Rabu, 11 Februari 2015

Aceh Daerah Modal - Penyumbang Penting Revolusi Kemerdekaan Indonesia

Sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, Aceh sudah menjadi bagian dari Negara Republik Indonesia, meski awalnya baru berupa wilayah karesidenan di bawah Propinsi Sumatera. Ketika Belanda melancarkan Agresi Militer 1 dan 2, kegiatan ekonomi negara Republik Indonesia yang masih muda ini praktis collaps, jika tidak bisa dibilang berhenti. Keadaan ini menyebabkan pemerintah pusat mengalami kesulitan dana untuk membiayai jalannya roda pemerintahan. Karenanya dibutuhkan sumbangan dari daerah-daerah lain yang memiliki sumber daya yang memadai.

Aceh merupakan salah satu (atau mungkin satu2nya?) daerah yang mampu mewujudkan keinginan Pemerintah Pusat karena Aceh memiliki potensi ekonomi yang berlimpah. Ketika Pemerintah Pusat berada di Yogyakarta, Aceh dalam tahun 1949, telah memberikan bantuan kepada Pemerintah Pusat sebanyak SGD 500,000 sebagai bukti kebulatan tekad rakyat Aceh untuk mendukung mempertahankan kemerdekaan RI.

Sumbangan rakyat Aceh tidak berhenti sampai di sini, tapi juga menyediakan dana untuk membeli pesawat udara bagi Pemerintah Indonesia. Pembelian pesawat terbang ini diawali dengan kunjungan Presiden RI Soekarno pada tanggal 15 Juni 1948 ke Aceh, yang pada dasarnya untuk memupuk semangat perjuangan dalam usaha mempertahankan kemerdekaan.

Rombongan presiden yang berjumlah 17 orang disambut oleh Gubernur Sumatera Utara Mr. S.M. Amin, Gubernur Militer Wilayah Aceh, Langkat & Tanah Karo, Jenderal Mayor Teungku Muhammad Daud Beureueh, Residen Aceh Teuku Muhammad Daoed Syah serta pembesar sipil & militer lainnya serta panitia penyambutan yang diketuai oleh Wakil Residen T.M. Amin.

Saat Presiden Soekarno mengadakan pertemuan dengan saudagar Aceh yang tergabung dalam Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh (GASIDA). Dalam pertemuan yang berlangsung di Hotel Atjeh tersebut, Presiden dalam kata sambutannya mengetuk hati para saudagar Aceh untuk ikut berkontribusi dalam memperbaiki ekonomi negara sebagai bagian dari perjuangan revolusi.

Presiden juga menjelaskan sikon Negara Indonesia yang pada waktu itu sedang dikepung oleh pihak Belanda, terutama hubungan antar pulau di Indonesia yang harus pesawat udara. Untuk Presiden berencana membeli sebuah pesawat udara bekas jenis Dakota yang harganya 120.000 dolar Malaya atau sama dengan harga 25 kilogram emas pada waktu itu. Sambutan Presiden ditutup dengan kata2 bahwa ia tidak akan makan sebelum mendapat jawaban "ya" atau "tidak" dari para saudagar Aceh yang hadir dalam pertemuan tersebut.

Pada waktu istirahat, T. Mohammad Ali Panglima Polem (Wakil Residen Aceh), berbicara mewakili para saudagar Aceh yang menyanggupi untuk memenuhi himbauan Presiden. Dinyatakan juga tidak hanya 1 pesawat tetapi 2 pesawat yang akan dibeli rakyat Aceh untuk disumbangkan ke pemerintah Republik Indonesia.

Fakta sejarah membuktikan pesawat udara yang diberikan oleh rakyat Aceh kepada pemerintah dapat menembus blokade ekonomi pihak Belanda untuk memperlancar urusan2 pemerintah saat revolusi kemerdekaan.

Mempertimbangkan kontribusi masyarakat Aceh dalam mempertahankan kemerdekaan dapat dipahami jika Presiden Soekarno memberikan gelar daerah Aceh sebagai "Daerah Modal".


Sumber:

1. “Tantangan dan Rongrongan Terhadap Keutuhan dan Kesatuan Bangsa: Kasus Darul Islam di Aceh”, Depdikbud

2. Baca juga http://acehprov.go.id/…/10/03/104/sejarah-provinsi-aceh.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar