Kiprah pasukan keamanan negara konon sudah lama dikenalkan sejak jaman kerajaan Singosari. Konon, nama “Abhayangkara” sebagai sekelompok orang pilihan (pasukan)
yang ditugaskan oleh kerajaan (negara) untuk menjaga keamanan sudah
digunakan sejak jaman Singosari, seperti diceritakan dalam Kitab
Pararotan, meski hanya terbatas keamanan keraton.
Pun di jaman
Majapahit, konon diceritakan dalam Kitab Negarakertagama perihal
eksekusi hukuman mati terhadap salah satu petinggi kerajaan di jaman
Hayam Wuruk yang dilakukan oleh pasukan Bhayangkara bentukan patih Gajah
Mada.
Catatan mengenai kepolisian di jaman Hindia Belanda
diketahui bahwa kepolisian modern dibentuk antara 1897 dan 1920 sebagai
produk dari “ketakutan” (pergerakan atau kebangkitan nasional) dan
“kepedulian” (terhadap kemunculan politik etis pasca 1900). Film Si
Pitung tahun 70an menggambarkan situasi yang mendekati kebenaran kondisi
ini, di mana kepala polisinya seorang Belanda (meneer) sementara anak
buahnya pribumi. Si meneer Belanda menggunakan kepanjangan tangan
kolonial lain, yaitu Demang Meester, untuk menangkap Pitung yang
dianggap selalu meresahkan masyarakat kulit putih di Betawi.
Di
jaman kolonial Belanda, ternyata polisi pun pernah menangani soal-soal
akhlak. Pada 1937, atas permintaan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda
A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, sebuah surat dari
Christelijke Staaprtij (CSP), polisi mengadakan penyelidikan perkara
homoseksualitas yang marak terjadi di kalangan pejabat tinggi pemerintah
dan memenjarakan mereka yang terlibat. Pada masa Hindia Belanda
terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti Veld Politie (Polisi
Lapangan), Stands Politie (Polisi Kota), Cultur Politie (Polisi
Pertanian), Bestuurs Politie (Polisi Pamong Praja), dan lain-lain.
Dari beberapa rujukan tidak banyak perkembangan kepolisian Indonesia yang dicatat di jaman penjajahan Jepang.
Setelah Jepang hengkang dan Indonesia merdeka, pada tanggal 19 Agustus
1945 dibentuklah Badan Kepolisian Negara (BKN). Mengenai tanggal
berdirinya BKN, sumber resmi di situs PTIK (http://www.stik-ptik.ac.id/detail/index.php…) menyebutkan tanggal 18 Agustus 1945.
Surabaya memiliki cerita tersendiri mengenai kepolisian dengan apa yang
dikenal sebagai “Proklamasi Polisi” pada tanggal 21 Agustus 1945, oleh
Komandan Polisi Istiwewa Jawa Timur, Inspektur Kelas I (Letnan Satu)
Polisi Mochammad Jasin dengan membacakan ikrar yang terkenal:
“Oentoek bersatu dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan
Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan Polisi sebagai
Polisi Repoeblik Indonesia”
Namun kebedaraannya baru diakui
secara lokal sampai akhirnya pada tanggal 29 September 1945 Presiden
Soekarno melantik Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala
Kepolisian Negara yang pertama.
Awalnya, kedudukan Kepolisian
Negara berada di bawah Kementrian Dalam Negeri sebagai Djawatan
Kepolisian Negara dan hanya mengurus hal-hal yang bersifat
administrastif. Namun berdasarkan Penetapan Pemerintah No 11/SD tanggal 1
Juli 1946, dinyatakan bahwa Kepolisian Negara berdiri sendiri di bawah
perdana menteri.
Penetapan inilah yang menjadi cikal bakal hari
jadi korps Bhayangkara, meski sebenarnya instasi kepolisian sudah ada
sejak jaman proklamasi, seperti dijelaskan di atas.
R.S. Said Soekanto secara resmi memang diakui sebagai kapolri pertama. Namun berdasarkan penelitian Marieke Bloembergen, dosen Sejarah di
Universitas Amsterdam dan peneliti senior di KITLV (Institut Linguistik
dan Antropologi Kerajaan Belanda), salah satu orang Indonesia yang
pertama kali diperkenankan mengikuti pendidikan komisaris polisi adalah
Raden Soenario pada April 1928. Tepat tahun itu dia lulus ujian
komisaris polisi kelas dua, dan ditempatkan di Weltervreden, daerah
tempat tinggal orang-orang Eropa di pinggiran Batavia (Sekarang meliputi
seluruh wilayah Jakarta Pusat).
Ada juga nama Raden Mas
Soemitro, komisaris polisi bumiputra lain yang disebut-sebut sebagai
polisi pertama pribumi. Sejak 13 Juni 1922 ia ditempatkan sebagai
komisaris kelas satu di Bandung. Sama seperti Soenario, jejak Soemitro
sebagai polisi masih sedikit.
Dalam sejarah panjang kepolisian,
ada satu nama yang tidak boleh dilupakan dan beliaulah yang mengharumkan
nama korps bhayangkara, yaitu Hoegeng Iman Santoso, yang menjabat
sebagai kapolri sejak 15 Mei 1968 s/d 2 Oktober 1971.
Hoegeng
adalah sedikit di antara pejabat penting di negara ini yang dikenal
jujur dan hidup bersahaja, selain Baharuddin Lopa. Hoegeng pernah
terang-terangan menolak fasilitas yang telah disiapkan oleh
cukong-cukong di Medan, bahkan mengeluarkan sendiri barang-barang
pemberian tersebut dari rumah dinasnya.
Secara singkat, di masa
kepemimpinannya, ada dua kasus besar yang pernah ditangani yang cukup
menggemparkan, yaitu penyelundupan mobil mewah oleh Robby Cahyadi dan
pembunuhan Sum Kuning. Kasus yang pertama cukup banyak melibatkan
penguasa jaman itu sedangkan kasus kedua diduga kuat melibatkan anak2
pejabat tinggi & kasus yang mengakhiri karir cemerlang Hoegeng.
Seorang Gus Dur pernah bilang:
“Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, polisi tidur, patung polisi dan Hoegeng”.
Sebagai penutup, saya kutip 2 pandangan pakar mengenai kepolisian...
"Polisi adalah lembaga yang tak tergantikan" (Casamayor, "La Police", 1973)
"Polisi itu ibarat sepatu yang senantiasa dibutuhkan. Bila sepatu itu
kemasukan air, sepatu itu dikeringkan dengan menjemurnya, kalau ada yang
sobek dijahit, tetapi sepatu itu tetap diperlukan untuk melindungi kaki
dari beling, paku dan benda tajam lainnya" (Pengantar dari Asvi Warman Adam dalam buku "Hoegeng, Oase di Tengah Keringnya Penegakan Hukum di Indonesia”)
Sumber:
1. "Memoar Jasin, Sang Polisi Pejuang, Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia", Moehammad Jasin
2. "Polisi Jaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan", Marieke Bloembergen
3. "Hoegeng, Oase di Tengah Keringnya Penegakan Hukum di Indonesia", Aris Santoso dkk
Tidak ada komentar:
Posting Komentar