Sejak diberlakukannya kebijakan baru terhadap negeri jajahan
Hindia-Belanda yang dikenal dengan Politik Etis (Ethische Politiek),
pergerakan sosial politik dalam masyarakat pribumi yang mengkristal
dalam gerakan yang radikal tampak semakin nyata sebagai sebuah ancaman
di mata pemerintah kolonial. Oleh karenanya, muncul gagasan untuk
mengawasi setiap gerakan dengan ketat guna menjaga keamanan dan
stabilitas Hindia-Belanda.
Untuk melaksanakan gagasan tersebut
dibentuklah Politieke Inlichtingen Dienst (PID) atau Dinas Intelijen
Politik Hindia-Belanda pada 6 Mei 1916 oleh Gubernur Jenderal Graaf J.P.
van Limburg Stirum (1916-1921). Dinas ini bertugas mengumpulkan setiap
informasi tentang kondisi pergerakan nasional di Hindia-Belanda sebagai
dasar tindakan terhadap tokoh2 pergerakan, jika diperlukan.
Padahal, tumbuhnya sikap radikal semata-mata sebagai reaksi kepada sikap
dan tindakan pemerintah kolonial yang bertentangan dengan Politik Etis
yang dicanangkan sesuai Pidato Kenegaraan Ratu Belanda pada September
1901 tentang “kewajiban yang luhur dan tanggung jawab moral untuk rakyat
di Hindia-Belanda”.
Pada masa Gubernur Jenderal sebelumnya,
Idenburg pernah dibuat kebijakan yang mengawasi ketat organsisasi2 atau
badan2 pergerakan atau partai2 di Hindia-Belanda agar tidak berkembang
menjadi gerakan politik subversif. Sementara Gubernur Jenderal van
Limburg Stirum pandai mengambil hati kaum terpelajar karena pandangannya
yang progresif dan memberikan kesempatan kepada organisasi kebangsaan
untuk berkembang. Naiknya van Limburg Stirum yang liberal sebagai
Gubernur Jenderal menggantikan Idenburg yang konservatif, membuat ruang
gerak radikalisasi semakin meluas.
Kedatangan Hendricus Josephus
Fransiscus Marie Sneevliet yang kemudian membentuk Indische
Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) pada 9 Mei 1914 di Surabaya
turut berkontribusi perkembangan radikalisme. Terlepas dari sikap
liberal van Limburg Stirum, tapi radikalisme yang semakin berkembang
tetap membuat pemerintah kolonial cemas sehingga mencari cara untuk
menjaga stabilitas keamanan di Hindia-Belanda, sehingga dibentuklan PID.
Ide pembentukan organisasi ini sebenarnya telah ada sejak tahun 1914
dengan nama Kantoor Inlichtingen yang saat itu berada di bawah komando
tentara Hindia-Belanda. Tujuan organisasi ini untuk mendapatkan sebanyak
mungkin informasi tentang aktivitas agen Jepang di Hindia-Belanda.
PID ditempatkan di bawah Jaksa Agung (Procureur-General) dan sebagai
pimpinannya, Gubernur Jenderal mengangkat W. Muurling, mantan kapten
staf umum KNIL. Mekanisme kerja PID berhubungan erat dengan beberapa
dinas penting Hindia-Belanda seperti Adviseur voor Inlandsche Zaken en
Arabische Zaken (Penasehat Urusan2 Pribumi dan Arab) dan Kantoor voor
Chineesche Zaken (Kantor Urusan2 Cina).
Kantor PID tersebar di
beberapa kota besar saat itu, Batavia, Bandung, Semarang dan Surabaya.
PID membuat laporan berkala setiap bulan atau triwulan yang ditujukan
kepada Gubernur Jenderal atau pejabat tinggi Hindia-Belanda.
Mengenai tugas PID, digambarkan oleh P.J.A. Idenburg, sebagai berikut:
“PID bukan saja bertugas untuk mengumpulkan bahan2 informasi politik
yang penting mengenai perorangan, perkumpulan, gerakan dsb, tetapi juga
memelihara tugas harian pengamatan terhadap kelakuan tokoh2 dan
organisasi2 politik aktif dan juga mengawasi ucapan2 di depan umum dalam
rapat2. Apabila batas2 yang secara hukum diijinkan terlampaui, maka
dinas kepolisian ini harus bertindak, seringkali dengan peringatan,
tetapi jika perlu dengan tindakan yang lebih jauh”
PID ini
akhirnya juga menjadi saluran baru bagi pemerintahan kolonial untuk
mendapatkan informasi mengenai sikon politik masyarakat pribumi dan
tidak lagi mengandalkan sumber informasi dari Pangreh Praja.
Ternyata umur PID ini tidak berusia lama, seiring dengan berakhirnya
Perang Dunia 1, Muurling merekomendasikan pembubaran dinas tersebut pada
Nopember 1918. PID secara resmi dibubarkan pada 2 April 1919 dan
fungsinya dialihkan ke intelijen militer. Yang menarik adalah bahwa
setelah pembubaran PID, nama dinas ini justru semakin popular dan
angker.
Pasca pembubaran PID kondisi di Hindia-Belanda justru
semakin memburuk ditandai denan banyak terjadinya kerusuhan atau
pergolakan. Pada masa ini tercatat pernah terjadi kerusuhan anti-Cina di
Kudus, pemogokan petani di daerah Surakarta yang dipimpin oleh Haji
Misbach, pemogokan buruh pabrik gula yang tergabung dalam Personeel
Fabriek Bond (PFB), dsb.
Pada 25 Juli 1919, Wakil Jaksa Agung
H.V. Monsanto memberikan masukan kepada van Limburg Stirum mengenai
pentingnya pembentukan sebuah dinas intelijen.
Dalam pembukaan
rapat Volksraad pada 1 September 1919, van Limburg Stirum mengumumkan
akan menindak tegas gerakan yang melampaui batas, dan pada 24 September
1919 mendirikan sebuah dinas intelijen yang diberi nama Algemenee
Recherche Dienst (ARD) atau Dinas Penyelidikan Umum. Dalam perjalanannya
ARD ini terbukti sebagai kelanjutan dari PID dan memiliki cerita
panjang.
Sebagai ketua ARD, ditunjuk seorang mantan Kepala
Komisaris Kelas 1 Batavia, yaitu A.E. van der Lely. Pada Mei 1920 van
der Lely dibantu oleh 2 pejabat khusus, yaitu seorang wakil kepala
Eropa, B.R. van der Most mantan Komisaris Polisi Kelas 2 Semarang, dan
seorang Wedana pribumi, Mohammad Jatim, yang sebelumnya adalah seksi
Intelijen Politik Kepolisian kota Batavia. Dalam catatan sejarah, van
der Lely memimpin ARD sejak 1919 s/d 1929 dengan deputi B.R. van der
Most (1920-1929).
Oleh tokoh2 pergerakan nasional dan jika kita
membaca buku2 yang membahas pergerakan nasional sebelum kemerdekaan,
nama ARD ini tidak “ada” karena yang dikenali & ditulis adalah PID,
padahal PID usianya tidak lama & sudah resmi dibubarkan sejak 1919.
Diduga, pembubaran PID dan pendirian ARD sebagai gantinya memang sengaja
dirahasiakan oleh pemerintah Hindia-Belanda saat itu.
Setelah
van Limburg Stirum mengakhiri jabatannya pada 21 Maret 1921, posisi
Gubernur Jenderal diisi oleh Dirk Fock (1921-1926), seorang yang
reaksioner dan sering mengecam kebijakan van Limburg Stirum. Di tengah
kelesuan perekonomian, Fock memberikan jaminan kepada investor yang
ingin menanamkan modalnya di Jawa dengan menindak keras pergerakan
nasional, terutama di bidang perburuhan. Dalam posisi inilah ARD
digunakan sebagai kepanjangan tangan pemerintah kolonial bertugas, salah
satunya, mengawasi setiap aktivitas yang terjadi dalam arena Pergerakan
Nasional. Sarekat Islam (SI) dan Partai Komunis Indonesia (PKI) adalah
musuh utama ARD karena kekuatan massanya & dinilai berpotensi
mengganggu stabilitas keamanan negara.
Untuk menekan perkembangan
organisasi atau tokoh yang dianggap radikal, pemerintah menggunakan Hak
Luar Biasa dari Gubernur Jenderal (Exorbinante Rechten) yang oleh Tan
Malaka digambarkan sebagai sebilah “golok” yang dapat ditusukkan kapan
saja kepada seseorang yang dianggap musuh.
Salah satu strategi
yang dijalani oleh ARD adalah mengeluarkan larangan mengadakan rapat
umum (vergadering), kecuali dengan syarat2 ketat yang harus diajukan
sebelumnya. Apabila masih ada organisasi melakukan rapat umum maka
personil ARD dapat leluasa membubarkan pertemuan tersebut. Meski
demikian rapat2 umum yang telah mendapatkan ijin pun tetap odengan ketat
mulai dengan mencatat semua nama tamu yang datang dan mengecek kartu
keanggotannya. Biasanya, para anggota SI menyiasati pertemuan tersebut
dengan acara “selametan”.
Selain pengawasan terhadap organisasi2
dan tokoh2nya, ARD juga mengawasi penerbitan, media cetak atau media
informasi lainnya, termasuk melakukan sensor atas koran2 yang terbit
masa itu.
Beberapa tokoh2 pergerakan yang dipandang radikal oleh
pemerintah Hindia-Belanda dan ditangkap ARD misalnya H. Misbach. Adapun
Alimin dan Musso berhasil ditangkap oleh M. Visbeen, Asisten Komisaris Polisi Kota Batavia yang juga personel ARD.
Salah satu tokoh
pergerakan yang mengkritisi ARD adalah M. Husni Thamrin, yang menurutnya
tindakan ARD sudah melanggar hak-hak seseorang untuk berkumpul dan
berorganisasi sebagaimana dijamin oleh undang-undang. Soekarno juga
menceritakan pengalamannya diawasi secara ketat oleh ARD sebagaimana
ditulis oleh Cindy Adams di dalam buku “Penyambung Lidah Rakyat”, bahkan
personil ARD sempat dikerjai oleh Soekarno. Dalam biografinya
“Memoirs”, Hatta juga menuliskan pengalamannya diawasi ketat oleh
personil ARD setelah kepulangannya ke Hindia-Belanda.
(Catatan: setahu saya, buku ini satu2nya sumber berbahasa Indonesia yang membahas PID/ARD
tapi sayang buku yang saya baca ini tidak menjelaskan detil aktivitas dan riwayat akhir dari ARD
& secara umum isinya lebih banyak bercerita tentang kiprah pergerakan nasional. Bisa dimaklumi karena mungkin keterbatasan informasi yang bisa diperoleh atau diakses seperti wanti2 dari Harry A. Poeze dalam Kata Pengantarnya)
Sumber:
"Memata-matai Kaum Pergerakan – Dinas Intelijen Politik Hindia Belanda 1916 – 1934”, Allan Akbar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar