Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia versi online, arti dari istilah "anak kolong" adalah:
"anak serdadu (yang lahir dan dibesarkan di tangsi pada zaman Hindia Belanda)"
TS pribadi jika mendengar istilah "anak kolong" akan mendapatkan
impresi hal yang berbau militer atau mereka yang hidup di komplek
militer plus kehidupan yang relatif keras. TS pun mendapatkan impresi
istilah "anak kolong" sering berhubungan dengan hal2 yang negatif.
Apakah benar demikian? Jika ditelusuri dari aspek sejarahnya bisa jadi benar adanya. Mari kita cermati sedikit...
Dalam buku "ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995" yang ditulis oleh Budi
Susanto & A. Made Tony Supriatma, "anak kolong" muncul karena
problema sosial dari kehidupan tangsi militer di jaman Hindia-Belanda.
Dari tangsi2 militer ini (dan juga dari perkebunan yang memiliki
karakter terisolasi yang sama dengan tangsi) lahir satu golongan sosial
yang dikenal dengan nama "Indo", yaitu mereka yang berayah Eropa &
beribu pribumi. Mereka ini adalah kalangan masyarakat yang ditolak oleh
warga Eropa totok tapi juga tersisih dari komunitas pribumi. Satu2nya
jalan bagi mereka adalah kembali ke tangsi militer dengan pelarian ke
alkohol & pergundikan.
Namun demikian kehidupan di tangsi
militer bukan sekedar pertemuan & percampuran antara 2 bangsa &
budaya yang berbeda tetapi juga pertemuan & percampuran antara laki2
& perempuan yang tinggal bersama di dalamnya. Di tangsi, tentara
Eropa & pribumi yang masih lajang diperkenankan hidup bersama dengan
perempuan pribumi tanpa pernikahan.
Lalu bagaimana melihat hubungan antara "anak kolong" dengan tangsi militer yang menjadi asal usul istilah tersebut.
Hal ini dijelaskan oleh Reggie Baay di dalam buku "Nyai &
Pergundikan di Hindia Belanda" mengutip Lin Scholte yang pernah
merasakan kehidupan di tangsi, sbb:
"Pernah masuk ke dalam
bangsal rumah sakit kuno? Ruang panjang dengan langit2 tinggi & di
sepanjang kedua sisinya terdapat ranjang2 dengan ruang sempit di
antaranya...di dalamnya tinggal para anggota militer KNIL berpangkat
rendah baik yang sudah menikah - dengan atau tanpa anak - maupun yang
masih lajang...mereka yang sudah menikah mendapat ruang kecil dengan
ranjang bertingkat & sedikit ruang kosong di samping ranjang
bertingkat lainnya...ruang ini lebih lebar dari yang didapat para bujang
karena anak2 juga tidur di lantainya, di atas tikar. Ruang di bawah
tempat tidur disebut kolong. Bagi keluarga dengan banyak anak, ruang ini
juga dimanfaatkan untuk tidur. Begitulah awal munculnya sebutan anak
kolong..."
Secara umum dapat dikatakan bahwa stigma "anak kolong", dengan latar belakang historisnya, memang memberikan kesan negatif bagi yang menyandangnya.
Pandangan yang berbeda pernah diungkapkan secara terang2an oleh mantan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, saat membuka Musyawarah Nasional
Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan TNI-Polri (FKPPI) di Bogor,
dengan menyebut bahwa predikat "anak kolong" merupakan suatu kebanggaan, meski mengakui menyandang stigma yang kurang menyenangkan (untuk detil alasannya silahkan baca lebih lanjut tautan laman di
bawah).
Sumber:
1. "ABRI Siasat Kebudayaan 1945-1995", Budi Susanto & A. Made Tony Supriatma
2. "Nyai & Pergundikan di Hindia Belanda", Reggie Baay
3. Baca juga http://nasional.inilah.com/read/detail/65227/sby-bangga-jadi-anak-kolong
Tidak ada komentar:
Posting Komentar