Bertempat di Paleis op de Dam Amsterdam, Belanda, pada tanggal 27
Desember 1949 berlangsung “de formele souvereiniteits-overdracht” dari
Belanda, yang diwakili oleh Ratu Juliana, kepada Indonesia, yang
diwakili oleh Mohammad Hatta.
Oleh Rosihan Anwar, yang hadir selaku pimpinan redaksi harian Pedoman, digambarkan sedikit suasananya...
Upacara terkesan sangat sederhana jika dikaitkan dengan makna sejarah
yang terkandung dalam upacara tersebut yang menandakan berakhirnya suatu
era kolonialisme Belanda atas Indonesia. Pakaian yang dikenakan oleh
Ratu Juliana dan Pangeran Bernard pun tidak mencolok, sementara Wapres
Mohammad Hatta dan perwakilan BFO mengenakan jas colbert biasa berwarna
gelap, tidak ada “rokcostuum” (catatan: “rokkostuum” atau “suite”).
Pidato2 pun diucapkan dengan nada yang datar.
Saat yang sama di
Jakarta, juga dilakukan “bestuur overdracht” (catatan: “government
transfer”) dari Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.J. Lovink kepada
pemerintah Indonesia di Paleis Koningsplein (kini menjadi Istana
Merdeka). Suasananya digambarkan oleh Dr. J.G. De Beus yang saat itu
menjabat sebagai Kepala Dirvo (Directie Verre Oosten) Kemenlu Belanda di
Jakarta. Soekarno menolak hadir karena berpegang pada fakta bahwa
kemerdekaan Indonesia terjadi pada saat proklamasi 17 Agustus 1945.
Sebagai langkah kompromi, Wakil Tinggi Mahkota Belanda akan menyerahkan
pemerintahan ke Sri Sultan Hamengkubuwono IX selaku perwakilan Republik
Indonesia Serikat (RIS).
Sehari setelah “bestuur overdracht”,
Presiden Soekarno akan mengadakan “triomfale intoch” di Jakarta &
memasuki Istana Merdeka. Masalah sempat timbul, yaitu apakah wakil2
negara asing akan diundang mengingat keterbatasan akomodasi saat itu.
Hotel Des Indes yang pernah mendapat julukan “Mutiara dari Timur” sudah
merosot reputasinya. Toh, akhirnya diputuskan tetap mengundang wakil2
dari luar negeri, seperti Pote Sarasih dari Muangthai, seorang Senator
dari Pilipina, seorang Menteri dari India, Dubes Pakistan, dll.
Sekira jam 5 sore, masuklah Wakil Tinggi Mahkota Belanda dengan pakaian
seragam putih yang didisainnya sendiri beserta Sri Sultan Hamengkubuwono
IX dengan seragam Jenderal TNI. Setelah pertemuan dibuka,
penandatanganan naskah oleh kedua belah pihak & selanjutnya Lovink
mengucapkan pidato terakhirnya. Oleh De Beus, pidato Lovink tidak
seperti yang diharapkan saat misalnya “Gettysburg Address” oleh Presiden
Abraham Lincoln, atau pidato Jenderal MacArthur di atas kapal
“MISSOURI” saat kapitulasi Jepang, atau seperti pidato Multatuli di
depan Hoofden van Lebak yang di dalamnya diakui kekurangan2 Belanda.
Berbeda dengan pidato Sultan Yogya yang bermartabat dan meninggalkan
kesan mendalam bagi para hadirin.
Setelah penyerahan naskah
selesai, hadirin pindah ke halaman rumput di depan istana untuk upacara
penurunan bendera “rood-wit-blauw” dan menaikkan bendera merah putih,
momen yang dinilai menyayat hati orang Belanda. Menurut De Beus semua
orang Belanda yang hadir meneteskan air mata. Yang lebih menyakitkan
lagi buat orang2 Belanda adalah ketika rakyat Indonesia yang menyaksikan
di luar Istana Merdeka, mulai bersiul2 saat bendera Belanda diturunkan
namun serempak menyanyikan lagu Indonesia Raya saat bendera merah putih
dinaikkan serta bersorak gembira setelahnya.
Setelah upacara
selesai, Lovink memeriksa pasukan kehormatan Belanda dan Indonesia,
bersalaman dengan perwakilan Belanda & Indonesia, lalu segera menuju
mobil yang sudah disiapkan untuk membawanya ke Kemayoran dimana pesawat
KLM akan mengantarnya pulang ke Belanda.
Di Kemayoran, setelah
menaiki anak tangga paling atas sebelum masuk pintu pesawat, Lovink
membalikkan badan dan memberikan salam perpisahan yang terakhir kali.
Setelah pintu pesawat ditutup beberapa saat kemudian pesawat lepas
landas dan berakhirlah era kolonial bagi Indonesia.
Sumber:
1. "Musim Berganti, Sekilas Sejarah Indonesia 1925 - 1950", H. Rosihan Anwar
2. "Album Perjuangan Kemerdekaan 1945 - 1950, Dari Negara Kesatuan ke
Negara Kesatuan", Badan Pimpinan Harian Pusat Korps Cacad Veteran RI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar