bukan?", Syamdani)
Beberapa Faktor Penyebab
Beberapa studi
mengenai penyebab PRRI/Permesta umumnya semua bermuara pada
ketidakpuasan rakyat atau pimpinan di luar Jawa (Daerah) terhadap
penyelenggaraan pemerintahan (Pusat) yang dilakukan para pemimpin RI
karena dirasakan terlalu sentralistis & berorientasi Jawa. Sementara
sebaliknya, Pusat menganggap bahwa pendapatan Daerah diperuntukkan bagi
kepentingan nasional. Pergolakan seperti ini muncul pertama kali di
Sumatera pada pertengahan 1950.
Kebijakan Kabinet ketika dipimpin
oleh Ali Sastroamidjojo, lebih mementingkan politik luar negeri dan
penggalangan massa politik lewat dropping pegawai dari pusat ke daerah2.
Hal yang disebut terakhir berdampak pada terpinggirkannya putra2 daerah
untuk tampil membangun daerahnya sendiri. Jenderal Nasution sebenarnya
juga cukup risau dengan kenyataan bahwa di Sumatera Tengah jabatan
gubernur, residen, jaksa dan kepala polisi semuanya dari Jawa, kecuali
pimpinan militer yang asli daerahnya.
Kehancuran sistem
perekonomian Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1929 dan berlanjut saat
pecahnya revolusi. Setelah penyerahan kedaulatan, pernah diusahakan
beberapa upaya perbaikan, misalnya:
- Rencana Urgensi Perekonomian, pada Kabinet Natsir (1951)
- Biro Perancang Negara, pada Kabinet Sukiman (1952)
- Garis-Garis Besar Rancangan Pembangunan Lima Tahun 1950 – 1960
Namun sejak 1953 haluan politik dinilai tidak kondusif bagi pembangunan
ekonomi di daerah. Hal ini ditandai dengan penyalahgunaan wewenang
pemerintah pusat dalam penggunaan sumber devisa, pemberian ijin atau
fasilitias istimewa kepada anggota partai penyokongya dan birokrasi yang
berbelit2. Hal ini berimbas, salah satunya, pada kesejahteraan prajurit
TNI yang membuat pimpinan2 militer di daerah kecewa. Maka mereka
menempuh jalan sendiri2 dalam menghimpun dana, yaitu melakukan
perdagangan tanpa prosedur yang seharusnya. Oleh pemerintah pusat
kegiatan para petinggi militer di daerah itu disebut “barter”.
Ketidakpuasan di daerah2 ini diperburuk dengan kondisi internal tentara,
khususnya AD, yang tidak kompak & bisa dibilang terpecah belah.
Malah menurut 1 studi menilai pemberontakan tidak akan terjadi jika AD
tetap bersatu (lihat "Keterlibatan Australia Dalam Pemberontakan
PRRI/Permesta). Perpecahan di tubuh AD ini ditandai dengan peristiwa 17
Oktober 1952 dimana, menurut 1 versi, pimpinan AD mengajukan petisi
kepada Presiden Soekarno untuk membubarkan Parlemen. Tindakan ini
mendapat kecaman dari internal AD yang kontra 17 Oktober 1952 yang
berbuntut pada diberhentikannya Mayjen Nasution dari jabatan KSAD.
Masalah ini berbuntut panjang & menjadi salah 1 sebab yang mendorong
perwira2 di Daerah ikut serta dalam PRRI/Permesta.
Faktor lain
adalah perkembangan politik dalam negeri dimana Pusat mengambil
kebijakan "mengampuni" PKI & memberikan kesempatan berkembang biak
di Indonesia. Hasilnya, PKI masuk dalam 4 besar parpol di Pemilu 1955.
Secara ringkas oleh R.Z. Leirissa ditulis dalam bukunya “PRRI/Permesta,
Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis”, ada 4 penyebab menjelang
pergolakan, yaitu: (1) Gagalnya Sistem Politik; (2) Gagalnya Pembangunan
Ekonomi; (3) Ancaman Komunisme di Indonesia; dan (4) Kesenjangan
Internal Angkatan Darat.
Intervensi Asing
Konstelasi ini
pastinya tidak luput dari pengamatan AS sebagai kekuatan utama dari blok
Barat (kapitalis) kontra blok Timur (komunis) yang sedang berebut
pengaruh dari negara2 Asia-Afrika, termasuk Indonesia. Apalagi PKI
semakin menancapkan pengaruhnya. AS dan sekutunya merasa khawatir dengan
masa depan Indonesia. Hal ini dipandang oleh banyak pengamat sebagai
pintu masuk keterlibatan asing terhadap PRRI/Permesta.
Sikap
Menlu AS saat itu, John Foster Dulles, sangat tegas & jelas,
"...siapa yang tidak berpihak kepada AS adalah musuh AS!" Karenanya, AS
akan mendukung bahkan memberikan bantuannya kepada mereka yang melawan
komunis di Indonesia (PKI) yang mendapat angin dari Pusat. Hal inilah
yang juga memberikan dorongan terjadinya peristiwa PRRI/Permesta.
Detil mengenai analisis keterlibatan AS dijelaskan oleh Audrey R. Kahin
& George McT. Kahin di bukunya "Subversi Sebagai Politik Luar
Negeri", mulai Bab 3, halaman 67. Misalnya dijelaskan bahwa pada bulan
Oktober 1957 CIA menawarkan bantuan keuangan & senjata kepada
Kolonel M. Simbolon. Bahkan pesawat amfibi Catalina tercatat pernah
mendarat di Danau Singkarak untuk keperluan ini, termasuk pengangkutan
personil PRRI dengan kapal selam ke luar negeri untuk memperoleh latihan
di Singapura, Thailand & Malaya.
Dalam suatu seminar di
Pusat Kajian Wilayah Amerika, Kampus UI Depok, tanggal 21 April 1998,
dalam rangka 50 tahun hubungan Indonesia-AS, Kolonel Ventje Sumual
mengakui bahwa para pimpinan Permesta telah mengadakan hubungan dengan
pihak AS malah ia katakan:
"Sayalah yang mengadakan
hubungan...sebagai orang yang bertekad melakukan perlawanan bersenjata
melawan Pusat sesuai kesepakatan Sungai Dareh"
Jadi cukup jelas bahwa AS & Inggris mengadakan intervensi dengan membantu pemberontakan tersebut.
Peristiwa Cikini.
Pada tanggal 10 s/d 13 September 1957 sebenarnya telah diupayakan
musyawarah nasional oleh PM Djuanda dengan mengundang semua stakeholders
termasuk perwira2 pembangkang. Dalam acara ini sempat dibentuk Panitia
Tujuh yang menilai perwira2 pembangkang. Sebulan kemudian diadakan
musyawarah pembangunan nasional tapi kurang membawa hasil.
Di
tengah upaya tersebut, pada tanggal 30 Nopember 1957 terjadi percobaan
pembunuhan terhadap Presiden Soekarno yang terkenal dengan nama
Peristiwa Cikini. Efek dari peristiwa ini semakin memperburuk hubungan
antara Pusat & Daerah karena Soekarno menduga upaya tersebut
didalangi oleh perwira2 pembangkang.
Akibatnya, para perwira
pembangkang yang dituduh oleh Pusat mengadakan serangkain pertemuan, di
antaranya yang krusial adalah Pertemuan Sungai Dareh pada 9 & 10
Desember 1957, yang mempersatukan daerah2 yang sedang bergejolak.
Hasil dari serangkaian pertemuan ini adalah saat diumumkannya Piagam
Perjuangan pada tanggal 10 Pebruari 1958 jam 10.00 di Padang oleh Ketua
Dewan Perjuangan, Kolonel Ahmad Hussein, yang isinya kurang lebih
mengultimatum Presiden untuk mengambil kembali mandat dari Kabinet
Djuanda dalam waktu 5 x 24 jam.
Pusat kemudian menindaklanjuti
tuntutan Daerah dengan mengadakan sidang kabinet pada 11 Pebruari 1958
yang isinya menolak ultimatum Dewan Perjuangan.
Penolakan dari Pemerintah Pusat direspon dengan membentuk dan mengumumkan Kabinet PRRI pada 15 Pebruari 1958.
Presiden Soekarno yang baru tiba dalam lawatan ke luar negeri
memerintahkan tindakan tegas terhadap penyelewengan yang diumumkan PRRI.
Sumber:
1. "PRRI: Pemberontakan atau Bukan?", Syamdani
2. "Subversi Sebagai Politik Luar Negeri", Audrey R. Kahin & George McT. Kahin
3. "PRRI/Permesta - Strategi Membangun Indonesia Tanpa Komunis”, R.Z. Leirissa
4. "Di Bawah Bayang2 AS - Keterlibatan AS Dalam Pemberontakan PRRI/Permesta”, Boogie Wibowo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar