Rabu, 11 Februari 2015

Sejarah Ringkas Kepolisian RI & "Kapolri" Yang Tak Tercatat

Kiprah pasukan keamanan negara konon sudah lama dikenalkan sejak jaman kerajaan Singosari. Konon, nama “Abhayangkara” sebagai sekelompok orang pilihan (pasukan) yang ditugaskan oleh kerajaan (negara) untuk menjaga keamanan sudah digunakan sejak jaman Singosari, seperti diceritakan dalam Kitab Pararotan, meski hanya terbatas keamanan keraton.

Pun di jaman Majapahit, konon diceritakan dalam Kitab Negarakertagama perihal eksekusi hukuman mati terhadap salah satu petinggi kerajaan di jaman Hayam Wuruk yang dilakukan oleh pasukan Bhayangkara bentukan patih Gajah Mada.

Catatan mengenai kepolisian di jaman Hindia Belanda diketahui bahwa kepolisian modern dibentuk antara 1897 dan 1920 sebagai produk dari “ketakutan” (pergerakan atau kebangkitan nasional) dan “kepedulian” (terhadap kemunculan politik etis pasca 1900). Film Si Pitung tahun 70an menggambarkan situasi yang mendekati kebenaran kondisi ini, di mana kepala polisinya seorang Belanda (meneer) sementara anak buahnya pribumi. Si meneer Belanda menggunakan kepanjangan tangan kolonial lain, yaitu Demang Meester, untuk menangkap Pitung yang dianggap selalu meresahkan masyarakat kulit putih di Betawi.

Di jaman kolonial Belanda, ternyata polisi pun pernah menangani soal-soal akhlak. Pada 1937, atas permintaan dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda A.W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer, sebuah surat dari Christelijke Staaprtij (CSP), polisi mengadakan penyelidikan perkara homoseksualitas yang marak terjadi di kalangan pejabat tinggi pemerintah dan memenjarakan mereka yang terlibat. Pada masa Hindia Belanda terdapat bermacam-macam bentuk kepolisian, seperti Veld Politie (Polisi Lapangan), Stands Politie (Polisi Kota), Cultur Politie (Polisi Pertanian), Bestuurs Politie (Polisi Pamong Praja), dan lain-lain.

Dari beberapa rujukan tidak banyak perkembangan kepolisian Indonesia yang dicatat di jaman penjajahan Jepang.

Setelah Jepang hengkang dan Indonesia merdeka, pada tanggal 19 Agustus 1945 dibentuklah Badan Kepolisian Negara (BKN). Mengenai tanggal berdirinya BKN, sumber resmi di situs PTIK (http://www.stik-ptik.ac.id/detail/index.php…) menyebutkan tanggal 18 Agustus 1945.

Surabaya memiliki cerita tersendiri mengenai kepolisian dengan apa yang dikenal sebagai “Proklamasi Polisi” pada tanggal 21 Agustus 1945, oleh Komandan Polisi Istiwewa Jawa Timur, Inspektur Kelas I (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jasin dengan membacakan ikrar yang terkenal:

“Oentoek bersatu dengan rakjat dalam perdjoeangan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes 1945, dengan ini menjatakan Polisi sebagai Polisi Repoeblik Indonesia”

Namun kebedaraannya baru diakui secara lokal sampai akhirnya pada tanggal 29 September 1945 Presiden Soekarno melantik Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara yang pertama.

Awalnya, kedudukan Kepolisian Negara berada di bawah Kementrian Dalam Negeri sebagai Djawatan Kepolisian Negara dan hanya mengurus hal-hal yang bersifat administrastif. Namun berdasarkan Penetapan Pemerintah No 11/SD tanggal 1 Juli 1946, dinyatakan bahwa Kepolisian Negara berdiri sendiri di bawah perdana menteri.

Penetapan inilah yang menjadi cikal bakal hari jadi korps Bhayangkara, meski sebenarnya instasi kepolisian sudah ada sejak jaman proklamasi, seperti dijelaskan di atas.

R.S. Said Soekanto secara resmi memang diakui sebagai kapolri pertama. Namun berdasarkan penelitian Marieke Bloembergen, dosen Sejarah di Universitas Amsterdam dan peneliti senior di KITLV (Institut Linguistik dan Antropologi Kerajaan Belanda), salah satu orang Indonesia yang pertama kali diperkenankan mengikuti pendidikan komisaris polisi adalah Raden Soenario pada April 1928. Tepat tahun itu dia lulus ujian komisaris polisi kelas dua, dan ditempatkan di Weltervreden, daerah tempat tinggal orang-orang Eropa di pinggiran Batavia (Sekarang meliputi seluruh wilayah Jakarta Pusat).

Ada juga nama Raden Mas Soemitro, komisaris polisi bumiputra lain yang disebut-sebut sebagai polisi pertama pribumi. Sejak 13 Juni 1922 ia ditempatkan sebagai komisaris kelas satu di Bandung. Sama seperti Soenario, jejak Soemitro sebagai polisi masih sedikit.

Dalam sejarah panjang kepolisian, ada satu nama yang tidak boleh dilupakan dan beliaulah yang mengharumkan nama korps bhayangkara, yaitu Hoegeng Iman Santoso, yang menjabat sebagai kapolri sejak 15 Mei 1968 s/d 2 Oktober 1971.

Hoegeng adalah sedikit di antara pejabat penting di negara ini yang dikenal jujur dan hidup bersahaja, selain Baharuddin Lopa. Hoegeng pernah terang-terangan menolak fasilitas yang telah disiapkan oleh cukong-cukong di Medan, bahkan mengeluarkan sendiri barang-barang pemberian tersebut dari rumah dinasnya.
Secara singkat, di masa kepemimpinannya, ada dua kasus besar yang pernah ditangani yang cukup menggemparkan, yaitu penyelundupan mobil mewah oleh Robby Cahyadi dan pembunuhan Sum Kuning. Kasus yang pertama cukup banyak melibatkan penguasa jaman itu sedangkan kasus kedua diduga kuat melibatkan anak2 pejabat tinggi & kasus yang mengakhiri karir cemerlang Hoegeng.

Seorang Gus Dur pernah bilang:

“Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, polisi tidur, patung polisi dan Hoegeng”.

Sebagai penutup, saya kutip 2 pandangan pakar mengenai kepolisian...

"Polisi adalah lembaga yang tak tergantikan" (Casamayor, "La Police", 1973)

"Polisi itu ibarat sepatu yang senantiasa dibutuhkan. Bila sepatu itu kemasukan air, sepatu itu dikeringkan dengan menjemurnya, kalau ada yang sobek dijahit, tetapi sepatu itu tetap diperlukan untuk melindungi kaki dari beling, paku dan benda tajam lainnya" (Pengantar dari Asvi Warman Adam dalam buku "Hoegeng, Oase di Tengah Keringnya Penegakan Hukum di Indonesia”)


Sumber:

1. "Memoar Jasin, Sang Polisi Pejuang, Meluruskan Sejarah Kepolisian Indonesia", Moehammad Jasin

2. "Polisi Jaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan", Marieke Bloembergen

3. "Hoegeng, Oase di Tengah Keringnya Penegakan Hukum di Indonesia", Aris Santoso dkk

Tidak ada komentar:

Posting Komentar