Rabu, 11 Februari 2015

Tempat Pembuangan Bersejarah Boven Digul

Nama Boven Digoel (sekarang Boven Digul) dalam catatan sejarah Indonesia lekat sebagai tempat pembuangan (interneeringskamp) yang dibangun pada tanggal 27 Januari 1927 oleh Kapten Infanteri L.Th. Becking dengan mengambil lokasi di tepi Sungai Digul, yang dikenal dengan Tanah Merah. Kamp ini terletak di hulu Sungai Digul, berjarak kira-kira 455 km dari muara Laut Arafura.

Dulu, bagi tokoh pergerakan nasional pra kemerdekaan, Digul merupakan momok karena di tempat ini sangat banyak nyamuk malaria & ada sejenis penyakit yang disebut black water fever. Musuh terbesar lainnya adalah rasa sepi dan kejenuhan yang luar biasa bagi penghuni kamp yang dapat menimbulkan ketegangan dan gangguan jiwa bagi sebagian interniran.

Tempat pembuangan Digul dibagi menjadi Tanah Merah, Tanah Tinggi, Gunung Arang (tempat penyimpanan batu bara) & kawasan militer yang juga menjadi tempat petugas pemerintah dengan 100an prajurit KNIL.
Menurut Harry A. Poeze, penulis buku "PKI Sibar Persekutuan Aneh Antara Pemerintah Belanda & Orang Komunis di Australia 1943-1945", alasan utama dibuatnya kamp interniran ini adalah sebagai reaksi bangkitnya penganut komunis pada 1926-1927. Sesuai dengan Pasal 37 Indische Staatsregeling, Gubernur Jenderal Hindia Belanda boleh menggunakan kekuasaannya ("Exorbitante Rechten") untuk mengirim orang yang dianggap mengancam hukum ke tempat tertentu di Hindia-Belanda & orang yang dihukum tidak boleh meninggalkan tempat ini. Hukuman ini tidak memiliki jangka waktu tertentu & hanya bisa dicabut oleh Gubernur Jenderal.

Pemerintah Belanda menekankan bahwa Digoel bukan penjara atau kamp konsentrasi tapi tempat yang penghuninya tidak diperbolehkan pergi. Penghuninya bisa membawa keluarga & mengatur hidupnya sendiri. Pemerintah kolonial menyediakan berbagai kebutuhan seperti sekolah, 1 rumkit, masjid & gereja. Orang luar juga bisa menetap & membuka toko seperti yang dilakukan beberapa orang Cina.

Korban pengasingan (istilah yang digunakan oleh Harry A. Poeze) dibagi ke dalam 2 kategori, yaitu mereka yang keras kepala & menolak bekerja sama dengan pemerintah kolonial ditempatkan di Tanah Tinggi yang berjarak kira2 40 km dari hulu sungai. Mereka ini disebut golongan "naturalist" & harus bertahan hidup sendiri dengan cara berkebun atau memancing. Golongan yang masih mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial disebut "werkwillinger" mendapat upah 40 sen sehari kerja dari jam 8 pagi s/d jam 12 siang dan mereka bisa dipulangkan ke tempat asalnya.

Menurut Mohamad Bondan yang menuliskan pengalaman hidupnya di kamp interniran Digul, ia bersama kebanyakan teman2 partainya memilih jadi "naturalist" kecuali Saudara Murwoto. Kelompok "naturalist" hanya menerima ransum barang mentah yang nilainya kira2 sama dengan harga makanan buat tahanan di penjara, yaitu:

1. Beras 18 kg
2. Ikan asin 2.2 kg
3. Garam 480 gram
4. Minyak kelapa 1 botol limun (0.36 liter)
5. Kacang hijau 600 gram
6. Gula merah 600 gram
7. Teh 180 gram

Saat Bondan datang, area di Tanah Merah hanya tinggal 2 kampung, yaitu Kampung B (naturalist) & C (werkwillinger) dari sebelumnya 7 kampung sejak awal dibuka, yaitu A, B, C, D, E, F & G, karena kampung2 lainnya sudah ditumbuhi hutan berlukar.

Saat Bondan datang awal tahun 1935, ada sekitar 900 orang buangan di Digul belum termasuk istri & anaknya. Menurut Poeze s/d akhir 1930 ada sekitar 1.150 jiwa yang tinggal di Digul. Setiap orang buangan mendapatkan nomor pokok (stambook) seperti Bondan bernomor 1383, Murwoto (1389), Hatta (1382), Sjahrir (1384), dst.

Nama2 besar tokoh perjuangan nasional seperti Bung Hatta & Sutan Sjahrir juga pernah merasakan hidup sebagai otang buangan di kamp interniran Digul. Bung Hatta memberikan testimoninya di buku "Mengenang Sjahrir" saat menjalani masa pembuangan di Digul. Beliau tiba di Tanah Merah pada 28 Januari 1935 dengan menaiki kapal "Albatros" dari Ambon. Kapal ini disebut juga kapal putih karena dikenali dari warnanya.

Menurut Bung Hatta, ada 1 kelompok lagi bagian dari "naturalist" yang keras kepala & ditempatkan di Tanah Tinggi dicap sebagai "onverzoenlijken" (menentang terus). Jadi sebagian besar golongan "naturalist" ditempatkan di Tanah Merah kecuali yang termasuk "onverzoenlijken".

Saat Bung Hatta menghuni kamp interniran Digul, pejabat pemerintah dipegang oleh Kapten Van Langen sedangkan lurah Tanah Merah adalah Budisucipto.

Orang2 seperti Bung Hatta atau Sutan Sjahrir yang rajin menulis, masih bisa mendapatkan honor tambahan jika tulisan2nya dimuat di media2 cetak yang beredar saat itu.

Seiring dengan pecahnya Perang Dunia 2, Digul luput dari perhatian pemerintah Belanda. Boven Digul sendiri saat ini sudah menjadi Kabupaten sesuai UU RI No 26 Tahun 2002, hasil pemekaran dari Kabupaten Merauke, dengan ibu kotanya di Tanah Merah, yang berbatasan dengan wilayah Papua Nugini.


Sumber:

1. "PKI Sibar Persekutuan Aneh Antara Pemerintah Belanda & Orang Komunis di Australia 1943-1945", Harry A. Poeze

2. "Memoar Seorang Eks-Digulis", Mohamad Bondan

3. "Kenang-Kenangan Masa Lampau Dengan Sjahrir", Dr. Mohammad Hatta

4. Situs resmi Pemkab Digul http://www.bovendigoelkab.go.id/about/sejarah/

5. Baca juga http://www.jeratpapua.org/penjara-digoel-di-tanah-merah-te…/

1 komentar:

  1. BUNG HATTA TIBA DI TANAH MERAH 22 FEB 1935. 28 JAN 1935 BERGERAK DARI TANJUNG PRIUK BERSAMA 8 ORANG LAINNYA TERMASUK BUNG SYAHRIR, BONDAN DLL. BELIAU DIPINDAHKAN KE BANDA NAIRA BERSAMA BUNG SYAHRIR 30 JAN 1936.

    BalasHapus