Rabu, 11 Februari 2015

Sejarah Dwitunggal: "Ini Bukti Kami Bersatu"

Jika berbicara mengenai kemerdekaan bangsa Indonesia (i.e. 17 Agustus 1945), maka tidak bisa lepas dari 2 orang tokoh besar bangsa ini (tanpa bermaksud menihilkan peranan tokoh lainnya), dan keduanya merupakan di antara "The Founding Fathers" yang pernah dilahirkan negara ini, Soekarno-Hatta.


Dengan karakternya masing2, mereka sebenarnya memiliki perbedaan2 yang sangat prinsip. Sedikit contoh, misalnya Bung Karno pernah menyebut Bung Hatta seorang pedantik alias suka menonjolkan keilmuannya, terlalu teoritis & selalu berorientasi ke Barat. Sementara Bung Hatta mengkritik Bung Karno bertujuan baik tapi langkah2 yang diambil seringkali menjauhkan dia dari maksud baik itu. Polemik antara kedua tokoh ini mencuat sejak 1932 s/d 1933, meskipun menurut Wawan Tunggul Alam, SH., penulis buku “Pertentangan Sukarno vs Hatta”, benih polemik sudah ada sejak tahun 1929. Menurut Bung Karno, meeka tak pernah berada dalam getaran gelombang yang sama, terutama di masa pergerakan setelah Bung Hatta kembali ke tanah air.

Rupanya kekhawatiran anggota masyarakat yang mengamati perbedaan prinsip kedua calon pemimpin bangsa Indonesia saat itu sempat diangkat & ditanyakan oleh seorang pembaca berinisial “NS” dari Padang di rubrik Primbon Politik (rubrik tanya jawab soal politik antara pembaca dan Bung Karno) di majalah Fikiran Rakjat No 29 tertanggal 23 Desember 1932. Bung Karno, yang juga sebagai Pimpinan Redaksinya, menjawab singkat “Dalam tujuan politik belum”.


Tapi sejarah membuktikan bahwa ada masa di mana keduanya bisa berjalan bersama justru di saat2 yang paling genting & menentukan untuk perjalanan bangsa Indonesia. "Dwitunggal" secara sederhana dapat dipahami dengan bersatunya kedua tokoh yang memiliki perbedaan untuk mencapai tujuan yang sama, Indonesia merdeka, dengan mengikis ego masing2 dan mengesampingkan perbedaan2 tersebut.
Lalu darimana sebenarnya sejarah "dwitunggal" bermula? TS belum menemukan catatan yang pasti perihal kapan istilah Dwitunggal untuk Soekarno-Hatta mulai digunakan dan siapa yang pertama kali menggunakan atau mengusulkan penggunaan istilah itu.

Tapi setidaknya kita bisa telusuri dari testimoni Boerhanuddin Harahap di dalam buku "Bung Hatta, Pribadinya Dalam Kenangan", yang disunting oleh anaknya, Meutia Farida Swasono.

Suatu ketika, setelah dibebaskan dari tahanan politik & kembali ke Jawa, Bung Hatta datang ke pemondokan yang dihuni pemuda & pelajar (istilah untuk kata "mahasiswa" di masa itu), yang salah 1 penghuninya adalah Boerhanuddin Harahap. Rumah pondokan tersebut terletak di jalan Menteng Raya, bekas Hotel Schomper sebelah utara kantor GPI saat testimoni itu dibuat. Rumah pondokan ini dikelola oleh Bapperpi (Badan Perwakilan Pelajar2 Indonesia) yang diketuai oleh Saudara Soepeno. Itulah kali pertama para mahasiswa putus kuliah berjumpa dengan Bung Hatta, tapi pada saat itu Bung Karno belum berada di Jakarta karena masih di tempat pembuangannya di Bengkulu. Pertemuan itu berlangsung singkat dan tidak ada ceramah atau diskusi2 lainnya karena sikonnya belum memungkinkan.

Suatu ketika ada kabar dari Soepeno bahwa akan diadakan malam perkenalan & silahturahmi dengan Bung Karno dan Bung Hatta di suatu tempat. Saat itu rumah pondokan mahasiswa putus kuliah sudah dipindah ke Jalan Cikini 71. Soepeno meminta agar semua mahasiswa penghuni rumah pondokan hadir dan menunjuk Boerhanuddin Harahap sebagai ketua rombongan.

Pada hari H, pertemuan itu dilakukan di bekas gedung Deutsches Haus di Jalan Merdeka Barat sekarang, tapi Boerhanuddin tidak ingat siapa saja tokoh2 yang hadir tapi ia masih ingat bahwa pertemuan itu penuh sesak & semua hadirin berdiri. Tiba2 ada suara seseorang yang meminta perwakilan dari pelajar untuk memberikan saambutan, dalam hal ini adalah Boerhanuddin yang mengemukakan bagaimana selanjutnya menghadapi situasi sesudah mereka (Bung Karno dan Bung Hatta) bebas dari pembuangan dan muncul kembali di tengah2 masyarakat dalam situasi baru, di mana tentara Jepang sudah menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia (masih Hindia-Belanda sebelum merdeka).

Bung Karno lalu angkat bicara dengan spontan merangkul Bung Hatta dan berbicara di muka para hadirin:

“Ini bukti kami bersatu!”.

Oleh Boerhanuddin Harahap, momen itulah yang dianggap menjadi awal mula penggunaan istilah "Dwitunggal” dan sejarah mencatat setelah momen itu Bung Karno dan Bung Hatta selalu berdampingan di muka umum dan saling mengisi.




Namun sebenarnya, pertemuan antara keduanya dan, saya sebut saja ikrar, "Dwitunggal" sudah terjadi dalam pertemuan sebelumnya. Hal ini dijelaskan oleh wartawan senior H. Rosihan Anwar di dalam bukunya dengan peristiwa berikut:

Malam pertama setibanya Soekarno di Batavia setelah dari pengasingan, sehari sebelum bertemu dengan Jenderal Imamura, di rumah Hatta terjadi pertemuan yang menjadi tonggak penting dimulainya perjalanan sejarah bangsa Indonesia antara, Soekarno, Hatta & Sjahrir.

(Catatan: tidak dijelaskan oleh Rosihan Anwar apakah pertemuan itu hanya dihadiri oleh 3 orang atau ada saksi lain)

Dalam pertemuan itu Soekarno berkata kepada Hatta:

"Saudara dan saya telah melalui suatu masa perselisihan yang mendalam. Walaupun ada saatnya kita mungkin tidak mencintai satu sama lain, kini kita mempunyai pekerjaan yang jauh lebih besar daripada kita berdua. Perbedaan dalam soal partai atau strategi tidak lagi ada. Sekarang kita bersatu. Bersatu dalam perjuangan bangsa!"

Lalu Hatta menjawab: "Setuju!"

Kemudian mereka berdua berjabat tangan dengan azmat.

Lalu Soekarno bilang:

"Ini adalah lambang Dwitunggal, dua-dalam-satu. Sumpah kita khidmat untuk kerja berdampingan tidak pernah akan berpisah sampai tanah air kita seluruhnya menjadi merdeka!"

Bersama dengan Sjahrir, yang ikut hadir dalam pertemuan penting itu, mereka bertiga menyusun rencana untuk masa yad & mereka sepakat akan bekerja sama pada dua peringkat, di permukaan secara terbuka & di bawah tanah secara rahasia.



Sumber:

1. “Pertentangan Sukarno vs Hatta Demi Bangsaku”, Wawan Tunggul Alam SH

2. "Bung Hatta, Pribadinya Dalam Kenangan", Meutia Farida Swasono
3. "Musim Berganti Sekilas Sejarah Indonesia 1925-1950", H. Rosihan Anwar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar