Nama Boven Digoel (sekarang Boven Digul) dalam catatan sejarah
Indonesia lekat sebagai tempat pembuangan (interneeringskamp) yang
dibangun pada tanggal 27 Januari 1927 oleh Kapten Infanteri L.Th.
Becking dengan mengambil lokasi di tepi Sungai Digul, yang dikenal
dengan Tanah Merah. Kamp ini terletak di hulu Sungai Digul, berjarak
kira-kira 455 km dari muara Laut Arafura.
Dulu, bagi tokoh
pergerakan nasional pra kemerdekaan, Digul merupakan momok karena di
tempat ini sangat banyak nyamuk malaria & ada sejenis penyakit yang
disebut black water fever. Musuh terbesar lainnya adalah rasa sepi dan
kejenuhan yang luar biasa bagi penghuni kamp yang dapat menimbulkan
ketegangan dan gangguan jiwa bagi sebagian interniran.
Tempat
pembuangan Digul dibagi menjadi Tanah Merah, Tanah Tinggi, Gunung Arang
(tempat penyimpanan batu bara) & kawasan militer yang juga menjadi
tempat petugas pemerintah dengan 100an prajurit KNIL.
Menurut
Harry A. Poeze, penulis buku "PKI Sibar Persekutuan Aneh Antara
Pemerintah Belanda & Orang Komunis di Australia 1943-1945", alasan
utama dibuatnya kamp interniran ini adalah sebagai reaksi bangkitnya
penganut komunis pada 1926-1927. Sesuai dengan Pasal 37 Indische
Staatsregeling, Gubernur Jenderal Hindia Belanda boleh menggunakan
kekuasaannya ("Exorbitante Rechten") untuk mengirim orang yang dianggap
mengancam hukum ke tempat tertentu di Hindia-Belanda & orang yang
dihukum tidak boleh meninggalkan tempat ini. Hukuman ini tidak memiliki
jangka waktu tertentu & hanya bisa dicabut oleh Gubernur Jenderal.
Pemerintah Belanda menekankan bahwa Digoel bukan penjara atau kamp
konsentrasi tapi tempat yang penghuninya tidak diperbolehkan pergi.
Penghuninya bisa membawa keluarga & mengatur hidupnya sendiri.
Pemerintah kolonial menyediakan berbagai kebutuhan seperti sekolah, 1
rumkit, masjid & gereja. Orang luar juga bisa menetap & membuka
toko seperti yang dilakukan beberapa orang Cina.
Korban
pengasingan (istilah yang digunakan oleh Harry A. Poeze) dibagi ke dalam
2 kategori, yaitu mereka yang keras kepala & menolak bekerja sama
dengan pemerintah kolonial ditempatkan di Tanah Tinggi yang berjarak
kira2 40 km dari hulu sungai. Mereka ini disebut golongan "naturalist"
& harus bertahan hidup sendiri dengan cara berkebun atau memancing.
Golongan yang masih mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial disebut
"werkwillinger" mendapat upah 40 sen sehari kerja dari jam 8 pagi s/d
jam 12 siang dan mereka bisa dipulangkan ke tempat asalnya.
Menurut
Mohamad Bondan yang menuliskan pengalaman hidupnya di kamp interniran
Digul, ia bersama kebanyakan teman2 partainya memilih jadi "naturalist"
kecuali Saudara Murwoto. Kelompok "naturalist" hanya menerima ransum
barang mentah yang nilainya kira2 sama dengan harga makanan buat tahanan
di penjara, yaitu:
1. Beras 18 kg
2. Ikan asin 2.2 kg
3. Garam 480 gram
4. Minyak kelapa 1 botol limun (0.36 liter)
5. Kacang hijau 600 gram
6. Gula merah 600 gram
7. Teh 180 gram
Saat Bondan datang, area di Tanah Merah hanya tinggal 2 kampung, yaitu
Kampung B (naturalist) & C (werkwillinger) dari sebelumnya 7 kampung
sejak awal dibuka, yaitu A, B, C, D, E, F & G, karena kampung2
lainnya sudah ditumbuhi hutan berlukar.
Saat Bondan datang awal tahun 1935, ada sekitar 900 orang buangan di Digul belum termasuk istri & anaknya. Menurut Poeze s/d akhir 1930 ada
sekitar 1.150 jiwa yang tinggal di Digul. Setiap orang buangan
mendapatkan nomor pokok (stambook) seperti Bondan bernomor 1383, Murwoto
(1389), Hatta (1382), Sjahrir (1384), dst.
Nama2 besar tokoh
perjuangan nasional seperti Bung Hatta & Sutan Sjahrir juga pernah
merasakan hidup sebagai otang buangan di kamp interniran Digul. Bung
Hatta memberikan testimoninya di buku "Mengenang Sjahrir" saat menjalani
masa pembuangan di Digul. Beliau tiba di Tanah Merah pada 28 Januari
1935 dengan menaiki kapal "Albatros" dari Ambon. Kapal ini disebut juga
kapal putih karena dikenali dari warnanya.
Menurut Bung Hatta,
ada 1 kelompok lagi bagian dari "naturalist" yang keras kepala &
ditempatkan di Tanah Tinggi dicap sebagai "onverzoenlijken" (menentang
terus). Jadi sebagian besar golongan "naturalist" ditempatkan di Tanah
Merah kecuali yang termasuk "onverzoenlijken".
Saat Bung Hatta
menghuni kamp interniran Digul, pejabat pemerintah dipegang oleh Kapten
Van Langen sedangkan lurah Tanah Merah adalah Budisucipto.
Orang2
seperti Bung Hatta atau Sutan Sjahrir yang rajin menulis, masih bisa
mendapatkan honor tambahan jika tulisan2nya dimuat di media2 cetak yang
beredar saat itu.
Seiring dengan pecahnya Perang Dunia 2, Digul luput dari perhatian pemerintah Belanda. Boven Digul sendiri saat ini sudah menjadi Kabupaten sesuai UU RI No 26
Tahun 2002, hasil pemekaran dari Kabupaten Merauke, dengan ibu kotanya
di Tanah Merah, yang berbatasan dengan wilayah Papua Nugini.
Sumber:
1. "PKI Sibar Persekutuan Aneh Antara Pemerintah Belanda & Orang Komunis di Australia 1943-1945", Harry A. Poeze
2. "Memoar Seorang Eks-Digulis", Mohamad Bondan
3. "Kenang-Kenangan Masa Lampau Dengan Sjahrir", Dr. Mohammad Hatta
4. Situs resmi Pemkab Digul http://www.bovendigoelkab.go.id/about/sejarah/
5. Baca juga http://www.jeratpapua.org/penjara-digoel-di-tanah-merah-te…/
BUNG HATTA TIBA DI TANAH MERAH 22 FEB 1935. 28 JAN 1935 BERGERAK DARI TANJUNG PRIUK BERSAMA 8 ORANG LAINNYA TERMASUK BUNG SYAHRIR, BONDAN DLL. BELIAU DIPINDAHKAN KE BANDA NAIRA BERSAMA BUNG SYAHRIR 30 JAN 1936.
BalasHapus