Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Aceh sudah menjadi
bagian dari Negara Republik Indonesia, meski awalnya baru berupa wilayah
karesidenan di bawah Propinsi Sumatera. Ketika Belanda melancarkan
Agresi Militer 1 dan 2, kegiatan ekonomi negara Republik Indonesia yang
masih muda ini praktis collaps, jika tidak bisa dibilang berhenti.
Keadaan ini menyebabkan pemerintah pusat mengalami kesulitan dana untuk
membiayai jalannya roda pemerintahan. Karenanya dibutuhkan sumbangan
dari daerah-daerah lain yang memiliki sumber daya yang memadai.
Aceh merupakan salah satu (atau mungkin satu2nya?) daerah yang mampu
mewujudkan keinginan Pemerintah Pusat karena Aceh memiliki potensi
ekonomi yang berlimpah. Ketika Pemerintah Pusat berada di Yogyakarta,
Aceh dalam tahun 1949, telah memberikan bantuan kepada Pemerintah Pusat
sebanyak SGD 500,000 sebagai bukti kebulatan tekad rakyat Aceh untuk
mendukung mempertahankan kemerdekaan RI.
Sumbangan rakyat Aceh
tidak berhenti sampai di sini, tapi juga menyediakan dana untuk membeli
pesawat udara bagi Pemerintah Indonesia. Pembelian pesawat terbang ini
diawali dengan kunjungan Presiden RI Soekarno pada tanggal 15 Juni 1948
ke Aceh, yang pada dasarnya untuk memupuk semangat perjuangan dalam
usaha mempertahankan kemerdekaan.
Rombongan presiden yang
berjumlah 17 orang disambut oleh Gubernur Sumatera Utara Mr. S.M. Amin,
Gubernur Militer Wilayah Aceh, Langkat & Tanah Karo, Jenderal Mayor
Teungku Muhammad Daud Beureueh, Residen Aceh Teuku Muhammad Daoed Syah
serta pembesar sipil & militer lainnya serta panitia penyambutan
yang diketuai oleh Wakil Residen T.M. Amin.
Saat Presiden
Soekarno mengadakan pertemuan dengan saudagar Aceh yang tergabung dalam
Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA). Dalam pertemuan yang
berlangsung di Hotel Atjeh tersebut, Presiden dalam kata sambutannya
mengetuk hati para saudagar Aceh untuk ikut berkontribusi dalam memperbaiki ekonomi negara sebagai bagian dari perjuangan revolusi.
Presiden juga menjelaskan sikon Negara Indonesia yang pada waktu itu
sedang dikepung oleh pihak Belanda, terutama hubungan antar pulau di
Indonesia yang harus pesawat udara. Untuk Presiden berencana membeli
sebuah pesawat udara bekas jenis Dakota yang harganya 120.000 dolar
Malaya atau sama dengan harga 25 kilogram emas pada waktu itu. Sambutan
Presiden ditutup dengan kata2 bahwa ia tidak akan makan sebelum mendapat
jawaban "ya" atau "tidak" dari para saudagar Aceh yang hadir dalam
pertemuan tersebut.
Pada waktu istirahat, T. Mohammad Ali
Panglima Polem (Wakil Residen Aceh), berbicara mewakili para saudagar
Aceh yang menyanggupi untuk memenuhi himbauan Presiden. Dinyatakan juga
tidak hanya 1 pesawat tetapi 2 pesawat yang akan dibeli rakyat Aceh
untuk disumbangkan ke pemerintah Republik Indonesia.
Fakta
sejarah membuktikan pesawat udara yang diberikan oleh rakyat Aceh kepada
pemerintah dapat menembus blokade ekonomi pihak Belanda untuk
memperlancar urusan2 pemerintah saat revolusi kemerdekaan.
Mempertimbangkan kontribusi masyarakat Aceh dalam mempertahankan
kemerdekaan dapat dipahami jika Presiden Soekarno memberikan gelar
daerah Aceh sebagai "Daerah Modal".
Sumber:
1. “Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan dan Kesatuan Bangsa: Kasus Darul Islam di Aceh”, Depdikbud
2. Baca juga http://acehprov.go.id/…/10/03/104/sejarah-provinsi-aceh.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar